Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Percaya
Haryo menaiki tangga menuju lantai dua dengan langkah-langkah tegas. Namun, begitu ia hampir mencapai puncak, salah satu bodyguard yang berjaga di depan kamar Kirana tiba-tiba menghampirinya.
"Ada apa? Kenapa kau menghentikanku?" tanya Haryo dengan nada curiga. Ia memandang bodyguard itu tajam, menunggu penjelasan.
Bodyguard itu tampak gugup, tetapi berusaha tetap tenang. "Tidak ada apa-apa, Pak Haryo. Tapi Nona Kirana sedang istirahat sekarang. Kami hanya memastikan dia tidak terganggu."
Haryo menyipitkan matanya, merasakan ada yang aneh. "Kenapa tiba-tiba kalian terlalu protektif? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Bodyguard itu menelan ludah, merasa tertekan oleh tatapan Haryo. "Tidak ada apa-apa, Pak. Hanya protokol biasa untuk menjaga privasi Nona Kirana."
Haryo tampak berpikir sejenak, kemudian ia mengubah arah pembicaraan. "Kalau begitu, di mana Arzan sekarang? Tadi dia bilang ingin melihat-lihat rumah."
"Tuan Arzan sedang di taman belakang, Pak," jawab bodyguard itu cepat, berharap Haryo tidak mencurigainya lebih jauh.
Haryo mengangguk pelan, lalu menuruni tangga kembali ke lantai satu. "Baik, aku akan mencarinya di sana."
...----------------...
Di dalam kamar, Arzan masih berdiri di dekat Kirana yang tampak putus asa. Gadis itu memandangnya dengan mata penuh harap.
"Kau harus membawaku keluar dari sini, Arzan," kata Kirana dengan nada memohon. "Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi. Tolong!"
Arzan menghela napas panjang. "Kirana, aku ingin membantumu, tapi situasinya terlalu sulit sekarang. Jika aku membawamu keluar dengan cara ini, Haryo pasti akan mencurigai sesuatu, dan itu bisa memperburuk keadaanmu."
Kirana berdiri, mendekati Arzan dengan air mata menggenang di matanya. "Aku tidak peduli. Aku hanya ingin bebas! Tolong, Arzan. Kau tidak tahu betapa tersiksanya aku di sini."
Melihat ekspresi putus asa Kirana membuat hati Arzan berat, tetapi ia tahu risiko yang harus dihadapi jika bertindak gegabah. "Aku berjanji akan mencari cara untuk membantumu, Kirana. Tapi untuk sekarang, kau harus bersabar. Aku tidak ingin tindakan cerobohku malah membuatmu dalam bahaya lebih besar."
Kirana menggeleng dengan frustrasi, tetapi ia tahu Arzan tidak sepenuhnya salah. "Kau benar, tapi... aku tidak tahu seberapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini."
Arzan menatapnya dengan penuh simpati. "Aku mengerti. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu. Aku janji."
Ia kemudian melangkah ke pintu, memastikan situasi di luar aman sebelum keluar. Setelah meyakinkan diri, ia buru-buru meninggalkan kamar dan berjalan ke arah tangga.
...----------------...
Haryo, yang masih mencari-cari di taman belakang, akhirnya kembali ke ruang tamu dengan raut wajah bingung. Ia melihat Arzan baru saja turun dari tangga.
"Arzan! Dari mana saja kau?" tanya Haryo dengan nada curiga.
Arzan tersenyum tipis, berusaha terlihat santai. "Aku hanya melihat-lihat koleksi lukisan di lantai dua. Lukisanmu memang luar biasa, Haryo. Aku harus bilang, kau benar-benar punya selera seni yang mahal."
Haryo memperhatikan ekspresi sepupunya dengan seksama, tetapi tidak menemukan alasan untuk mencurigainya lebih lanjut. "Aku mencarimu di taman belakang, tapi kau tidak ada di sana."
"Ah, mungkin kita berpapasan," ujar Arzan dengan tawa ringan. "Bagaimanapun, aku harus bilang, rumahmu ini benar-benar seperti istana. Aku sampai tersesat."
Haryo hanya mendengus. "Baiklah. Kalau kau sudah selesai melihat-lihat, kita bisa makan malam bersama nanti.
