Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Ronny menatap Tari dengan wajah yang semakin serius, meskipun di dalam hatinya dia merasa sedikit tidak nyaman dengan tuntutannya. Dalam pikiran Ronny, Tari lebih dari sekadar hubungan fisik. Dia sudah lama sadar bahwa Tari hanya pantas dijadikan teman tidur baginya, bukan pasangan hidup. Namun, dia juga tidak ingin mengungkapkan perasaannya secara langsung.
"Menurutmu, kita sudah siap untuk melangkah lebih jauh?" Ronny bertanya dengan nada datar, mencoba menghindari percakapan yang lebih dalam. "Aku merasa ada banyak hal yang masih harus kita atur sebelum membicarakan pernikahan."
Tari memandangi Ronny dengan tatapan tajam, jelas terlihat dia merasa frustrasi dengan jawaban itu. "Jangan terus menerus mengalihkan pembicaraan, Mas. Apa kamu tidak lihat aku ini sedang serius? Aku ingin sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan yang tidak jelas seperti ini."
"Sayang," kata Ronny dengan sedikit kekasaran, "Aku tahu kamu butuh kepastian, tapi aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan sekarang. Aku tidak bisa terus menerus dipaksa untuk membuat keputusan yang aku tidak siap. Aku masih ada banyak hal yang harus diurus, dan aku harap kamu bisa mengerti itu."
Tari tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Aku sudah lama mengerti, Mas. Tapi aku juga tidak bisa terus berada di hubungan yang tidak jelas. Aku butuh kejelasan, aku tidak mau berstatus sebagai selingkuhanmu"
Ronny yang sudah tidak tahan dengan tuntutan Tari akhirnya meledak. Dia menatap Tari dengan tajam, matanya penuh kemarahan yang tidak bisa lagi disembunyikan. "Kamu terus-menerus menuntut, tapi tidak pernah berpikir tentang apa yang aku inginkan! Apa kamu kira aku bisa terus memberikan semua yang kamu mau tanpa ada henti? Aku sudah bilang kan kalau semua butuh waktu!"
Tari terkejut mendengar nada suara Ronny yang begitu keras dan marah. Dia mundur sedikit, matanya penuh kekesalan. "Jadi sekarang aku yang salah?" ucapnya dengan suara bergetar, meski amarahnya juga terlihat jelas. "Aku hanya ingin kepastian, Mas! Kenapa kamu selalu menghindar?"
Suara Ronny mulai meninggi, "Jangan memprovokasiku untuk membuat keputusan yang akan kau sesali nanti. Kalau kau terus bersikap seperti ini, kamu hanya akan menjadi pengganggu di hidupku"
Tari merasa seperti disambar petir. Kata-kata Ronny menyakitinya lebih dari yang bisa dia ungkapkan.
"Dia hanya pelampiasan semata, tidak lebih seperti seorang pela-cur, beraninya dia menginginkan lebih daripada yang sudah aku berikan. Benar-benar wanita tidak tahu diri. Dia pikir aku tidak bisa hidup tanpanya" pikir Ronny.
"Tidurlah, kita tidak perlu memperpanjang masalah ini. Lebih baik kau tenangkan dirimu. Gunakan ini untuk membeli barang yang kau inginkan" kata Ronny meninggalkan Tari yang masih berdiri terpaku dengan mata berlinang sambil meninggalkan sebuah kartu kredit di atas meja.
...****************...
Tari menatap kartu kredit yang tergeletak di atas meja dengan tatapan penuh amarah. Kartu itu, yang seharusnya menjadi simbol kemewahan dan kebebasan yang dia inginkan, kini terasa hanya sebagai pemberian kosong, sebuah benda yang tidak memiliki makna selain untuk menutupi kekosongan yang ada di dalam dirinya.
Dia melirik kartu kredit itu dengan kemarahan yang semakin dalam, merasa semakin terhina dengan perlakuan Ronny. Perlahan, tangannya menggenggam kartu itu lebih kuat, seakan ingin menghancurkannya "Ini yang kamu berikan sebagai jawaban atas pertanyaanku? Setelah aku memberikan waktu, perasaan bahkan tubuhku untukmu Mas? Kau pikir semua akan selesai jika kau memberikanku uang?" tanyanya dalam hati.
