Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Baru
Babak baru dalam hidup Lusi mulai digelar, dia yang semula seperti gelandangan yang terlunta-lunta, kini punya tempat untuk singgah. Tidak perlu mewah, asal tidak kehujanan kalau malam dan tak kepanasan kalau siang. Lusi tidak muluk-muluk dalam hidupnya, hanya ingin hidup damai dan tenang.
Kini, sebuah keluarga kecil mau menampung, menolong Lusi dengan tangan terbuka. Lusi sekarang ditampung oleh keluarga pak Hadi, mungkin pasangan suami istri itu merasa iba dan kasihan melihat Lusi yang terlunta-lunta. Jika anak mereka masih hidup, mungkin akan seusia Lusi. Mereka berdua tak membayangkan bagaimana jika itu menimpa anak mereka? Sebagai manusia, hati nurani mereka berdua pun terusik untuk menolong sesama.
"Bagaimana? Kerasan kan di rumah Ibu?" tanya Bu Hadi dengan lembut. Bayi Lusi juga sepertinya nyaman kalau digendong beliau. Mungkin karena orangnya tulus, bayi kecil pun ikut merasa nyaman.
"Terima kasih banyak, Bu. Lusi gak bisa balas kebaikan kalian."
"Udah, anggap saja keluarga sendiri." Bu Hadi tersenyum ramah.
Kehangatan keluarga seperti inilah yang sebenarnya Lusi harapkan. Bukan keluar toxic, keluarga ibu tirinya. Padahal, dulu semasa ayahnya masih ada. Ibunya sangat baik. Bahkan jika kakak tirinya usil, ia yang selalu dibela.
Namun, semuanya tinggal cerita. Waktu telah mengubah segalanya. Orang yang dulu baik, tiba-tiba menjadi jahat dan tega. Semuanya benar-benar berubah sepeninggalan sang ayah.
Lusi menghela napas dalam-dalam, tidak mau larut dalam kesedihannya. Sekarang dia sudah jadi ibu, di usianya yang lumayan masih muda. Lusi akan membuka lembaran baru. Memulai hidup lagi dengan bayi kecilnya.
Apalagi pak Hadi beserta istri, mereka tidak mengulik banyak informasi tentangnya. Tidak kepo dan tidak penasaran ke mana ayah dari anak Lusi tersebut. Mereka tulus membantu menampung Lusi di rumah mereka, tanpa harus mencari tahu latar belakang Lusi dan masa lalunya. Jika Lusi berkenan, mungkin dia akan bercerita sendiri.
Lusi dan bayinya mendapatkan tempat layak, tempat tinggal yang aman dan nyaman. Makanan yang cukup, karena pak Hadi seorang pekerja keras. Namun, baru beberapa minggu di sana, Lusi mulai tak enak hati.
Sampai akhirnya, dia ingin mengurangi beban pak Hadi. Ingin bekerja, karena tidak mau menjadi beban keluarga pak Hadi.
"Bu ... Pak ... saya mau cari kerja," ucap Lusi tiba-tiba ketika mereka sedang makan malam di ruang tamu dengan menggelar tikar.
"Kerja? Anakmu bagaimana?" balas pak Hadi.
"Benar, kasian anak mu. Kalau kamu mau kerja, menunggu minimal dia bisa jalan," saran Bu Hadi. Tirta, anak Lusi masih kecil. Kasian kalau ditinggal bekerja. Bukannya apa-apa, memang karena bayi Luis sangat kecil.
"Saya malu, karena jadi beban keluarga kalian." Sementara itu, Lusi tetap memaksakan diri. Karena tidak mau jadi beban. Apalagi kebutuhan bayi itu tak sedikit. Ada popok, sufor, minyak, bedak dan peralatan bayi lainnya. Rasanya itu bukan tanggung jawab pak Hadi beserta istri, itu tanggung jawab Lusi sepenuhnya.
Mendengar kemauan Lusi, pak Hadi cuma tersenyum, kemudian makan lalapan daun kemangi serta daun kubis. Dia memutuskan sambil makan, sembari mendengarkan unek-unek Lusi yang kepengen kerja.
