Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan dari Arfan
"Pak Erick, ini kopi sama rotinya, Pak." Sekretaris Erick meletakkan secangkir kopi dan beberapa potong roti isi ke atas meja kerja Erick.
Erick mendongak sekilas, lalu mengangguk.
"Terima kasih," sahut lelaki itu sembari kembali melihat ke arah layar laptopnya.
"Tidak ada yang Bapak butuhkan lagi?" tanya sekretaris itu lagi.
"Tidak. Silakan lanjutkan pekerjaanmu," sahut Erick lagi tanpa beralih dari pekerjaannya.
"Baik, Pak." Sekretaris itu akhirnya sedikit membungkukkan badannya, sebelum kemudian kembali ke meja kerjanya yang berada tak jauh dari meja kerja Erick.
Rima, sosok sekretaris muda yang telah bekerja membantu semua pekerjaan Erick selama setahun belakangan ini. Dia kembali meneruskan pekerjaannya seperti yang Erick minta, tapi sesekali matanya tampak melirik ke arah atasannya itu. Selama Rima bekerja untuk Erick, baru kali ini dia melihat lelaki itu minta disiapkan sarapan di kantor. Biasanya, istrinya tak akan membiarkan Erick makan makanan sembarangan.
Siapa yang tidak tahu kalau Erick adalah suami dari Lalita Baskara, putri kesayangan dari direktur sekaligus sang pemilik hotel. Erick yang sejak menikahi Lalita diangkat menjadi wakil direktur, tentunya bertransformasi menjadi sosok yang paling disegani juga. Tak jarang dia menjadi incaran para perempuan penggoda yang kebetulan juga bekerja di hotel tersebut karena posisinya yang ini hanya setingkat di bawah pimpinan utama. Namun, tentu saja sejauh ini tak ada skandal yang menjerat Erick. Semua itu tak luput dari peran Lalita yang begitu besar.
Di kalangan para karyawan hotel, Lalita terkenal protektif dan pencemburu. Hanya Rima saja yang bertahan cukup lama menjadi sekretaris Erick karena dia tak berusaha menggoda atasannya itu. Sebelumnya, entah sudah berapa orang sekretaris yang diberhentikan karena kedapatan merayu Erick. Bukan hanya sekretaris, tapi siapapun yang terlihat memiliki gelagat tak baik, pasti akan langsung segera disingkirkan oleh Lalita.
Bahkan, putri kesayangan direktur itu rela setiap hari datang ke hotel untuk mengantarkan makan siang hasil masakannya sendiri untuk Erick, saking cintanya dia. Itulah kenapa saat ini Rima agak heran melihat Erick pagi ini sarapan ala kadarnya di kantor.
"Pak Erick," panggil Rima kemudian setelah beberapa saat sebelumnya dia menerima panggilan interkom.
"Iya?" Lagi-lagi Erick menyahut tanpa menoleh.
"Bapak diminta datang ke ruangan Direktur." Rima memberitahu.
Kali ini Erick mendongakkan kepalanya, lalu tertegun sejenak. Tak biasanya mertuanya itu memintanya datang ke ruangannya.
"Katanya Pak Arfan mau membahas hasil meeting rencana perluasan hotel tempo hari." tambah Rima lagi.
"Oh." Erick bergumam lega. Entah kenapa, dia merasa tak siap kalau mertuanya itu hendak membahas tentang Lalita. Erick sendiri memiliki begitu banyak pertanyaan yang mengganjal di pikirannya tentang sang istri, yang tentunya belum dia cari tahu jawabannya.
"Pak Arfan bilang sekarang, Pak." Rima kembali mengingatkan.
"Iya, baiklah." Erick sedikit menghela nafasnya, sebelum kemudian menutup laptopnya.
Lelaki itu kemudian bangkit dan keluar dari ruang kerjanya, lalu pergi menuju ke ruang kerja Arfan. Dia memberitahukan kedatangannya dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Barulah setelah dipersilakan masuk, dia masuk ke dalam sana.
Erick sedikit terkejut saat mendapati Larisa juga ada di ruangan tersebut, meski sebenarnya kehadiran Larisa di sana bukanlah sesuatu yang aneh, mengingat Larisa juga bekerja di hotel sebagai kepala divisi perencanaan.
"Duduk dulu. Ada yang mau Papa bicarakan pada kalian berdua," perintah Arfan pada Erick.