Tari berbisik dalam suara pelan, menahan amarah "Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku, Mas. Kamu hanya melihat apa yang kamu inginkan. Tidak peduli bagaimana aku merasa atau apa yang aku butuhkan. Kau hanya memberi ini... untuk membuat dirimu merasa lebih baik, kan?"
Tari lalu melemparkan kartu yang sudah bengkok itu ke atas meja, "Kamu mungkin bisa membeli apa saja dengan uangmu, Ronny. Tapi, jangan kamu pikir aku akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun, pernikahan ini harus terjadi." ucapnya, dengan langkah cepat, Tari berjalan keluar ruangan, meninggalkan kartu itu tergeletak begitu saja di atas meja.
...****************...
Dina berjalan mendekati Linda dengan hati-hati, memastikan setiap langkahnya tidak mencurigakan. Dia berhenti sejenak, memandang wanita separuh baya yang sudah dikenalinya sejak lama, seorang pengasuh yang selalu menjaga Gio dengan penuh kasih sayang. Mata Dina sedikit berkaca-kaca, perasaan rindu dan harapan bercampur jadi satu.
Linda tersenyum lembut melihat Dina. "Apa kabar Bu Dina. Anda terlihat lelah." ucapnya dengan suara yang tenang, tapi penuh simpati.
Dina membalas senyum Linda, meski hatinya masih berat. "Terima kasih sudah mau menemuiku, Linda. Aku tahu ini berbahaya," kata Dina dengan nada pelan, menunduk sesaat sebelum kembali menatap wajah wanita yang telah banyak membantu dirinya dan Gio.
Linda mengangguk, wajahnya tampak khawatir. "Saya mengerti situasimu. Saya juga khawatir dengan Den Gio. Dia butuh ibunya," kata Linda lirih. "Tapi pak Ronny semakin curiga. Saya tidak bisa berlama-lama di sini."
Dina mendesah pelan, menatap jauh ke arah rumah Ronny yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Aku harus bertemu Gio. Aku tidak bisa terus begini, Linda. Tolong bantu aku, meski hanya sebentar..." Suaranya terdengar putus asa.
Linda terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Maafkan saya bu, Saya ingin membantu, tapi saya tidak bisa melakukan apapun. Saya.... Saya takut" ucapnya penuh kengerian.
Dina menggenggam tangan Linda penuh harap. "Aku akan hati-hati. Apa pun yang terjadi, aku akan lakukan demi Gio. Tolong bantu aku" jawabnya tegas.
Linda tersenyum tipis dan mengangguk. "Saya akan mencoba mencari celah segera setelah ada kesempatan. Tapi jangan terlalu banyak berharap, saya tidak bisa berjanji, Bu Dina bisa bertemu dengan Den Gio" kata Linda lagi.
Dina mengangguk lagi, kali ini dengan penuh kesungguhan. "Terima kasih, Linda. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya tanpa bantuanmu," ucapnya tulus.
Linda menerima dua kotak besar ASI beku yang diserahkan oleh Dina dengan hati-hati. Matanya sedikit berkaca-kaca melihat pengorbanan Dina, yang meskipun tidak lagi tinggal bersama Gio, tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya.
"Saya akan memastikan Den Gio, mendapatkan ini" ucap Linda dengan yakin namun penuh kehangatan.
Dina tersenyum lemah, merasa sedikit lega. "Terima kasih Linda, aku merasa lebih tenang sekarang. Setidaknya Gio masih bisa meminum ASI-ku, meskipun aku tidak bisa menggendongnya dengan tanganku sendiri" kata Dina sambil menghela napas panjang.
Linda mengangguk dan memeluk kotak-kotak itu erat, siap untuk menjalankan tugasnya dengan penuh hati-hati. "Saya mengatakan pada pak Ronny, ASI ini berasal dari tetangga di kampung saya yang kehilangan bayinya, jadi pak Ronny tidak akan curiga" lanjut Linda.