"Sudah, fokus sama anakmu saja," ucap Pak Hadi setelah minum segelas teh hangat.
"Tapi, Pak," sela Lusi. Ia merasa tak enak, karena membuat repot keluarga itu. Meskipun Bu Hadi dan suami senang ada Lusi di rumah mereka. Rumah yang sepi, sekarang seperti hidup. Sudah dianggap anak sendiri, karena Lusi juga bilang anak yatim-piatu. Kebetulan keluarga mereka tak punya anak, setelah anaknya meninggal waktu kecil.
"Lebih baik makan, sudah ... Jangan ngomong masalah pekerjaan. Anak kamu masih butuh kamu. Meskipun nanti ibu bisa urus," kata Bu Hadi.
"Kemarin saya tanya-tanya tetangga, ada penitipan bayi kok, Bu." Lusi masih ngeyel. Ini karena rasanya tak enak sekali menjadi beban keluarga. Lusi masih muda, dia masih bisa berkarya di luar sana.
"Aduh, kenapa di penitipan. Ibu bisa jaga. Ibu larang karena kasian kamu. Badan sekecil ini ... Kamu mau kerja apa?"
Lusi menundukkan kepalanya, ya memang. Badan Lusi sekarang tidak terawat. Kurus kering karena selama hamil sampai melahirkan tidak ada yang peduli. Sakit dia rawat sendiri, luka pun dia sembuhkan sendiri.
"Lusi merasa tidak enak," gumam Lusi. Sebenarnya juga terharu, kok masih ada orang baik padanya.
"Kamu jangan mikir macam-macam. Nanti, kalau anak kamu sudah besar sedikit, tidak apa-apa," kata Bu Hadi kemudian.
***
Tanpa sepengatahuan Bu Hadi, dengan hp jadul, yang dibeli di konter dengan harga 200 ribu, layar retak dan batre agak lowbat, Lusi mencari lowongan pekerjaan. Tangannya gatal kalau tak melakukan apapun, dia memang pekerjaan keras, ulet dan rajin. Tiap hari saja membantu Bu Hadi membersihkan rumah sambil gendong bayi. Sebisa mungkin Lusi ingin hidupnya bisa bermanfaat, bukan hanya menyusahkan orang.
Sampai suatu hari, Lusi menemukan lowongan yang pas. Dia juga ijin pada Bu Hadi, mau wawancara kerja. Pertama dilarang, tapi karena Lusi memaksa, sebab ingin menabung juga demi buah hatinya itu, akhirnya dia pun diperbolehkan.
Kebetulan pak Hadi shift malam, sehingga pagi itu beliau mengantar Lusi naik motor ke sebuah gedung.
"Kamu gak salah mau melamar kerja di sini?" pak Hadi tidak percaya Lusi berani melamar kerja di tempat yang bagus tersebut.
"Lusi baca di internet, di sini memang lagi cari karyawan, Pak." Lusi menatap gedung tinggi itu sekali lagi. Memang besar, dan sepertinya hanya orang-orang pandai yang bekerja di sana.
"Tapi yang kerja di sini pasti orang hebat, Lusi. Maaf, bukannya Bapak merendahkan kamu ... Tapi." Pak Hadi jadi ragu.
"Bapak jangan khawatir, Lusi gak ngelamar jadi pegawai kantoran, Pak. Lusi gak bakal lolos. Lusi cuma ngelamar jadi cleaning service dan terimakasih sudah diantar. Lusi masuk ke dalam ya, Pak."
Pak Hadi mengangguk, sementara Lusi langsung masuk. Karena jam wawancara juga sudah mepet. Lusi lari-lari kecil menuju arah lift. Beberapa orang sudah berdiri menunggu lift terbuka. Tak lama berselang, lift terbuka tapi tak ada yang berani masuk. Lusi yang berdiri paling belakang, dia sering memiringkan kepalanya, ingin mengintip siapa yang ada di dalam lift. Begitu kepalanya miring, Lusi langsung menunduk cepat dan bersambung.
terimakasih juga kak sept 😇