Erick pun menurutinya dan menghenyakkan bobot tubuhnya di samping Larisa. Setelah kejadian semalam, ada perasaan tak nyaman yang kini menghinggapi dirinya hanya dengan duduk di samping kakak iparnya ini sekaligus perempuan yang dicintainya ini. Padahal, sebelumnya dialah yang selalu mencari-cari kesempatan untuk berdekatan dengan Larisa saat mereka sedang bekerja.
"Mengenai rencana perluasan hotel, kita memang belum bisa merealisasikannya dalam waktu dekat. Tapi Papa berencana untuk membangun satu cabang hotel lagi di salah satu kota yang sektor pariwisatanya sedang berkembang pesat." Arfan membuka pembicaraannya.
"Erick, kali ini Papa ingin kamu membantu Risa untuk membuat perencanaannya. Ada beberapa daftar kota. Kalian analisa, kota mana yang paling potensial," tambah Arfan lagi. Lelaki itu kemudian mengeluarkan beberapa berkas, lalu diberikannya pada Erick dan Larisa.
"Pelajari itu, lalu nanti berikan hasil analisa kalian pada Papa."
"Baik, Pa." Erick dan Larisa menjawab hampir bersamaan. Mereka saling menoleh, lalu terlihat membuang muka kembali dengan ekspresi canggung.
Erick sendiri tak paham kenapa dia tidak merasa senang saat mertuanya memerintahkan dirinya untuk bekerja sama dengan Larisa. Padahal, kesempatan seperti inilah yang selama ini dia cari. Jika kedepannya dia dan Larisa resmi memegang sebuah proyek bersama, tentu nantinya mereka akan lebih sering bepergian bersama juga.
Ada perasaan yang mengganjal yang saat ini Erick rasakan, meski dia juga tak tahu apa. Yang jelas, sejak berangkat dari rumah dalam keadaan tak menyentuh sarapannya tadi, pikiran lelaki itu terus mengarah pada Lalita.
"Itu saja yang ingin Papa katakan pada kalian. Silakan kembali dan meneruskan pekerjaan kalian," ujar Arfan kemudian, membuyarkan pikiran Erick.
"Baik, Pa. Kalau begitu, saya permisi dulu." Larisa bangkit lebih dulu dan meninggalkan ruangan Arfan, sedangkan Erick langsung ditahan kembali begitu dia hendak bangkit.
"Apa ada hal lain lagi, Pa?" tanya Erick.
"Iya. Papa baru ingat, bagaimana keadaan Lita sekarang? Apa semalam terjadi sesuatu sampai dia meninggalkan pesta?" tanya Arfan sembari menatap Erick lekat.
Sorot mata Arfan begitu tajam, membuat Erick sedikit menahan nafasnya. Akhirnya pertanyaan tentang Lalita keluar juga dari mulut Arfan. Erick sangat tahu, di balik ucapan Arfan yang terdengar cukup santai, lelaki paruh baya saat ini sedang menatapnya penuh selidik.
Arfan adalah tipe orang yang sanggup melakukan apa saja demi menghancurkan orang yang membuat putri sesayangannya bersedih. Jika Erick nekat menceraikan istrinya itu, apalagi demi Larisa, maka bisa dipastikan Arfan akan menghancurkannya dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Lita baik-baik saja, Pa. Tidak terjadi apa-apa. Dia hanya lelah dan memutuskan untuk langsung pulang," sahut Erick akhirnya setelah terdiam selama beberapa saat.
"Jika dia hanya lelah, bukannya bisa beristirahat di kamar hotel saja, tidak perlu langsung pulang. Kamu yakin kalau tidak ada hal buruk yang dialaminya?" tanya Arfan lagi.
"Tidak, Pa. Lita hanya lelah dan ingin beristirahat dengan nyaman di rumah, bukan karena apa-apa." Erick berbohong. Padahal faktanya, dia juga tidak tahu alasan Lalita buru-buru pulang semalam.
Arfan terlihat menghela nafasnya.
"Aku harap memang seperti itu, Erick," gumamnya.
"Aku harap kamu tidak melakukan sesuatu yang membuat Lita bersedih, apalagi sampai meneteskan air mata. Kamu mesti ingat, alasan kenapa aku mengangkat posisimu sampai setinggi sekarang, itu karena aku ingin kamu memiliki kemampuan untuk membahagiakan putriku. Jangan pernah sakiti dia meski hanya seujung kuku. Jika dia sampai tidak bahagia, aku pastikan kamu akan kembali ke tempat di mana kamu berasal, tentunya dalam keadaan yang lebih buruk dibandingkan saat aku membawamu dulu." Arfan mengingatkan dengan nada bicara yang tak main-main.
Bersambung ....