Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 32
Aku masih tertegun di jok belakang mobil pribadi yang biasa dikendarai oleh pak Syarif sedang aku hanya menumpang. Masih tidak habis pikir bahwa kehidupan Raisa serumit ini, aku kira dulu hidupku sudah sangat menyedihkan, kali ini justru lebih-lebih. Jam tangan silver di tangan kiriku menunjukkan pukul 07:30, kemacetan jalan juga masih terjadi. Tapi aku terlalu santai tanpa reaksi. Apa masih mencari cara bagaimana agar Dewa keluar dari persembunyian dan mengklarifikasi, kenapa ia menyembunyikan Raisa, ada masala apa dan tujuannya bagaimana.
Dling.
Suara ponsel berbunyi, aku buru-buru merengkuh hp dari dalam tas, khawatir ada yang penting. 'Tidak ada nomor' masuk ke dalam layar gawaiku.
"Masih jaman nomor pribadi kayak gini?" ujarku sendirian sambil memperhatikan.
[Hallo?]
[Tolong, selidiki terus keberadaan Dewa] suara pria berbisik mengagetkan, lamunanku bahkan hancur seketika saat mendengar perkataan tersebut.
[Ini siapa?] tanyaku penasaran, tapi telepon langsung dimatikan. Ini aneh, kenapa tiba-tiba penelpon membahas soal kehilangan Dewa, siapa dia.
Aku harus segera bertemu dengan Lia dan Denada untuk memberi tahukan kejadian ini, mungkin ini bisa menjadi poin penting untuk membantu memecahkan masalah kepergian Dewa.
"Aku juga bingung, tau-tau aja ada telepon masuk." jelasku usai menceritakan segalanya.
"Kita harus nanya ke temen di jurusannya sih. Barangkali ada yang tau tempat kesukaan atau tongkrongan Dewa itu di mana. Barangkali sesekali Dewa ada di sana." Denada berpendapat.
"Aku sih setuju," timpal Lia tegas. Kami akhirnya bergegas ke fakultas yang diambil Dewa guna mencari tahu lebih detail lagi tentang Dewa.
Dewa ternyata adalah anak yang jarang berdiskusi, ia tergolong mahasiswa yang semena-mena dan kurang asik di tongkrongan. Yang mau dekat dengan dirinya hanya orang-orang yang memanfaatkan.
"Dewa itu toxic, dia mungkin tidak punya teman yang tulus." Riko yang terlihat sering bersama Dewa memberi tahu, bahkan dirinya juga tidak tertarik kecuali pada traktiran Dewa.
"Tapi Dewa sering nongkrong di mana?" tanyaku menggambarkan harapan.
"Dia punya basecamp di dekat sini, tidak jauh dari perpustakaan nasional sana." Riko memberi arahan.
"Oh, sebelah mananya?" Lia masih menelaah karena tidak tahu persis jalanan di sekitar perpustakaan kota.
"Arah kiri, tidak jauh ada ruko yang rolling-nya dirumah jadi pintu geser."
"Cat biru muda?" aku memastikan, rasanya aku tidak asing dengan tempat itu karena sering dilewati.
"Tepat!"
Setelah mata kuliah, kami berniat mendatangi tempat tersebut untuk mengetahui apakah ada sesuatu di sana yang terjadi setelah Dewa dikabarkan tidak tinggal lagi di rumah.
Siang hari, tanpa basa basi lagi kami langsung gas ke tempat tersebut, aku meminta pak Syarif pulang duluan, kami menaiki kendaraan roda empat milik Lia. Kebetulan Denada pagi tadi menggunakan taksi online karena sudah merencanakan pencarian Dewa dan Lia membawa mobil, agar tidak ribet Denada memilih untuk mengalah dan tidak membawa mobilnya sendiri.
Setelah sampai di tempat, Lia parkir tepat di samping ruko yang masih kosong karena tidak dikontrak oleh siapa pun, rasanya tempat tersebut memang kurang strategis jika digunakan untuk berjualan, mengingat di minim penduduk, sebelum belokan menuju ruko memang jalan raya, tapi setelah sampai, tempat padat penduduk masih harus berjalan kaki beberapa meter sehingga orang berjualan di sini mungkin penghasilannya tidak akan maksimal.
