Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK13
Beberapa alat penyadap suara ditemukan di dalam apartemen Max. Clara yang ikut bantu mencari pun ikut terguncang.
“Bagaimana bisa sebanyak ini?” bibir Clara bergetar, kedua tangannya berkeringat dingin.
Max meninju dinding. “Sinting! Ini benar-benar sinting!” teriaknya murka.
Clara mengusap punggung Max, berusaha menenangkan.
“Siapa saja yang pernah masuk ke dalam apartemen mu, Max?” Tanya Clara memastikan.
Max memejamkan matanya sejenak, tak langsung menjawab. Ia berusaha mengingatnya terlebih dahulu.
“Liam, Jessie, Ethan, dan ....” Max menggantungkan kalimatnya sambil menatap Clara.
“Aku ...?” sambung Clara. “Apa menurutmu, aku mata-matanya?”
“Sorry, Clara. Kejadian malam ini terpaksa membuat kamu ikut masuk dalam daftar itu,” gumam Max.
Clara tersenyum lembut. “Justru akan lucu jika kamu mengecualikan aku, Max. Sikap waspada mu ini sangat mengagumkan.” Tanpa sadar, Clara mengusap lembut bahu Max. “Di antara kami semua, menurutmu siapa yang tau sandi apartemen mu, Max?” Pertanyaan Clara membuka jalan pikiran Max.
“Sudah pasti Liam dan kamu, Clara. Tapi, Ethan juga sepertinya mampu meretas sandi keamanan apartemen,” gumam Max.
Clara manggut-manggut, “Apa sebelum kejadian ini, apartemen mu pernah dibobol, Max?”
Max menggeleng sambil menelisik wajah Clara, lalu ia membatin, ‘sepertinya bukan Clara orangnya ....’
Untuk sesaat, suasana kembali hening. Hanya suara hujan menghantam kaca jendela yang menemani mereka.
Setelah memastikan semua alat penyadap suara telah dihancurkan, mereka kembali berdiskusi.
“Max ... mungkin ini terdengar lancang, tapi ... aku memeriksa latar belakang Jessie,” Clara berkata dengan ragu-ragu. Ia menatap Max, menerka-nerka apa yang tengah dipikirkan oleh pria tampan itu. Bagaimanapun juga, Max pernah menyukai Jessie, bahkan sekarang mungkin masih?
Beberapa detik Max terdiam, lalu berkata. “Apa hasilnya?”
“Sepertinya, Jessie juga memiliki trauma di masa lalu. Aku mencari informasi dari orang yang cukup bisa dipercaya. Jessie ... pernah menjalani beberapa terapi dengan metode yang dapat membantu mengurangi atau mengubah ingatan yang tidak diinginkan.”
Alis Max terangkat satu. “Memangnya ada terapi seperti itu?”
Clara mengangguk. “Meskipun terapi dengan metode seperti itu masih dalam penelitian, tapi, sudah cukup banyak yang menggunakannya. Dari informasi yang aku dapatkan, Jessie pernah menjalani Terapi Kognitif-Behavioral (CBT), terapi yang membantu pasien untuk mengubah cara berpikir dan berperilaku terkait dengan ingatan yang tidak diinginkan.”
Clara mengeluarkan buku kecil dari saku hoodienya, membuka catatan yang ia tulis, kemudian melanjutkan perkataannya. “Jessie juga pernah menjalani Terapi Eksposur. Di mana terapi ini membantu pasien untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan terkait dengan ingatan yang tidak diinginkan. —Dan sekarang ... Jessie menjalankan Terapi Farmakologis.”
“Menggunakan obat-obatan untuk mengurangi gejala kecemasan atau depresi terkait dengan ingatan yang tidak diinginkan?” Max memastikan perkataannya.
“Benar!” sahut Clara cepat.
“Menarik! Dan ... mencurigakan!” Max menyilangkan tangan di depan dada. “Clara ....”
“Hmm?”
“Selidiki Jessie diam-diam, termasuk Liam. Bajingan itu sangat mencurigakan.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hujan deras mengguyur kota pagi itu. Di sebuah klinik psikiater di sudut jalan, Liam duduk berhadapan dengan seorang pria yang kisaran usianya sepantaran dengannya.
Wajah Liam terlihat tegang, dia menggenggam sebotol obat penenang yang selalu dikonsumsi Jessie hampir setiap hari. Ya, Liam memutuskan untuk mencari informasi tentang obat yang tidak memiliki keterangan apapun di botolnya. Dan, penjelasan dari yang ahli sungguh mengejutkan.
“Sebaiknya, istrimu harus berhenti total mengkonsumsi obat ini, Liam. Selain ilegal, kandungan obat ini benar-benar membuat peng-konsumsi mengalami halusinasi tingkat tinggi. Dan yang paling bahaya adalah ... sifatnya menjadi luar biasa sensitif dan ... agresif.” Sang Dokter yang merupakan teman sejawat Liam pun akhirnya memberi saran. Suara hujan yang menghantam kaca jendela menjadi latar belakang percakapan mereka.
.
.
Jessie duduk di ruang tamu sambil menatap ke arah jendela. Hari ini, wanita itu kembali tidak bekerja. Tubuhnya terasa lemas, pikirannya cemas. Sejak tadi ia mencari-cari botol obatnya, tetapi, tak ia temukan di manapun.
Ponsel di atas meja pun ia sambar, pesan yang ia kirim pada Liam satu jam yang lalu kembali ia baca : Apa kamu melihat obat ku?
Tak ada balasan dari Liam. Namun, ceklis biru di layar sukses membuat hatinya dongkol.
“Di mana sih obatku? —Aku harus segera meminumnya. Ini—bisa bahaya ...,” gumamnya.
Pemilik rambut blonde itu tak hentinya menatap layar ponsel. Namun, sebuah pesan yang baru saja masuk cukup membuatnya terlihat tegang.
Kening Jessie berkerut saat melihat pesan berisi dua video. “Video apa sih?!”
Jessie memutar video pertama, video yang menunjukkan dirinya tengah membakar sesuatu di depan rumahnya.
Susah payah Jessie menelan ludah. Ia berusaha terlihat tenang. Namun, jemarinya yang tiba-tiba bergetar seolah menjawab situasi yang terjadi. Situasi yang menakutkan, situasi yang tidak ia inginkan.
Jessie melanjutkan untuk memutar video kedua. Namun tiba-tiba, ia melempar ponselnya ke atas meja. Tak lagi jemarinya, kini, tubuhnya pun ikut bergetar. Ia ketakutan. Sebuah video menunjukkan kemeja merah muda yang separuhnya sudah terbakar dilahap api, kemeja miliknya.
“S-siapa yang mengambil kemeja itu?!” Jessie menjambak rambutnya sendiri. Kepalanya nyaris pecah.
Jessie menatap ponselnya yang kembali berdenting. Sebuah pesan dari nomor yang sama, sebuah pesan dengan satu kalimat : “Dasar pembunuh!”
*
*
*
kembali kasih Kaka...🥰🥰
w a d uuuuuuhhhhh Bellaaaaa....
jadi inspirasi kalau di dunia nyata besok ada yg jahat² lagi mulutnya, siapkan jarum bius😅🤣😂.
tapi sayangku aku takut jarum suntik😅