Arzan menghampiri Haryo yang sedang duduk di ruang tamu, terlihat sedang memeriksa sesuatu di ponselnya. Dengan sikap santai, Arzan memulai pembicaraan.
"Haryo, aku mau tanya sesuatu," kata Arzan sambil duduk di hadapan sepupunya.
Haryo mengangkat alis, menatap Arzan dengan pandangan penasaran. "Tanya apa?"
"Tadi, saat aku di lantai dua, aku sengaja melihat-lihat koleksi lukisanmu. Tapi aku jadi salah fokus dengan sebuah kamar yang dijaga dua bodyguard. Siapa sebenarnya yang ada di kamar itu?" tanya Arzan dengan nada penasaran.
Haryo tersenyum tipis, seolah merasa tidak ada yang perlu disembunyikan. "Oh, dia calon istriku," jawabnya singkat.
Mata Arzan sedikit membesar. "Calon istrimu? Kenapa dia ada di rumah ini? Kenapa dia tidak bersama keluarganya? Dan kenapa kau menjaga kamarnya seperti itu?" tanyanya bertubi-tubi, rasa ingin tahunya semakin besar.
Haryo menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap Arzan dengan tenang. "Dia dijual oleh keluarganya kepadaku. Mereka menyerahkannya karena mereka butuh uang. Jadi sekarang dia milikku, dan aku akan menikahinya."
Kata-kata itu membuat Arzan terdiam sejenak. Ia menatap Haryo dengan ekspresi bingung dan tidak percaya. "Dijual? Serius? Kenapa ada keluarga yang menjual anaknya seperti itu? Apakah itu benar-benar terjadi, Haryo?"
Haryo tertawa kecil, seolah tidak merasa bersalah. "Percaya atau tidak, keluarganya sendiri yang membuat kesepakatan denganku. Mereka butuh uang, dan aku menginginkan dia. Sederhana saja. Lagipula, bukankah itu win-win solution?"
Arzan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ia tidak percaya ada orang tua yang bisa melakukan hal seperti itu pada anaknya sendiri. "Bagaimana kau bisa mengatakan itu dengan santai, Haryo? Dia bukan barang yang bisa kau beli atau tukar."
Haryo mendengus dan menyilangkan tangannya di dada. "Arzan, kau tidak tahu bagaimana dunia ini bekerja. Terkadang, keputusan sulit harus diambil demi kelangsungan hidup. Keluarganya tidak punya pilihan lain, dan aku memberinya tempat tinggal serta masa depan yang lebih baik."
"Tapi dengan mengurungnya seperti itu? Menjaga kamarnya dengan bodyguard? Apa dia bahkan setuju dengan pernikahan ini?" tanya Arzan, mencoba menahan emosinya.
Haryo menatap Arzan dengan tajam. "Dia tidak perlu setuju. Cepat atau lambat, dia akan menerima kenyataan. Tugasmu di sini hanya menikmati kunjunganmu, bukan ikut campur urusanku."
Arzan menghela napas panjang. Ia tidak ingin memperkeruh suasana, tetapi hatinya terasa gelisah. Apa yang baru saja ia dengar benar-benar membuatnya marah, terutama karena ia telah melihat Kirana yang terlihat begitu ketakutan dan tertekan.
Dalam hati, Arzan bertekad untuk tidak membiarkan hal ini berlanjut. Ia tahu dia harus mencari cara untuk menyelamatkan Kirana dari situasi ini, tetapi untuk sekarang, ia memilih menahan diri agar Haryo tidak mencurigainya.
"Baiklah, Haryo," katanya akhirnya, memasang senyum tipis yang dibuat-buat. "Aku hanya penasaran. Terima kasih sudah menjelaskannya."
Haryo mengangguk puas. "Bagus. Sekarang, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Aku akan minta Bi Lina menyiapkan sesuatu yang spesial untuk kita."
Arzan mengangguk, tetapi pikirannya tidak ada di tempat itu. Ia terus memikirkan Kirana, gadis yang terjebak di rumah ini tanpa keinginannya sendiri. "Aku harus membantunya keluar dari sini," pikirnya dalam hati.