Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 30
Kami punya rencana untuk datang ke rumah Sewa guna menanyakan ke mana Dewa jika ia benar-benar pergi dari rumah, dan usaha apa saja yang sudah dilakukan oleh keluarga untuk mencarinya.
POV : Keluarga Dewa.
Siang ini keluarga mereka masih mengerjakan keseharian seperti biasa, tidak ada tangisan atau bahkan kekhawatiran kecil. Tidak terlihat ada kepanikan karena kehilangan satu anggota keluarga. Sebetulnya mereka sedang berakting atau betulan Dewa kabur dari rumah? Tak lama suara telepon rumah berdering, seorang paruh baya namun berpakaian rapi ala suster datang untuk mengangkat.
[Hallo] tidak ada suara dari sana. Hanya sebingkai suara napas bergemuruh sengaja diperdengarkan.
"Siapa?" seseorang mendatangi karena melihat asisten rumah tangganya kebingungan.
"Tidak tau, nyonya. Tidak ada suara." sahutnya pada orang bertubuh tinggi dan berambut nyaris putih semua yang berada di hadapannya.
"Ngapain siang-siang begini. Orang gila!" ia kemudian merogoh telepon dari genggaman asistennya.
[Hallo]
[Aku tau Dewa tidak sedang kabur. Cepat atau lambat aku akan menyebar aib kalian. Dan boom, hancur! Ha ... ha ... ha ...] Perempuan yang dipanggil nyonya besar itu langsung menutup telepon dan wajahnya terlihat panik.
"Siapa dia?" bisiknya sendiri.
Ancaman itu mulai datang bertubi-tubi, pelan tapi terlalu sering. Dari telepon yang selalu berdering, bel pagar utama yang selalu menyala, jika dilihat dari cctv orang tersebut memakai sweater hitam dan menutup wajah dengan topeng, sering ada batu dilempar ke atap. Mereka hampir tidak tenang.
"Lapor polisi saja, dunia harus tau kebenaran kalian, kan?!" itu lah isi surat yang dilempar ke jendela dengan membaluti batu pada suatu ketika.
Semakin hari kehidupan keluarga Dewa semakin tidak tenang. Baru tiga hari peneroran terjadi mereka sudah ketar-ketir tidak karuan. Antara harus melapor atau menyerahkan Dewa.
Tiga gadis muda datang di hari ke empat. Mereka tak lain adalah Denada, Lia dan Devani.
"Siapa, ya?" tanya asisten rumah keluarga Dewa.
"Kami teman Dewa tapi beda fakultas Bu. Maaf, dewanya ada?" Lia mengakui identitasnya.
"Sebentar ya, saya tanya nyonya besar dulu." ia langsung berbalik dan menutup pintu membuat ketiga perempuan tersebut kesal. Hingga akhirnya pintu besar bercat putih kembali dibuka.
"Silahkan masuk." mereka saling tatap dan lanjut mengekori asisten.
Ditemani nyonya besar, Lia Denada dan Devani tidak lagi basa-basi, salah satu dari mereka sontak menanyakan keberadaan Dewa dan mengaku temannya. Sayangnya jawaban yang dibutuhkan mereka di luar ekspetasi.
"Dewa sudah hampir satu bulan ini tidak ada di rumah. Dia pergi dari rumah, entah ke mana." Dengan wajah pura-pura sedih ia memamerkan perasaan kehilangannya. Tapi tidak semudah itu, Denada mampu meraba kebohongan dari drama yang ia lihat. Ia tidak percaya dengan pernyataan perempuan tua di hadapannya.
"Tapi baru beberapa hari yang lalu Dewa menelpon Tante, sayangnya tidak ter-angkat. Ketika di telepon balik. Sudah tidak aktif lagi." Denada berbohong untuk memancing.
"Hah," nyonya besar terlihat bingung, jelas sekali terlihat seperti ada yang sedang disembunyikan. Devani masih diam menyimak. Ia setuju dengan pemikiran Denada bahwa orang yang sepertinya adalah nenek Dewa ini sedang berbohong.
"Tante tau, di kampus Dewa sudah membuat masalah?" Devani mulai ikut menyudutkan.
"Maksudnya, masalah apa?" nyonya besar terlihat semakin berbeda. Intonasinya tidak karuan, bahkan wajahnya sudah pucat pasih.
