Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RANTAI GELAK DIBALIK SAYAP
Udara malam tetap menyelimuti mereka dengan dingin yang menusuk tulang, meski Buto Ijo telah musnah dari hadapan. Langkah kaki mereka lambat dan penuh kehati-hatian saat meninggalkan gua kecil itu. Tidak ada yang berani bicara, seolah-olah kata-kata akan memecahkan keheningan yang rapuh dan menimbulkan malapetaka baru. Desa itu, meski tampak tenang dari luar, masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap.
Nur, yang biasanya optimis, kali ini tampak sangat tegang. Matanya masih terfokus pada prasasti yang baru saja mereka baca. "Prasasti itu... itu bukan hanya mantra untuk menghancurkan Buto Ijo. Ada lebih dari itu," katanya akhirnya, menghentikan langkah mereka.
Ustad Eddy menatap Nur dengan ekspresi penasaran. "Apa maksudmu?"
"Di bagian akhir, ada teks yang samar. Sebagian hilang karena waktu, tetapi dari yang bisa kubaca, ada sebutan tentang 'rantai gelap' yang tidak hanya mengikat Buto Ijo, tapi juga entitas-entitas lain. Ini berarti ada lebih banyak makhluk, lebih banyak kejahatan yang tersembunyi di balik pesugihan ini."
Pujo mengangguk pelan, merenungkan kata-kata Nur. "Jadi kita belum selesai? Apa Buto Ijo hanya awal dari sesuatu yang lebih besar?"
Nur mengangguk, meski wajahnya menunjukkan kebimbangan. "Bisa jadi begitu. Dan jika kita tidak berhati-hati, rantai itu bisa merenggut kita juga."
***
Pagi mulai merayap di atas desa yang masih diselimuti kabut tipis, menciptakan ilusi bahwa waktu berhenti sejenak. Namun, bagi kelompok kecil mereka, hari baru membawa tantangan yang lebih besar. Setelah istirahat sejenak di rumah warga yang mereka kenal, Ustad Eddy memimpin diskusi.
“Kita butuh lebih banyak informasi tentang rantai gelap ini,” Ustad Eddy memulai dengan nada tegas. “Apakah ada kaitannya dengan kuntilanak merah? Atau ada makhluk lain yang menjadi bagian dari rantai ini?”
Tri, yang sejak awal selalu tenang, kali ini menunjukkan kegelisahan. "Aku pernah mendengar tentang ritual pesugihan dengan cara mengorbankan sesuatu yang berharga, tapi kalau ini adalah rantai antar entitas, itu berarti pesugihan ini melibatkan lebih dari sekedar Buto Ijo dan kuntilanak merah. Mungkin melibatkan makhluk lain yang lebih kuat, lebih tua."
Pujo menambahkan, "Setan-setan yang lebih tua dari Buto Ijo... mungkin pocong, genderuwo, atau bahkan leak. Mereka semua punya kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh."
Diskusi berlanjut, semakin dalam mereka menggali, semakin suram kesimpulan yang mereka dapatkan. Desa ini mungkin bukan satu-satunya tempat yang terhubung dengan rantai gelap tersebut. Jika mereka gagal memutusnya di sini, kekuatan yang bersembunyi di baliknya bisa menyebar ke tempat-tempat lain.
***
Saat siang menjelang, mereka memutuskan untuk kembali ke pusat desa. Kali ini, mereka tidak hanya mencari jawaban tetapi juga berusaha menemukan titik di mana mereka bisa memutus rantai kegelapan ini.
Matahari yang mulai menyengat tampak tidak mengurangi kegelapan yang mereka rasakan di dalam hati. Seolah-olah sinar matahari hanya menambah ketegangan yang menggantung di udara.
Mereka berjalan melewati rumah-rumah tua dengan pintu-pintu tertutup rapat. Orang-orang desa tampak enggan untuk keluar rumah. Sejak kejadian kuntilanak merah dan serangan Buto Ijo, suasana desa menjadi semakin suram, dan mereka tahu bahwa para penduduk merasakan hal yang sama. Ketakutan yang mengendap-endap di bawah permukaan.
“Sepertinya ada yang tidak beres,” kata Tri sambil melirik ke sekeliling. “Terasa seperti kita sedang diawasi.”
Pujo mengangguk. "Kegelapan ini masih belum hilang. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."
Nur berhenti di depan rumah tua yang terabaikan, dengan dinding yang penuh retakan dan jendela yang tertutup papan kayu. “Kalian merasakannya, kan? Di dalam rumah ini… ada sesuatu.”
Tanpa pikir panjang, mereka membuka pintu yang lapuk dan melangkah masuk. Bau lembap langsung menyergap hidung mereka. Di dalam, mereka menemukan ruangan besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol aneh yang tergurat di dinding. Di tengah ruangan, ada meja kayu dengan lilin-lilin yang sudah meleleh, di sekitar sebuah patung kecil berwujud menyeramkan.
