"Neng, mau ya nikah sama anaknya Pak Atmadja.? Bapak sudah terlanjur janji mau jodohkan kamu sama Erik."
Tatapan memelas Pak Abdul tak mampu membuat Bulan menolak, gadis 25 tahun itu tak tega melihat gurat penuh harap dari wajah pria baruh baya yang mulai keriput.
Bulan mengangguk lemah, dia terpaksa.
Jaman sudah modern, tapi masih saja ada orang tua yang berfikiran menjodohkan anak mereka.
Yang berpacaran lama saja bisa cerai di tengah jalan, apa lagi dengan Bulan dan Erik yang tak saling kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi ini Mama memutuskan pulang setelah 9 hari menginap di rumah. Mas Erik sudah memanaskan mobil karna akan mengantar Mama pulang. Sebenarnya aku ada janji dengan teman kantor, tapi harus di batalkan karna tidak mungkin membiarkan Mas Erik sendirian mengantar Mama, sedangkan aku malah pergi dengan orang lain. Walaupun Mama mungkin tidak akan mempersalahkan hal itu, aku tetap tidak enak hati.
Satu persatu aku menuruni anak tangga. Tadi aku sudah mengetuk pintu kamar yang ditempati Mama dan tidak ada jawaban. Begitu di cek, kamar sudah kosong.
"Katanya minta di tungguin, kok malah duluan." Gumam ku lirih.
Aku memelankan langkah ketika samar-samar mendengar suara orang berbicara di bawah tangga.
"Apapun. Pokoknya Bibi laporkan semuanya sama saya. Memang anak itu keras kepala, sudah dicarikan yang paling baik tidak ada bersyukurnya!"
"Baik Bu."
"Ya sudah, saya pulang dulu. Titip Bulan ya Bik."
Aku menghentikan langkah ketika suara itu tidak lagi terdengar. Tak lama, Mama muncul di bawah tangga dengan ekspresi kaget saat melihat ku.
"Loh,, kamu sudah disini rupanya. Mama baru aja mau panggil kamu, tadi habis ke dapur sebentar." Senyum di bibir Mama merekah, tapi tampak gugup. Tidak perlu aku tanya kenapa karna sudah mendengar sendiri walaupun hanya sebagian saja. Yang jelas, Mama dan Bik Asih sedang membicarakan aku dan Mas Erik.
"Eh,, itu tadi Bulan ke kamar Mama tapi kosong." Aku bergegas turun menghampiri Mama.
"Maaf ya, Mama berburu ke dapur sampai lupa kasih tau kamu. Ayo ke depan, Erik sudah siapin mobilnya." Mama dengan hangat merangkul lenganku.
Sebaik itu orang tua Mas Erik. Bukan hanya Mamanya saja, tapi Papa dan Adiknya pun sama baiknya pada ku. Aku diterima penuh oleh mereka sebagai anggota keluarga baru tanpa menganggap aku orang lain yang tiba-tiba menjadi keluarga mereka. Lalu bagaimana mungkin aku tega melukai dan mematahkan harapan mereka?
Seandainya saja Mas Erik bisa menerima ku sejak awal, aku tidak perlu bersikap ketus dan menolaknya berkali-kali seperti ini. Mungkin saat ini aku sudah bisa memberikan kabar bahagia pada kedua orang masing-masing dengan kehamilan.
"Mama tidak di depan?" Aku menahan Mama yang sudah membuka pintu belakang.
"Kamu saja, biar bisa suapin Erik. Mama bawa kue buatan Bik Asih, katanya buat makan di jalan." Mama menunjukkan paperbag kecil di tangannya sebelum masuk dan duduk di jok penumpang.
Aku tidak punya pilihan lagi selain menyusul dan duduk di sebelah Mas Erik yang sejak tadi sudah siap di balik kemudi.
"Ada yang mau Mama beli dulu?" Tawar Mas Erik sembari melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah.
"Mama mau beli baju sebenarnya, Mampir ke Mall dekat rumah Mama dulu tidak masalah kan?"
"Iya. Mama mana bisa di tolak kalau sudah urusan beli baju." Sahut Mas Erik.
"Memang kodratnya wanita seperti itu, hobby belanja." Sahut Mama yang sepertinya tidak mau terlihat gemar belanja.
"Kata siapa, Bulan saja tidak begitu"
"Ehh? Kok jadi aku? " Aku terkejut bukan main, bisa-bisanya Mas Erik membawa-bawa namaku untuk di bandingkan dengan Mama. Apa dia ingin membuat Mama kesal padaku karna di banding-bandingkan.
"Mama bilang kodratnya wanita memang berbelanja, tapi sejauh ini kamu tidak begitu. Mama hanya cari pembenaran saja." Seloroh Mas Erik memperjelas.
