Aiden Valen, seorang CEO tampan yang ternyata vampir abadi, telah berabad-abad mencari darah suci untuk memperkuat kekuatannya. Saat terjebak kemacetan, dia mencium aroma yang telah lama ia buru "darah suci," yang merupakan milik seorang gadis muda bernama Elara Grey.
Tanpa ragu, Aiden mengejar Elara dan menawarkan pekerjaan di perusahaannya setelah melihatnya gagal dalam wawancara. Namun, semakin dekat mereka, Aiden dihadapkan pada pilihan sulit antara mengorbankan Elara demi keabadian dan melindungi dunia atau memilih melindungi gadis yang telah merebut hatinya dari dunia kelam yang mengincarnya.
Kini, takdir mereka terikat dalam sebuah cinta yang berbahaya...
Seperti apa akhir dari cerita nya? Stay tuned because the 'Bloodlines of Fate' story is far form over...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melindungi
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Elara merasakan genggaman tangan Nate yang erat, penuh perlindungan. Dia menarik Elara lebih dekat, seolah-olah tidak akan membiarkannya hilang.
"Aku tidak akan membiarkan dia mengambil mu, Elara," ucap Nate dengan tegas.
"Kau adalah keluarga Grey, dan aku telah cukup banyak merusak hidupmu. Sekarang aku akan melindungi mu."
Ketika kata-kata itu sampai di telinga Monvok, ia meraung marah. Mengetahui putranya sendiri memilih melindungi darah suci ketimbang mendukungnya, membuat amarahnya meluap. Monvok melangkah maju, matanya merah membara. Tanpa kata-kata, ia melompat ke arah Nate, menebaskan cakar-cakarnya yang tajam.
Nate mengangkat lengannya, menahan serangan itu, tetapi cakar Monvok meninggalkan bekas luka yang dalam di kakinya. Namun, ia tetap berusaha melindungi Elara. Menyadari bahwa kesempatan untuk melarikan diri sangat sempit, Nate menarik Elara dan berlari menjauhi sang ayah.
“Tidak! Nate, kita tidak bisa meninggalkan Nenek Mika begitu saja!” Elara berteriak saat mereka sampai di tepi hutan.
Nate berhenti sejenak, terengah-engah. "Ini terlalu berbahaya untukmu, Elara. Aku berjanji, aku akan menolong Nenek Mika. Tapi tidak sekarang."
Elara marah, matanya berkaca-kaca. “Apa artinya bagimu melindungi keluarga kalau kau meninggalkan orang yang harusnya kau selamatkan?”
Nate menunduk sejenak, tak sanggup menatap mata kecewa Elara. “Percayalah padaku. Aku tak akan pernah meninggalkan Nenek Mika dalam bahaya. Tapi kau adalah darah suci, Elara. Jika ayahku mendapatimu, segalanya akan berakhir.”
Elara mendesah, merasa kalah, namun akhirnya mengangguk. Dia mengamati Nate yang kini bersandar di bawah pohon, napasnya masih tersengal. Luka di kakinya menganga, merah darah dan tampak nyeri.
“Lukamu itu…” Elara mengamati luka Nate, teringat sesuatu. “Nate, apakah luka itu berbahaya? Seperti racun?” pikirannya melayang pada racun jamur purnama, satu-satunya penawar untuk cakar seperti ini yang ia tahu.
Nate tersenyum tipis, meski rasa sakit tampak di wajahnya. “Jangan khawatir. Aku berjanji akan menolong Nenek Mika, walaupun aku terluka atau bahkan mati di tangan ayahku sendiri.” Tatapan Nate yang terluka itu membuat Elara terenyuh. Meski ia marah, Nate tetaplah ayah tirinya.
“Elara…” Nate menatapnya lembut, tetapi tatapannya seolah membawa Elara kembali ke sosok Esta, ibunya. Elara akhirnya berkata, “Kita harus kembali ke apartemenku. Di sana, kau bisa istirahat dan luka itu bisa kita rawat.”
Nate mengangguk lemah, memegang tangan Elara, dan tiba-tiba dalam hitungan detik mereka sudah berada di dalam kamar Elara. Elara terdiam, merasa heran bagaimana mereka bisa sampai secepat itu.
“Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?” tanyanya, penuh rasa penasaran.
Nate tersenyum, matanya menyiratkan kehangatan. “Aku bisa membaca pikiranmu saat menyentuhmu. Kelebihan ini memang bisa membawaku ke tempat yang kau pikirkan.” Ia tersenyum lelah, tahu bahwa kemampuan ini menguras banyak energi darinya.
Elara mengangguk, menatap Nate dengan lebih dalam. “Apakah semua vampir bisa membaca pikiran?”
“Tidak. Setiap vampir memiliki kemampuan yang berbeda-beda,” jawab Nate. Ia duduk di pinggir tempat tidur, tampak lelah, sementara Elara berdiri di sampingnya. “Ada yang memiliki kekuatan luar biasa, ada yang bisa menyembuhkan diri, dan ada pula yang bisa melihat masa depan.”
“Elara, aku tahu ini berat bagimu,” Nate melanjutkan, suaranya berbisik. “Namun ketahuilah, selama aku masih hidup, aku akan melindungi mu dan keluargamu.”