"Aku percaya padamu" jawab Dina dengan nada penuh rasa terima kasih. "Kapan pun kamu bisa membawakan kabar tentang Gii, tolong hubungi aku. Aku sangat merindukannya"
Linda tersenyum penuh pengertian. "Saya akan mengabari anda, setelah saya bisa melakukannya. Saya benar - benar berharap, ibu bisa bersatu kembali dengan Den Gio" ucapnya penuh harap.
Dina mengangguk, matanya berkaca-kaca, "Pasti, aku harus kuat. Demi Gio"
Setelah percakapan yang singkat itu, Linda berbalik dan membawa ASI beku itu dengan hati-hati menuju rumah Ronny. Sementara Dina tetap berdiri di tempat, menatap punggung Linda yang menjauh dengan perasaan campur aduk antara cemas, harap, dan kerinduan mendalam terhadap anaknya.
...****************...
Ronny melihat Linda memasuki rumah dengan membawa dua kotak besar, dia menghentikan langkahnya dan menatap kotak-kotak itu dengan penuh kecurigaan.
"Apa yang kamu bawa, Lin?" tanyanya dengan nada tajam, matanya menyipit saat melihat kotak yang dipegang oleh Linda.
Linda, meskipun merasa gugup, berusaha untuk tetap tenang. Dia meletakkan kotak-kotak itu di meja dan tersenyum kecil.
"Ini ASI, Pak. Dari ibu di kampung itu. Yang saya bilang sebelumnya," jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar biasa saja.
Ronny melangkah mendekat, mengamati kotak-kotak itu. "Kenapa banyak sekali kali ini?" tanyanya sambil melirik Linda dengan tatapan menyelidik.
Linda menghela napas kecil. "Ibu itu kebetulan punya stok lebih, Pak. Jadi saya minta untuk persediaan Den Gio. Biar tidak perlu bolak-balik ambil setiap hari," jelasnya, berharap alasan itu cukup masuk akal.
Ronny mengangguk pelan, masih dengan wajah penuh curiga, tapi tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut. "Pastikan Gio tetap sehat," katanya akhirnya sebelum berbalik menuju kamarnya. "Aku tidak mau dia jatuh sakit lagi."
Ronny berhenti sejenak dan memandang Linda dengan alis terangkat. "Bawa ibu itu ke sini. Akan jauh lebih baik kalau dia datang sendiri dan menyusui Gio langsung. Katakan aku akan membayarnya" ucap Ronny sambil menatap tajam ke arah Linda.
Mendengar usulan Ronny, Linda langsung merasa panik dalam hati, namun berusaha tetap tenang. Ia tahu, jika Ronny semakin curiga, situasinya akan semakin sulit.
"Aduh, Pak, soal itu rasanya agak sulit." kata Linda, berusaha terdengar wajar. "Ibu itu memang baik hati, tapi dia punya banyak tanggungan. Selain pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan, anaknya juga masih balita. Suaminya juga... hmm... agak pencemburu, Pak. Jadi, saya pikir lebih aman kalau kita tetap pakai cara ini saja."
Ronny menatap Linda dengan tajam, seolah menimbang setiap kata yang baru saja diucapkan. "Suaminya pencemburu, ya?" Dia terkekeh sedikit sinis.
"Baiklah, kalau memang begitu keadaannya. Tapi pastikan Gio tetap dapat ASI yang cukup. Aku tidak mau ada masalah dengan kesehatannya."
Linda tersenyum lega dan mengangguk cepat. "Tentu, Pak. Saya akan pastikan semuanya baik-baik saja."
Ronny tampak tidak terlalu puas, namun dia tidak mendesak lebih jauh. "Baiklah," katanya akhirnya, meskipun dengan nada yang masih terasa dingin. "Tapi pastikan Gio tidak kekurangan. Kalau sampai ada masalah dengan stok ASI-nya, langsung lapor padaku."
Linda mengangguk cepat, berusaha menyembunyikan rasa lega yang melanda
...****************...
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina