Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strategi baru
Bayu duduk di meja kantin kampus, menatap buku filsafat kecil yang tergeletak di depannya. Pikirannya tidak benar-benar fokus pada tulisan-tulisan Plato atau Aristoteles. Ia sedang memikirkan cara untuk memperbaiki kesan yang hancur akibat gangguan Dimas, Adit, dan Riko tadi malam.
“Lo serius baca buku itu atau cuma pura-pura supaya keliatan sibuk?” suara Dimas tiba-tiba terdengar.
Bayu mendongak, melihat Dimas duduk di hadapannya sambil membawa segelas es teh. Di belakangnya, Adit dan Riko ikut duduk, masing-masing membawa makanan.
“Gue nggak pura-pura,” jawab Bayu dengan nada lesu.
“Ah, jangan bohong. Dari raut muka lo, kelihatan jelas kalau lagi mikirin Rara,” cibir Adit sambil membuka bungkus nasi gorengnya.
Riko menambahkan, “Ngaku aja, Bay. Kita udah tahu kok lo punya niat buat nyatain perasaan. Tapi, jujur aja, cara lo terlalu kaku.”
Bayu menghela napas panjang. "Gue nggak ngerti, bro. Kalau gue terlalu frontal, takutnya malah bikin Rara ilfeel. Kalau gue diem aja, dia bisa mikir gue nggak serius."
“Ya, lo tuh kayak Socrates yang terlalu sibuk bertanya tapi nggak pernah sampai ke kesimpulan,” ujar Dimas sambil tertawa.
“Lo jangan ngejek dulu, Dim. Socrates tuh lebih hebat dari kita semua,” balas Bayu sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Dia nggak nyari kesimpulan karena dia tahu, hidup itu kompleks. Sama kayak hubungan gue sama Rara.”
Adit tertawa keras. “Hidup lo kompleks apaan? Lo aja baru ngomong setengah jalan, terus kabur waktu Rara nunggu jawaban lo.”
Bayu mengerutkan dahi, merasa disudutkan. “Oke, terus menurut lo gue harus gimana? Lo kan paling jago nyela orang, kasih ide dong!”
Dimas, Adit, dan Riko saling melirik. Mereka tahu ini kesempatan emas untuk membuktikan bahwa mereka bisa menjadi wingman terbaik.
“Gini, Bay,” Dimas memulai, “malam ini kita bikin rencana. Gue, Adit, sama Riko bakal bantu lo bikin momen yang nggak bakal bisa dilupain Rara.”
Bayu menaikkan alis, curiga. “Apa lagi ini? Jangan sampai kayak semalem, lo semua cuma bikin kacau.”
“Percaya sama kita kali ini,” ujar Riko sambil menepuk bahu Bayu. “Kita serius.”
Adit mengangguk. “Bay, lo tahu nggak, salah satu filosofi hidup yang keren itu adalah ‘kadang lo butuh orang lain untuk mengubah takdir lo.’ Jadi, biarkan kita bantu.”
Bayu akhirnya menyerah. “Oke, gue dengerin. Tapi kalau gagal, gue nggak bakal ikut campur lagi sama ide-ide absurd lo.”
Malam yang Direncanakan
Pukul 19.00, Bayu berdiri di depan taman kota yang diterangi lampu-lampu kuning temaram. Ia mengenakan kemeja sederhana yang disetrika rapi—satu dari sedikit pakaian bagus yang ia miliki.
“Lo yakin Rara bakal dateng?” tanya Bayu dengan nada gugup.
Dimas menepuk pundaknya. “Santai aja. Gue udah kasih tau Rara kalau ada sesuatu yang penting. Dia pasti dateng.”
Di sisi lain taman, Adit dan Riko bersembunyi di balik semak-semak, memantau situasi. Mereka berdua membawa gitar kecil dan lilin, siap menciptakan suasana romantis kapan saja.
“Bay, inget ya,” bisik Dimas, “kalau lo mulai nervous, ambil nafas dalam-dalam. Dan kalau lo kehabisan kata-kata, balik lagi ke kutipan filsafat.”
Bayu menatapnya dengan mata skeptis. “Kutipan filsafat? Lo serius? Nggak semua orang ngerti itu, Dim.”
“Rara ngerti kok. Dia kan pintar. Lagi pula, itu ciri khas lo,” balas Dimas.
Tidak lama kemudian, Rara muncul dari kejauhan. Ia mengenakan dress sederhana berwarna biru tua, dengan rambut yang dibiarkan terurai. Bayu merasa jantungnya berdetak lebih cepat.
“Bay, gue udah di sini. Ada apa yang penting banget sampe lo manggil gue ke sini malam-malam?” tanya Rara sambil mendekat.
Bayu menggaruk kepala, mencoba menenangkan diri. “Ra... ada yang pengen gue omongin.”
“Hmm, apa tuh?”
Bayu mencoba mengingat kalimat yang sudah ia siapkan. Tapi sebelum ia sempat bicara, dari balik semak-semak terdengar suara gitar yang dimainkan oleh Adit dan Riko. Melodi lembut mengalun, menciptakan suasana romantis yang agak canggung.
Rara melirik ke arah suara itu, lalu menatap Bayu dengan tatapan penuh tanda tanya. “Ini apaan, Bay? Lo bawa orkestra ke sini?”
Bayu memutar otak, berusaha mencari jalan keluar. “Eh... anggap aja ini bonus.”
Rara tertawa kecil, membuat Bayu semakin gugup. Akhirnya, ia memberanikan diri untuk bicara.
“Ra, gue udah lama mikir tentang ini,” ujar Bayu. “Lo tahu nggak, ada kutipan dari Plato yang bilang, ‘Cinta adalah kerinduan jiwa untuk menyatu dengan yang lainnya.’ Gue rasa... itu yang gue rasain tiap kali gue bareng lo.”
Rara terdiam. Ia tidak menyangka Bayu akan mengungkapkan perasaannya dengan cara seperti ini.
Bayu melanjutkan, “Lo selalu bilang gue orang yang nggak peka, nggak ngerti apa-apa soal perasaan. Tapi gue sadar, mungkin gue nggak ngerti karena selama ini gue takut. Takut kalau gue bakal ngerusak sesuatu yang udah baik antara kita.”
Adit dan Riko mulai memainkan lagu yang lebih riang dari balik semak-semak, sementara Dimas sibuk memberi isyarat agar Bayu terus bicara.
Rara menghela napas pelan, menatap Bayu dengan mata yang penuh emosi. “Bay... lo serius ngomong kayak gini sekarang?”
Bayu mengangguk. “Gue nggak tahu gimana caranya bilang ini tanpa keliatan bodoh, tapi gue suka sama lo, Ra. Gue suka cara lo berpikir, cara lo ngomong, cara lo selalu ada buat gue.”
Rara tidak langsung menjawab. Ia memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan senyum kecil yang muncul di bibirnya.
Tiba-tiba, suara gitar berhenti, dan Dimas keluar dari balik semak-semak sambil berteriak, “Yes, akhirnya lo ngomong juga, Bay! Gue udah capek bantuin lo!”
Adit dan Riko menyusul dengan tawa keras, sementara Bayu hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan.
“Lo semua ngapain keluar?” tanya Bayu dengan nada frustrasi.
“Eh, kita cuma bantu ngecek suasana!” balas Riko dengan santai.
Rara tertawa melihat kekacauan itu. Ia lalu berjalan mendekati Bayu, menepuk bahunya pelan. “Bay, lo bener-bener unik. Gue nggak tau harus bilang apa sekarang. Tapi... gue seneng denger lo ngomong jujur.”
Bayu menatap Rara dengan ragu. “Jadi, lo...?”
“Gue nggak janji apa-apa,” jawab Rara sambil tersenyum. “Tapi gue rasa, lo pantas buat dikasih kesempatan.”
Dimas, Adit, dan Riko langsung bersorak riang, membuat suasana malam itu semakin ramai. Sementara Bayu hanya bisa menghela napas lega, bersyukur bahwa langkah pertamanya telah berhasil. Meskipun ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.