"Dewa menghamili perempuan dan nyaris di drop out dari kampus Tante." Lia mempertegas.
"Sok tau kalian, dengar dari mana? Kalian jangan fitnah begini. Bisa saya laporkan, loh." nyonya besar tiba-tiba saja bernada tegas.
"Justru karena itu Tante, kedatangan kami ke sini ingin membantu Dewa. Jika ini sungguhan fitnah, Dewa bisa klarifikasi. Bukannya malah kabur entah ke mana, kalau menghilang begini, apa kami tidak tambah curiga?" detail Devani meyakinkan membuat nyonya besar semakin gusar. Dia harus tahu bahwa ketiga perempuan di depannya sedang tidak bermain-main. Nyonya besar terlihat menarik napas panjang, tak lama memanggil asisten pribadi sekaligus rumah tangga, meminta bantuan untuk mengangkat tubuhnya menuju kamar. Kemudian asisten dengan halus mengusir ketiga gadis tadi dengan alasan nyonya tiba-tiba saja drop.
Malamnya teror kembali terjadi, orang tua Dewa sudah berkumpul karena jika siang hari mereka pergi bekerja di perusahaan yang sama namun beda cabang. Nyonya besar juga sudah menceritakan bahwa ia kedatangan teman Dewa tadi pagi, mengatakan bahwa di kampus soal dirinya menghamili anak orang sudah tersebar.
"Terus bagaimana pa?" ibu Maya mama Dewa kebingungan.
"Ah, memang sialan anak itu. Tidak tau diuntung, kalau saja ada di sini sudah kucekik sampai mati." gerutu pak Handoko suaminya.
Nyonya besar melirik, sedikit khawatir jika Dewa memang ditemukan, pasti sudah habis oleh papanya sendiri.
Mereka mulai digeluti ketakutan, jika di kampus sudah banyak tahu tentang Dewa, lantas apa apakah masih bisa disembunyikan berita yang sesungguhnya? Kejadian ini cukup membingungkan, padahal pihak Dewa dan Raisa sendiri sudah bersikeras menutupi keadaan yang sebenarnya, tapi kenapa tetap bocor ke permukaan? Ya, mereka tidak tahu bahwa Riski, sahabat baik Dewa adalah biang keladi, ia menyebarkan kebenarannya karena beralasan kasihan pada Raisa, yang menurutnya hanya gadis lugu dan polos yang dimanfaatkan oleh Dewa. Riski pemilik kucing kisah hidup mereka berdua.
Teror kembali terjadi, beberapa kali telepon rumah berbunyi, sat diangkat asisten, dia diam tidak mengeluarkan suara, sedangkan jika orang rumah yang menyapa, suara berbisik bernada ancaman itu membicarakan soal Dewa dan Raisa. Ia menuntut pertanggung jawaban Dewa bagaimana pun caranya.
[Siapa kamu sebenarnya, kamu tau, kan Dewa juga kabur dari rumah.] gertak pak Handoko kesal.
[Tidak, dia disembunyikan ibumu, bukankah Dewa kesayangan neneknya. Ha ... ha ... ha ...] Saluran telepon ditutup, mendengar perkataan tersebut, pak Handoko mulai goyah, benarkan ibu mertuanya sendiri yang sangat dah menyembunyikan Dewa sehingga anak itu dengan seenaknya pergi dari masalah besar yang ia buat sendiri. Pak Handoko mengepalkan tangan kanan, berharap bisa menemukan anak bungsu dari empat bersaudara, dan memukul sejadi-jadinya.
Ia kembali berkumpul pada keluarga, semua kakak Dewa berkumpul di depan televisi, juga istri dan ibu mertuanya. Pak Handoko sudah terlihat dongkol, kali ini bukan karena teror telepon, tapi pada nenek Dewa sendiri. Ia yakin karena tahu bahwa Dewa memang selalu mendapat pembelaan dari ibu mertuanya, itu lah yang membuat Dewa tidak tahu diri. Entah apa lagi yang harus dikatakan pak Handoko sekarang, ia tidak habis pikir jika hilangnya Dewa adalah atas bantuan atau bahkan rencana neneknya sendiri. Karena saat ini kesalahan Dewa sangat fatal, tidak pantas rasanya jika Dewa dibiarkan lepas tangan.