"DUARRR"
Akhirnya Zevana mengetahui dibalik sikap dingin suaminya. Gadis bernama lengkap Zevana Azalia Hermina Salim itu harus menelan pil pahit dalam rumah tangganya. Ia baru saja mengetahui kalau suami yang baru seminggu menikahinya itu ternyata memiliki tambatan hati. Pantas selama ini suaminya bersikap dingin, bahkan mereka tidak tidur satu kamar.
Apakah pernikahan itu akan terus berlanjut? Atau Zevana akan mencoba membuat suaminya jatuh hati padanya? Bukankah akan sangat melelahkan dan menyakitkan bila bertahan? Dan apakah suaminya mau melepas Zevana jika ada seseorang yang mau membahagiakan Zevana?
Inilah kisah Zevana seorang Putri dari orang ternama nan alim dan disegani. Siapa sangka rumah tangganya begitu nelangsa. Beri support ke author yahh..
Sebelumnya mohon maaf bila ada kesamaan antara nama tokoh, alamat, ataupun yang lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Trihandayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WWK BAB 24
Zevana mengeluarkan sebuah kertas dari tas kecilnya dan Ia berikan pada sang Ibu. Segera Direktur Hermina membuka dan membaca isi kertas itu.
"Nana, I.. Ini?" Ucap Direktur Hermina terputus.
Zevana mengangguk, sontak Direktur Hermina memeluk putrinya itu.
"Nana baru tahu, dan itu sesudah pengajuan gugatan cerai." Ucap Zevana. Suaranya bergetar seiring bulir bening yang berjatuhan dari matanya.
Zevan mengambil kertas yang Ibunya pegang, dirinya ikut sendu kala membaca isinya. Kertas itu pun beralih ketangan Yai Halim.
"Alhamdulillah, dijaga ya Na. Sementara kamu tinggal disini sampai masalah ini ada jalan keluarnya. Ayah harap kamu pertimbangkan kembali keputusan mu." Tutur lembut Yai Halim.
"Tapi, Yah. Nana takut Mas Ray tidak serius dengan ucapannya. Bukan tidak mungkin ini akan terulang kembali." Saut Zevana sembari menyeka sisa air mata.
Yai Halim tersenyum, dirinya memang tidak mau putrinya disakiti. Namun, dengan adanya berita ini dirinya harus berpikir ulang. Zevana butuh sosok suami saat ini. Apa lagi setelah anak yang di kandung Zevana nanti lahir. Anak itu butuh sosok Ayah untuk tumbuh kembangnya.
Yah, Zevana hamil setelah kejadian malam itu. Dirinya baru menyadari tanda-tandanya beberapa hari ini. Pagi tadi Zevana melakukan pemeriksaan dengan Dokter Obgyn setelah subuh tadi melakukan test dengan testpack.
"Allah maha membolak balikkan hati hamba-Nya, Na. Sebenarnya kalau dipikir ulang kamu juga berperan dalam masalah ini. Rayhan memang salah karena masih menjalin hubungan dengan kekasihnya walau sudah beristri. Namun, kamu juga tidak boleh mengalah begitu saja membiarkan Rayhan bersama wanita lain. Kamu yang lebih berhak atas Rayhan. Jangan diam kala suami mu melakukan dosa, Na." Papar Yai Halim mencoba memberikan pengertian pada putrinya.
Zevana terdiam menyelami kata demi kata yang Ayahnya ucapkan.
"Ayah tahu pasti yang kamu pikirkan adalah Rahyan terpaksa menikah dengan mu. Jadi biar kamu saja yang mengalah karena beranggapan kamu orang ketiganya. Bukan begitu? Nak, dia sudah meng "Iya" kan itu artinya dirinya siap dengan segala konsekuensinya. Mungkin kemarin Rayhan masih kehilangan jalannya saja. Dan mungkin alasan Kakek Panji meminta Rayhan menikahi mu adalah agar dirinya sadar kalau wanita yang sedang bersamanya saat itu bukan wanita baik-baik. See, Allah bongkar semua setelah kalian menikah bukan? Ayah tidak bermaksud membela Rayhan yang sudah jelas salah. Ayah hanya ingin kamu berfikir ulang, bisa jadi ini adalah ujian yang Allah berikan untuk rumah tangga mu. Sebagai istri kamu juga punya kewajiban untuk mengingatkan suami kalau salah." Tambah Yai Halim dan Zevana masih stay menunduk diam.
"Sudah, kamu pikirkan baik-baik ucapan Ayah. Kalau sudah siap, nanti kita adakan pertemuan dengan keluarga Rayhan. Sekarang istirahat, bolos dulu kerjanya. Ingat! Bumil nggak boleh setres apa lagi kecapekan. Iya kan, Sayang?" Tukas Yai Halim dengan menatap istrinya di akhir kalimat.
"Ayah mu benar, Sayang. Ayo Ibu anter ke kamar." Ucap Husna kemudian beranjak berdiri akan membawa Zevana kekamar.
"Ck, yolo nyak... Zevana udah gedhe, napa harus di anter sih. Udah mau jadi emak-emak juga." Gerutu Zevan yang mendapat tatapan tajam dari Ibunya.
"Nikah sana, biar ada yang perhatiin. Kerjaannya cemburu sama saudara sendiri." Saut Husna dengan nada sedikit menyindir.
