Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1
Hujan turun sangat deras, meski tak ada angin yang berhembus, namun udara terasa begitu dingin.
Aku masih berada di area kampus karena setelah bertemu dengan Bara, aku terjebak oleh cuaca yang mendadak gelap. Tak ada petir, namun suasana yang sunyi membuatku sedikit merinding. Sebenarnya masih ada banyak mahasiswa dan dosen yang ada di sini, tapi mereka sedang berada di kelasnya masing-masing. Sementara jam studyku sudah berakhir sejak beberapa jam lalu.
Sampai ketika hujan sedikit reda, aku berlari dari pos satpam menuju halte bus. Ku gunakan tas untuk melindungi bagian kepala dari tetesan air.
Sesampainya di halte bus, aku melirik benda di tanganku yang menunjukkan waktu pukul 14:10 wib.
Sembari menunggu bus datang, ku raih telfon genggamku dari dalam tas. Ada beberapa panggilan masuk dari kedua sahabatku, dan juga bunda.
Aku yakin Emma dan Gabby pasti sangat penasaran dengan isi pembicaraanku dengan Rihana. Tapi karena aku tak begitu fokus, pikiranku juga masih di selimuti kekacauan, kekecewaan, serta kebodohanku, aku mengabaikan dering telfon begitu saja.
Ketika tengah fokus membaca pesan grup yang hanya beranggotakan tiga orang, tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di hadapanku.
Otomatis kepalaku yang semula menunduk, kini ku angkat dan sepasang netraku langsung mendapati mobil yang sudah ku tahu siapa pemiliknya.
Mas Sagara... Pria yang sebentar lagi akan menjadi suami kak Lala.
Bibirku terkatup, setelah pandangan kami bertemu karena kaca jendela sudah terbuka lebar.
"Kamu Jihan kan?" Tanyanya tanpa ekspresi.
Dia memang seperti itu, orangnya cuek, kaku, dan juga menyebalkan. Bisa-bisanya bertanya demikian, padahal ini bukan pertama kalinya kita bertemu.
"Bukan" Jawabku terdengar ketus di telingaku sendiri.
"Masuk ku antar pulang"
"Nggak perlu, aku naik bus saja"
"Masuk ku antar pulang" Ulangnya sedikit memaksa.
"Aku bisa pulang sendiri"
"Masuk!" Tekannya sekali lagi.
Suasana hatiku yang memang sedang tidak baik-baik saja, di tambah pertanyaan mas Sagara tadi, membuatku bersikap seenaknya pada calon kakak iparku.
Mau tak mau, akupun melangkah beberapa langkah kemudian membuka pintu mobil dengan wajah agak cemberut.
Sebenarnya aku sedikit kaget dengan kemunculannya yang secara kebetulan. Kebetulan yang enggak menyenangkan menurutku.
"Bukankah kelasmu berakhir sekitar satu jam yang lalu?" Tanya mas Sagara saat mobil sudah melaju.
Mendengar pertanyaannya, tentu saja aku langsung menoleh, menatap pipi kirinya dari samping.
"Kok mas tahu kelasku sudah berakhir satu jam lalu?"
Pria itu tak merespon. Baik dengan jawaban lisan maupun bahasa tubuh.
Ekspresinya benar-benar datar, membuatku ingin menjambak rambutnya kuat-kuat
Menarik napas panjang, aku kembali menatap lurus ke depan dengan di iringi seribu pertanyaan.
Kenapa pria kaku ini bisa sampai tahu tentang jadwal kelasku???
Apa dia baru saja ke kampusku??
Ada urusan apa?
Ah mungkin saja dia baru saja menemui temannya, dia kan juga dosen. Dia pasti cerita ke temannya kalau calon adik iparnya yaitu aku, kuliah di sana.
Tapi apapun itu, masa bodoh ah, bukan urusanku.
Kembali fokus ke jalanan, ku lempar wajah ke sisi jendela sebelah kiri. Menikmati perjalanan yang terasa amat canggung sebab tak ada perbincangan di antara kami.
Mas Sagara fokus menyetir, sementara aku mendadak teringat dengan pengkhianatan Bara. Hingga bermenit-menit berlalu, mobil tahu-tahu sudah nyaris berhenti di depan gerbang rumah ayah.
Aku sendiri bersiap untuk turun.
"Salam buat Lala, ayah sama bunda" Ucapnya dengan tangan memegang rem tangan.
"Mas nggak mampir?"
"Enggak"
Aku manggut saja meresponnya. "Makasih mas"
"Hmm" Sahutnya bersamaan dengan aku yang melepas seatbelt.
Membuka pintu mobil lalu turun, aku masih berdiri di sisi mobil berwarna hitam mengkilat. Aku akan masuk setelah mobil mas Sagara pergi.
Saat mobil mulai bergerak, mas Sagara membunyikan klakson sebelum benar-benar melesat, aku sendiri mengangguk meresponnya seraya berkata.
"Hati-hati, mas"
"Hmm"
Samar dehemannya masih ku dengar karena kaca jendela masih terbuka.
Hingga mobil itu kian mengecil dan kian jauh dari pandanganku, akupun berbalik lantas berjalan ke arah gerbang dan menekan bel.
"Selamat siang mbak Jihan" Sapa si satpam, setelah membuka sebagian pintu besi.
"Selamat siang pak Jim"
"Sudah pulang? Pulang naik apa, mbak?"
"Di antar mas Sagara"
"Loh, mas Sagaranya nda mampir?"
"Buru-buru katanya"
"Oh" Sahutnya singkat, sembari menutup kembali pintu gerbangnya.
"Masuk dulu ya, pak"
"Mangga, mba"
Mas Jim, adalah satpam sejak pertama kali ayah menempati rumah ini. Hingga sekarang dia masih menjadi penjaga rumah kami. Kami memperlakukannya seperti keluarga, ayah juga mengajari kami untuk selalu menghormatinya. Itu sebabnya mas Jim betah bekerja di sini dan tetap setia mengabdi di rumah ayah.
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam" Ada opa, oma dan kak Lala yang sedang bercengkrama di ruang tv. Kalau bunda pasti belum pulang kerja, ayah masih di lanud dan mas Ryu juga masih di kampus.
Ada banyak kerabat juga yang tengah sibuk mempersiapkan acara pernikahan kak Lala. Sebuah pernikahan yang akan di gelar minggu depan dengan mas Sagara, anak dari atasan ayah di Landasan Udara. Mereka menikah karena perjodohan, dan ku dengar mas Sagara sangat menyukai kak Lala.
"Tumben jam segini sudah pulang?" Tanya kak Lala. "Biasanya pulang malam"
"Hari ini lagi bad mood kak, jadi nggak ke toko bunga" Aku menyalami punggung tangan opa, oma serta kakak perempuanku.
"Badmood kenapa?" tanya oma, dan aku langsung mendaratkan kepala di atas pangkuannya.
"Capek oma"
"Memangnya ngapain saja di kampus selain belajar"
"Nggak ngapa-ngapain"
Oma Irma, usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tetapi masih enerjik. Sedangkan opa sudah duduk di kursi roda. Bukannya tidak bisa jalan, tapi kalau keluar rumah memang sudah tidak kuat jalan lama-lama. Beliau hanya mampu berjalan di dalam rumah, itupun sebentar-sebentar sudah merasa lelah. Tapi meski begitu daya ingatnya masih sangat bagus, rasa humornya juga masih sangat kental.
"Sudah makan belum, kalau belum makan dulu" Tandas opa Rio dengan nada lembut.
"Nggak lapar opa"
"Nggak lapar pun harus di isi nasi loh"
"Sudah tadi di caffee kampus bareng teman"
Setelah itu hening. Mereka kembali sibuk dengan pekerjaannya. Berbeda denganku yang mendadak pikiranku tertuju pada Bara. Si pengkhianat itu.
Ah kurang ajar memang...
BERSAMBUNG