Demi apa, rasanya aku ingin menginjak kaki Mas Erik sekarang juga. Dia pikir, ucapannya akan membuatku terlihat seperti menantu idaman. Mama pasti akan tersinggung karna putranya lebih membela istrinya.
"Bulan yang tidak gemar belanja, atau kamu yang tidak pernah mengajaknya belanja?! Bilang saja tidak sanggup menafkahi Bulan." Suara tegas Mama yang menyudutkan Mas Erik membuat ku terkejut untuk kedua kalinya. Siapa sangka Mama malas membelaku dan menjatuhkan Mas Erik.
Aku menunduk, lebih baik diam dan cari aman dari perdebatan anak dan Ibu itu. Entah mereka hanya bercanda atau serius berdebat, aku tetap tidak ingin ikut campur. Sebaik-baiknya manusia, adalah yang memilih diam.
"Mama tega sekali bicara begitu, aku tidak pernah telat member nafkah pada Bulan. Dan membebaskan Bulan memakai uang itu untuk apa saja." Ujarnya menyangkal.
"Benar seperti itu Bulan?" Tanya Mama. Dia seperti kehilangan kepercayaan pada putranya sendiri sampai memastikan lagi pada ku.
"Eh,, iya benar Mah. Kartunya juga aku bawa kemana-mana." Aku menjawab jujur. Mas Erik memang tetap memberiku nafkah di luar uang kebutuhan rumah. Dia mengijinkan ku memakainya, tapi aku yang tidak ingin memakainya karna bisa menggunakan uang sendiri.
"Wah bagus kalau begitu. Nanti kita pakai untuk belanja saja, biar di ganti yang lebih banyak sama Erik. Bagaimana?" Ajak Mama antusias.
"I-iya Mah." Tidak mungkin aku menolak permintaan Mama walaupun sebenarnya khawatir memakai uang Mas Erik.
"Mama kan punya uang sendiri, kenapa pakai uang Bulan." Tegur Mas Erik.
"Tidak apa-apa Mas, uang kamu uang Mama juga." Sahutku cepat.
"Menantu saja bisa baik, masa kamu yang anak Mama malah perhitungan." Seloroh Mama.
Terdengar helaan nafas berat dari bibir Mas Erik, setelah itu dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tiba-tiba Mama menyodorkan kotak makan berisi bolu tape panggang yang aromanya langsung menguar. "Ini buat kamu sama Erik, makan saja. Mama juga di bawakan Bik Asih." Mama memperlihatkan tangan satunya yang juga memegang kotak makan berisi bolu.
"Makasih Mah."
Aku ragu-ragu menerimanya. Masalahnya setelah ini aku harus melakukan adegan menyuapi Mas Erik, menggunakan tangan kosong pula. Apa tidak membuat pria itu semakin kegeeran. Padahal selama ini aku sudah berusaha menghindari kontak fisik, sekarang malah di suruh menyuapi. Jika bukan karna ada Mama mertua, masalah sekali aku harus menyuapinya.
"Wanginya enak. Aku mau cobain, sayang." Ujar Mas Erik yang sempat melirik ku sekilas.
Kepalaku mendadak panas karna sebutan Mas Erik padaku. "Sayang, sayang!! Pintar sekali cari muka!" Cibirku yang hanya berani aku ucapkan dalam hati.
Dengan sedikit rasa dongkol, aku mengambil potongan bolu berukuran besar dan menyodorkannya pada Mas Erik. Pria itu tampak kaget melihat potongan kue di tanganku, tapi mulutnya sudah terbuka. Dengan kesadaran penuh, aku mendorong bolu itu secepat kita hingga masuk seluruhnya ke mulut Mas Erik.
Mas Erik membulatkan mata, tapi mulutnya berusaha mengunyah dengan susah payah saking penuhnya.
"Bagaimana, enak tidak?" Tanyaku seraya melempar senyum penuh arti.
"Hem, hem,," Jawabnya tanpa bisa membuka mulut.
"Ham, hem, ham, hem.! Kamu di tanya baik-baik kok jawabnya begitu!" Omel Mama.
rasanya aku ingin tertawa saking senang karna Mama terus menyerang Mas Erik, alih-alih menyayanginya sebagai anak. Justru aku yang selalu di bela.
Mas Erik diam karna memang belum bisa bicara.
"Uhhukk,,uhhuk." Mas Erik menunjuk air mineral dalam kondisi tersedak. Aku yang memang sebenarnya tidak bisa kejam, segera mengambil air dan memberikannya pada Mas Erik.
"Hati-hati Mas kalau makan." Aku menegurnya lembut.
"Ya ampun, kalian ini romantis sekali. Mama jadi ingat muda." Seloroh Mama tampak senang.
Aku hanya menyengir kuda, sedangkan Mas Erik tampak memutar bola matanya malas.