Elara merasakan sebuah ikatan tak terjelaskan dengan pria ini, walau amarahnya belum sepenuhnya mereda. Ia berusaha membenci Nate, tetapi hatinya juga merasakan simpati. Setelah semua yang ia lalui, Nate telah menunjukkan bahwa ia ingin menebus kesalahan masa lalunya.
Akhirnya, kelelahan mendominasi tubuh Elara. Tanpa banyak kata, ia merebahkan diri di tempat tidur dan perlahan-lahan memejamkan matanya. Di sampingnya, Nate tetap duduk, menatapnya dengan penuh perasaan. Sosok Elara mengingatkannya pada Esta, istrinya yang telah lama pergi.
Saat Elara terlelap, Nate tetap berjaga di sisinya. Meski tubuhnya terluka, ia tahu bahwa ini adalah perannya saat ini untuk memastikan bahwa darah suci seperti Elara tetap aman dari bahaya.
❦┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈ Bloodlines of Fate
Saat pagi tiba, Aiden mendapati kamar Elara kosong. Rasa khawatir menyergapnya, mengingat perbincangan terakhir mereka. Elara sempat bercerita bahwa ia sering merasa gelisah akhir-akhir ini, seolah ada firasat buruk yang tak mau pergi dari benaknya.
Aiden menghela napas panjang, mencoba berpikir jernih. Mungkinkah Elara kembali ke kampungnya? Tanpa berpikir panjang, ia segera bersiap untuk pergi mencarinya. Namun, saat ia membuka pintu rumah, ia tertegun melihat sosok Elara berdiri di sana, terlihat lelah namun tetap tenang.
“Elara!” Aiden langsung memeluknya erat, rasa lega bercampur khawatir. “Kemana saja kau? Aku mencarimu sejak pagi. Aku sangat khawatir.”
Elara membalas tatapan Aiden, ada kehangatan yang membuatnya merasa lebih tenang. Tapi kali ini, ia harus menahan perasaan itu. Ada hal yang lebih mendesak daripada perasaan yang tumbuh di hatinya.
“Aiden, aku butuh bantuanmu. Ini penting,” ucap Elara, suaranya sedikit bergetar. “Nate… ayah tiriku, dia terluka. Dan Nenek Mika… dia diculik oleh Monvok.”
Mendengar kata-kata itu, Aiden tercengang, tampak sedikit tidak mengerti. “Apa? Ayah tirimu? Siapa dia? Dan kenapa Nate terluka?”
"Apa kamu sudah tahu tentang Monvok?"
Elara menghela napas, mencoba menjelaskan, “Iya Monvok adalah vampir yang sangat berbahaya… dia ayah Nate. Monvok marah karena Nate memilih melindungiku, darah suci. Mereka bertarung, dan Nate terluka parah karena racun cakar Monvok. Dia butuh penawar, dan aku butuh bantuanmu untuk menemukannya.”
Aiden merenung sejenak, lalu menggenggam tangan Elara, matanya penuh ketegasan. “Aku akan membantumu, Elara. Kita akan menemukan penawar itu, dan kita akan menyelamatkan Nenek Mika.”
Elara mengangguk pelan, merasa lega. Bersama Aiden, ia merasa sedikit lebih kuat menghadapi semua ini.
Aiden terdiam sejenak, pikirannya melayang pada kata-kata Seraphane, wanita kuat dan bijak yang pernah memberinya peringatan “Akan datang hari di mana putraku mungkin menjadi ancaman bagimu.” Kala itu, Aiden tak pernah benar-benar memahami makna peringatan itu, namun kini segalanya terasa lebih jelas. Putra yang dimaksud ternyata adalah Lucian, vampir gelap yang kini berpihak pada Elara, bukan untuk menyerang, tapi untuk melindungi. Kenyataan ini memberikan secercah harapan di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.
Aiden menghela napas dalam, menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Saat itu, Kevin muncul, terlihat siap untuk berangkat ke kantor seperti biasanya. Namun, hari ini berbeda. Tanpa banyak basa-basi, Aiden memberi tahu Kevin tentang situasi yang mereka hadapi.
“Kevin,” Aiden memanggil, dengan nada tegas namun penuh urgensi. “Hari ini kita punya misi lain. Nenek Mika… dia diculik oleh Monvok, dan kita harus menyelamatkannya.”
Kevin tertegun mendengar kabar itu. Matanya membulat penuh keterkejutan. “Monvok? Vampir gelap itu… dia kembali lagi?” gumamnya, berusaha mencerna situasi. Dia menghela napas panjang, lalu menatap Aiden dengan kesungguhan. “Baik, aku ikut. Katakan saja apa yang harus kulakukan.”
Aiden mengangguk, merasa lebih tenang karena tahu bahwa Kevin adalah sekutu yang dapat diandalkan. Ia memberi isyarat pada Kevin dan Elara untuk bersiap-siap. “Pertama-tama, kita akan menuju tempat di mana Nate terakhir kali bertemu Monvok. Mungkin kita bisa menemukan petunjuk di sana.”
Elara mengangguk, meski hatinya berdebar. Bersama Kevin dan Aiden, dia merasa sedikit lebih kuat. Misi mereka baru saja dimulai, namun semangat mereka berkobar untuk menyelamatkan orang yang mereka cintai.