Kami berjalan pelan pada ruko ketiga yang diberitahukan Riko tadi.
"Ini deh kayaknya." Lia meraba-raba dengan perasaannya.
"Iya bener. Itu pintu geser." Denada semakin mantap berjalan menuju ke depan ruko. Aku bersama mereka berusaha mendorong pintu yang agak berat karena pandangan yang kurang konsisten. Pintunya tidak dikunci, sesuai yang Riko katakan, tempat ini dibiarkan tidak terkunci agar siapa pun bisa keluar masuk. Toh, tidak ada barang berharga di dalamnya, hanya tempat berkumpul anak baru dewasa pada umumnya.
Bau asap rokok menyeruak, sampah berserakan. Ah, menyebalkan tempat macam apa ini, sangat menjijikkan. Di dalam ruko terdapat dua ruangan berbeda dan satu kamar mandi, aku dan kedua teman menyelidiki sampai ke ruang belakang, tidak ada yang mencurigakan hingga kami sadar ada puntung rokok yang masih berasap, artinya baru ada orang yang keluar dari sini. Lia yang awalnya menemukan langsung menunjuk pada pembuangan rokok di meja, membuat aku dan Denada langsung memiliki pemikiran yang sama.
"Aku yakin dia pasti Dewa. Karena tidak akan ada yang mau ke sini tanpa traktiran dan perintah darinya." aku mengatakan penuh keyakinan.
"Berarti dia masih di sekitar sini." kami segera keluar untuk mengejar apakah masih ada orang di sekitar ruko. Sayangnya seseorang telah pergi dengan motor Kawasaki ninja berwarna hitam dengan kecepatan tinggi. Dengan jaket berwarna senada dan helm menutupi wajah.
"Sialan." gerutu Denada kesal. Karena hari ini tidak ada hasil, kami berinisiatif menemui Tante Yanti untuk menanyakan apakah ia setuju jika aku memuat kabar di media tenteng kehilangan Raisa agar keluarga Dewa juga ikut andil dan mengusahakan kembalinya Dewa, aku yakin ketiadaan mereka pasti berkaitan.
Di mobil dengan kecepatan ringan, aku menelpon Tante Yanti untuk bertemu, ia pun setuju di tempat biasa karena tidak jauh dari kediamannya. Aku kembali ke diskusikan kejadian yang baru saja kami alami, seperti mimpi, ikan sudah di pengait yang siap ditarik, karena sedikit kesalahan teknis ia jatuh dan pergi begitu cepat. Obrolan kami ngalor ngidul membahas si kutu sialan seperti Dewa.
"Kalau ketemu, harusnya si brengksek itu tidak boleh diberi ampun!" Lia terdengar sangat dongkol.
"Kebiri!" sambung Denada tak kalah dongkol.
Sesampainya di tempat biasa yang dijanjikan Tante Yanti, aku menceritakan penggal demi penggal kejadian yang sudah dilewati beberapa hari ini dalam usaha pencarian Dewa, tapi hasilnya nihil yang pada akhirnya aku memiliki inisiatif untuk memasukkan berita kehilangan pada media. Tante Yanti berpikir sejenak hingga pasrah dan mengiyakan keinginanku.
"Tapi tidak perlu memberi tau bagaimana kondisi Raisa yang sebenarnya, ya." pinta Tante Yanti dengan seksama. Aku menyanggupi, ini bukan hanya demi nama baik atau reputasi keluarganya, tapi untuk masa depan Raisa sendiri. Sebelumnya kami akan kembali mengunjungi kediaman keluarga Dewa untuk memberi gertakan atas niat menyiarkan penculikan Raisa bahkan juga hubungan terakhir bersama Dewa, barangkali pihak Dewa mau bekerja sama untuk memberi tahu keadaan yang sesungguhnya bagaimana dan ke mana Dewa pergi, atau mereka akan tetap dengan pendirian menyembunyikan kuru sialan tanpa mau ikut andil dalam pertanggung jawaban yang semestinya diberikan Dewa sebagai manusia yang katanya dari keluarga baik-baik, meski faktanya itu hanya bualan bagi orang munafik!