Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GOMBALAN KEVIEN
Sore itu, arisan ditutup dengan riuh tawa ibu-ibu yang tampak puas setelah Tante Nadia dinobatkan sebagai pemenang. Tante Nadia tersenyum lebar sambil memeluk bingkisan hadiah yang ia terima. Regita hanya ikut tersenyum kecil, menikmati suasana sambil menggigit brownies panggang yang baru saja ia ambil dari piring saji. Brownies itu lezat, manisnya pas, dan teksturnya lumer di mulut.
Kevien, yang duduk di seberangnya, terus memperhatikan Regita. Matanya tidak lepas dari gerak-gerik gadis itu. Ia menyadari ada sedikit cokelat dari brownies yang menempel di sudut bibir Regita. Sebuah pemandangan kecil yang entah kenapa membuatnya tersenyum.
"Git," panggil Kevien pelan sambil menunjuk sudut bibirnya sendiri.
"Hmm?" Regita mengangkat wajah, menatap Kevien dengan bingung. "Apa?" tanyanya polos.
Kevien menyandarkan punggung ke kursinya, memperlihatkan senyum tipis. "Itu di bibir kamu, belepotan cokelat," katanya dengan nada lembut.
Regita langsung tersentak. Ia buru-buru menyeka bibirnya dengan tisu, merasa malu. Namun, gerakan refleks itu membawa pikirannya melayang ke suatu momen yang pernah terjadi sebelumnya.
Ia teringat Aksa—kakak tirinya—melakukan hal yang sama, bahkan dengan cara yang lebih menggoda. Regita menggigit bibir bawahnya, berusaha menghapus kenangan itu, tetapi wajah Aksa justru semakin jelas di benaknya. Senyumnya, tatapannya, caranya berbicara... semuanya muncul begitu saja, membuat pipinya terasa panas.
Kevien memperhatikan perubahan ekspresi Regita yang tiba-tiba. Ia memiringkan kepalanya sedikit, merasa penasaran. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba diem?" tanyanya.
"Nggak apa-apa," jawab Regita cepat, mencoba mengendalikan dirinya. "Aku cuma malu aja. Makasih udah ngingetin."
Kevien tersenyum lagi. Ia tidak ingin membuat Regita semakin canggung, jadi ia hanya mengangguk sambil berkata, "Nggak usah malu. Itu wajar kok. Lagian, belepotan kayak gitu cuma bikin kamu kelihatan lebih manis."
Regita menatap Kevien dengan alis terangkat, merasa ucapan itu sedikit berlebihan. "Hah? Manis apanya? Malu, iya," balasnya setengah bercanda, mencoba mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya lagi.
"Terserah kamu mau percaya atau nggak," sahut Kevien santai. "Tapi kalau aku jadi kamu, aku bakal bangga. Soalnya, nggak semua orang bisa tetap cantik walaupun belepotan cokelat."
Perkataan itu membuat Regita semakin salah tingkah. Ia tidak tahu harus menanggapinya bagaimana, jadi ia hanya pura-pura sibuk memotong brownies di piringnya. Kevien tertawa kecil melihat reaksi gadis itu, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Regita benar-benar berbeda dari yang lain, pikirnya sambil mengamati wajah Regita yang kini sedikit memerah.
Tak jauh dari mereka, Tante Nadia memanggil semua tamu untuk berkumpul di ruang depan. "Ayo, semuanya! Sebelum pulang, kita foto dulu. Nanti dikirim ke grup arisan!"
Regita menghela napas lega, merasa terselamatkan oleh ajakan itu. Ia berdiri dan berjalan menuju ruang depan bersama tamu-tamu lainnya. Namun, saat berjalan, ia merasa ada seseorang yang memperhatikan setiap langkahnya. Dan benar saja, Kevien terus menatapnya dengan senyum kecil di bibirnya, seakan tidak ingin kehilangan momen untuk memperhatikan gadis itu lebih lama.
Setelah sesi foto selesai, suasana perlahan menjadi lebih santai. Para tamu mulai berpamitan satu per satu, meninggalkan ruang tamu yang kini hanya menyisakan beberapa orang, termasuk Regita, ibunya, Tante Nadia, dan Kevien.