“Ini adalah pusat dari ritual pesugihan,” ujar Ustad Eddy sambil memeriksa patung itu. “Ritual ini tidak hanya untuk kekayaan. Mereka memuja kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang melibatkan entitas-entitas lain.”
Tri mendekati dinding yang dipenuhi dengan coretan-coretan aneh. "Ini tulisan kuno, bahasa Jawa Kuno. Mereka mencoba memanggil makhluk-makhluk gaib melalui ritual ini."
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari sudut ruangan. Suara napas berat, disertai oleh langkah kaki yang menyeret. Semua mata mereka tertuju ke arah suara tersebut. Dari balik bayangan, muncul seorang lelaki tua dengan wajah tirus dan mata yang dalam, penuh dengan kesedihan.
“Kalian... seharusnya tidak ada di sini,” bisiknya dengan suara serak. “Kalian akan membangkitkan dia... yang lebih besar.”
Nur melangkah maju, mencoba bicara dengan tenang. "Siapa yang kau maksud?"
Lelaki tua itu menggigil, matanya liar memandang ke segala arah, seolah-olah takut pada sesuatu yang tidak terlihat. “Buto Ijo dan kuntilanak merah hanyalah penjaga... Penjaga dari sesuatu yang lebih tua, lebih jahat. Kalian tidak bisa memutus rantai itu... kecuali dengan pengorbanan.”
Kata-katanya membuat udara di sekitar mereka semakin tegang. Mereka tahu, apapun yang lelaki tua ini katakan, itu bukanlah ancaman kosong. Sesuatu sedang mengintai mereka dari balik bayangan.
“Kalian harus pergi... sebelum dia datang,” lelaki tua itu memperingatkan mereka lagi, suaranya semakin tergesa-gesa. “Kalau tidak, kalian semua akan terjebak dalam siklus yang tak berujung.”
Ustad Eddy mendekat, mencoba menenangkan lelaki itu. "Siapa yang kau maksud dengan 'dia'? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Namun sebelum lelaki tua itu bisa menjawab, tubuhnya tiba-tiba kaku. Matanya membelalak lebar, dan dia mulai kejang-kejang, mulutnya mengeluarkan suara-suara tak wajar. Tangan-tangannya meraih lehernya sendiri, seolah-olah ada sesuatu yang mencekiknya dari dalam.
“Dia sudah di sini!” teriak lelaki itu dengan napas terputus-putus, sebelum akhirnya tubuhnya terkulai ke tanah, tak bergerak lagi.
Ketegangan di ruangan itu semakin memuncak. Pujo segera memeriksa tubuh lelaki tua itu, namun sudah tidak ada yang bisa dilakukan. “Dia sudah mati,” gumam Pujo, nada suaranya berat.
Tiba-tiba, dari sudut lain ruangan, sebuah suara rendah dan mengerikan terdengar. Suara tawa melengking, namun tidak ada sosok yang terlihat.
“Aku sudah lama menunggumu,” suara itu berbicara, penuh dengan ancaman yang halus namun tajam.
Semua mata beralih ke arah suara tersebut, namun hanya ada kegelapan. Nur mencengkeram senjata spiritualnya lebih erat, sementara Ustad Eddy mulai membaca doa-doa perlindungan.
Tawa itu semakin keras, seolah datang dari segala arah. "Kalian pikir bisa memutus rantai ini? Rantai yang sudah mengikat ribuan tahun lamanya?"
Kegelapan di ruangan itu semakin tebal, dan sosok bayangan mulai terbentuk di depan mereka. Wujudnya besar, lebih besar dari Buto Ijo, dan wajahnya dipenuhi oleh luka-luka menganga yang mengeluarkan darah hitam. Mata merahnya menatap mereka dengan kebencian yang mendalam.
“Aku adalah yang tertua di antara mereka,” makhluk itu berbicara dengan suara yang dalam dan bergema. “Kalian tidak akan pernah bisa menghancurkan apa yang telah dibangun selama ribuan tahun.”
Pertempuran batin pun dimulai. Mereka tahu bahwa melawan makhluk ini tidak akan mudah, dan tanpa persiapan yang matang, mereka mungkin tidak akan selamat dari malam ini.
"Ini bukan sekedar soal kekuatan fisik," bisik Tri, tangannya merapat pada jimat di dadanya. "Kita harus menghancurkan sumbernya."
Pujo mengangguk, matanya tajam menatap makhluk besar itu. "Kita harus menemukan titik kelemahannya, sebelum dia menghancurkan kita."
Mereka semua tahu, malam ini akan menjadi pertarungan paling sengit yang pernah mereka hadapi—dan mungkin, yang terakhir.