Zevana yang mendengar perdebatan kecil kembarannya hanya bisa terkikik. Begitulah kalau Zevan sudah mode "ON". Apa saja bisa jadi bahan candaan.
"Ck, ane maunya yang kek enyak. Ada nggak duplikatnya?" Ucap Zevan kembali yang mendapat lirikan tajam dari sang Ayah.
"Kalau nggak, sama enyak aja deh. Nggak apa kan Babeh ntar malem tidur sendiri?" Goda Zevan melirik Ayahnya.
Sontak ucapan Zevan membuat Yai Halim melepas salah satu sendalnya. Tangannya sudah terulur untuk mengambil sendal itu dan bersiap untuk melemparnya ke arah putra sulungnya itu.
Zevan yang membaca gestur tubuh Ayahnya segera mengambil langkah seribu sebelum sendal terbang menyerangnya.
"Ck, posesif amat sih Beh... Bagi dikit kenape? Dulu juga sering bobok sama Enyak loh ane... Et dah..." Gerutu Zevan sembari lari terbirit-birit menyusul Ibu dan kembarannya.
Yai Halim yang melihat tingkah putra sulungnya itu hanya mampu menggelengkan kepala seraya mengusap dada beberapa kali, jangan lupa dengan mulut yang senan tiasa beristighfar.
"Astaghfirullah... Emang dasar JetPam. Kalo dah nyala hmmm..." Gerutu Yai Halim.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"PLAAAK"
Suara tamparan menggema di ruang tengah kediaman William. Wajah Rayhan sampai menoleh kesamping saking kerasnya tamparan itu. Bahkan ada bekas memerah lima jari dipipinya.
Yah, subuh tadi sebelum keluarga Istrinya bertamu Rayhan sudah lebih dulu mendatangi rumah orang tuanya itu. Niat ingin meminta bantuan Kakek Panji tapi nahas tamparan yang Ia dapatkan. Bukan dari Kakeknya namun tamparan itu dari sang Mama Lydia.
Barusan Rayhan menjelaskan tentang bagaimana brutalnya dirinya mengagahi Istrinya. Tentu hal itu memicu emosi sang Mama sebagai sesama perempuan. Tentu Mamanya tahu betul bagaimana rasanya.
"Brengsek kamu Rayhan. Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk berbuat kasar kepada perempuan. Tapi apa ini? Kamu justru melakukan hal itu kepada Istri mu sendiri! Kamu tahu tidak? Apa yang kamu lakukan bisa menimbulkan trauma bagi Zevana." Amarah Lydia membuncah sudah.
Dia tidak habis pikir dengar kelakuan putranya itu. Walaupun karena efek obat tapi tidak harus sebegitunya. Ahh makin kecil harapan Rayhan untuk kembali pada Istrinya pikir Lydia.
"Maaf.." Lirih Rayhan dengan wajah yang menunduk dalam.
Yah, dirinya tahu betul akan kesalahannya. Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur, pun dirinya juga tidak tahu kalau obatnya sekuat itu efeknya.
"Sudah, amarah tidak akan menyelesaikan masalah. Nanti kita coba bantu hubungi Zevana untuk bicarakan masalah ini baik-baik." Saut Kakek Panji menengahi.
"Tapi kalau Zevana tidak memberikan kesempatan untuk mu.." Ucap Kakek Panji terputus, menatap wajah cucunya.
"Kamu harus terima hukuman dari Kakek." Tukas Kakek Panji.
Rayhan mengangguk sebagai balasan atas ucapan Kakek Panji. Sedikit kelegaan karena keluarganya mau membantu menyelesaikan masalah rumah tangganya. Andai saja Zevana tidak menghindar, dirinya akan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri. Namun, kini urusannya telah berbeda.
Tak berselang lama setelah itu, keluarga Zevana datang.
.
.
Siangnya, Rayhan mendapat informasi dari orang suruhannya. Informasi yang membuat Rayhan terkejut juga tersenyum. Senyum yang jarang Ia tampakkan hingga mengundang rasa penasaran Kakek Panji yang duduk disebelahnya.
Yah, Rayhan tengah mengobrol dengan Kakeknya di halaman belakang.
"Kamu kenapa? Wis edan to?" Tuduh Kakek yang membuat senyum Rayhan redup seketika. (Wis edan to? \= Sudah gila ya?)
"Astaghfirullah, sembarangan Kakek ini." Sinis Rayhan tak terima dengan tuduhan Kakeknya barusan.
"Lagian mesam- mesem dewe wis koyo wong setres." Saut Kakek Panji tak kalah sinis. (Lagian senyam-senyum sendiri udah seperti orang setres.)
"Ck, Rayhan baru dapet kabar dari orang yang Rayhan minta untuk mata-matai Zevana." Ucap Rayhan seraya menyodorkan ponselnya kepada Kakek Panji.
Kakek Panji mengernyit heran sembari menatap ponsel yang cucunya sodorkan. Tangannya meraih ponsel itu, dan sekian detik kemudian matanya berbinar.
"Walah... Iki mah aku arep ndue buyut." Gumam Kakek Panji dengan senyuman yang merekah di bibirnya. (Halah... Ini mah aku akan punya buyut.)
To Be Continued...