"Git, bantu Bunda angkat ini ke mobil, ya," pinta Bundanya sambil menunjuk beberapa kantong berisi hadiah dan bingkisan arisan. Regita mengangguk patuh, lalu mulai membawa satu kantong besar.
Kevien yang memperhatikan langsung melangkah mendekat. "Biar aku bantu aja, Git," katanya, mengambil kantong itu dari tangan Regita sebelum gadis itu sempat menolak.
"Eh, nggak usah. Aku bisa sendiri kok," sahut Regita, tapi Kevien sudah lebih dulu berjalan mendahuluinya ke luar rumah. Gadis itu hanya bisa menghela napas dan mengikuti dari belakang.
Di luar, matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menyinari halaman rumah Tante Nadia. Kevien meletakkan kantong itu di bagasi mobil dengan hati-hati, lalu menoleh ke arah Regita yang baru saja sampai.
"Kamu sering ikut arisan kayak gini?" tanya Kevien sambil bersandar santai di sisi mobil.
Regita menggeleng pelan. "Nggak sering sih. Aku cuma ikut kalau Bunda maksa aja, kayak hari ini," jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Untung kamu ikut. Kalau nggak, aku mungkin bakal bosan banget di sini," ujar Kevien dengan nada ringan, tapi matanya menatap Regita dengan penuh arti.
Regita mengerutkan alis, merasa aneh dengan ucapan itu. "Hah? Maksudnya apa?"
Kevien tersenyum kecil, mendekat sedikit ke arah Regita. "Maksudnya, kamu bikin acara ini jadi lebih menarik," katanya, nada suaranya rendah namun jelas.
Regita merasa pipinya mulai memanas lagi. Ia mencoba mengalihkan pandangan, tapi Kevien terus menatapnya dengan intens. "Kamu ini suka banget ngegombal, ya," katanya, mencoba terdengar santai.
"Aku nggak ngegombal," sahut Kevien cepat. "Aku cuma bilang apa yang aku pikirin. Kamu... beneran cantik hari ini, Git."
Kata-kata itu membuat Regita tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, berusaha menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdebar lebih cepat.
Kevien tersenyum melihat reaksi Regita. Ia merasa senang bisa membuat gadis itu salah tingkah. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, suara Tante Nadia memanggil dari dalam rumah.
"Kevien, bantu Mama angkat piring-piring ini ke dapur!"
"Ya, Ma!" sahut Kevien, lalu menoleh lagi ke arah Regita. "Aku masuk dulu, ya. Tapi nanti kalau kamu butuh bantuan, panggil aja. Aku selalu ada buat kamu."
Regita hanya bisa mengangguk kikuk, melihat Kevien berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah santai. Dalam hati, ia bertanya-tanya, Kenapa hari ini banyak banget hal yang bikin aku deg-degan?
•••
Nadia, yang berdiri di sudut ruangan, memperhatikan putranya sambil tersenyum. Ada sesuatu yang menarik di wajah Kevien hari ini, terutama setiap kali pandangannya terarah pada Regita selama acara tadi.
"Kevien," panggil Nadia sambil mendekatinya.
Kevien yang sedang membawa piring-piring kotor ke dapur menoleh. "Iya, Ma?" jawabnya datar, meskipun dia sudah bisa menebak ibunya akan mulai bicara sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Nadia tersenyum penuh arti. "Mama kok senyum-senyum sih?" tanya Kevien sambil meletakkan piring di bak cuci. "Ada apa sih?"
Nadia menggeleng, tetapi matanya masih memancarkan godaan. "Nggak, cuma kayaknya Mama lihat ada yang lagi kasmaran, deh," ucapnya pelan, dengan nada menggoda.
Kevien menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan rasa malunya. “Mama, mulai lagi, deh,” keluhnya sambil mengangkat piring-piring kotor ke bak cuci di dapur.
Nadia hanya terkekeh sambil melipat tangan di depan dada, memandang putranya yang kini sibuk mencuci piring. "Apa Mama salah? Dari tadi, setiap Mama lihat kamu sama Regita, rasanya ada bunga-bunga cinta di udara," godanya lagi, nadanya penuh canda.
walau bikin deg deg an 😂
cinta terlarang ituuu...masih 1 ibu loch 🙈
semoga endingnya happy ya Thor 😁