Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
"Apa kau.. maksudnya apa kalian membunuh orang - orang?."
"Aku memang sering terlibat dalam pertikaian. Tapi aku tak pernah membunuh. Aku hanya membuat mereka terluka cukup parah hingga tak bisa menyerang balik. Itu saja. Sungguh"
Ricardo melanjutkan, suaranya sedikit gemetar, seolah ada kenangan yang selalu menghantuinya.
"Aku, besar di Hunts Point. Sejak kecil aku sudah sering melihat mayat. Orang - orang disana banyak yang mati. Entah karena kelaparan, penyakit, overdosis atau pun tertembak di jalanan."
Ricardo menatap jauh, kembali ke ingatan-ingatan itu. Ia Diam sejenak, lalu melanjutkan kisah nya.
"Aku menyaksikan keluarga mereka. Wajah -wajah yang ditinggalkan...Hancur. Tak tahu harus bagaimana melanjutkan hidup setelah kehilangan orang yang mereka cintai."
"Mereka terlihat begitu sedih dan rapuh. Itu alasan kenapa aku tak berani membunuh. Aku tak bisa membayangkan meninggalkan seseorang dengan perasaan seperti itu. Membuat mereka kehilangan dan merasakan kekosongan yang tak terisi lagi."
Adira diam, memahami kedalaman perasaan Ricardo yang tersembunyi di balik sosoknya yang kuat dan dingin. Ada kemanusiaan yang begitu besar dalam dirinya, meski sering kali disembunyikan oleh masa lalunya yang kelam.
Ia bisa merasakan ketakutan Ricardo yang mendalam akan membuat orang lain menderita seperti yang pernah ia saksikan.
Adira tahu, di balik semua itu, Ricardo adalah seseorang yang berjuang keras untuk tetap memegang prinsipnya di dunia yang penuh kekerasan.
Tanpa berkata apa-apa, Adira merasakan simpati yang mendalam, mencoba merasakan beban yang selama ini dipikul oleh Ricardo. Adira mengelus punggung Ricardo dengan lembut.
"Kamu sebaik ini, kenapa kamu nggak keluar aja dari dunia mafia ini?." tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian.
Ricardo menundukkan kepala, wajahnya bingung.
"Aku sedang mencoba Adira... Aku selalu mencoba..."
Ia terdiam sejenak, seolah kata-katanya terjebak di tenggorokannya.
"Aku terus mencoba untuk keluar dari sini..."
Adira melihat betapa sulitnya Ricardo untuk melanjutkan. Tanpa ragu, Adira memeluk tangan Ricardo, membiarkan kehangatan tubuhnya memberikan sedikit kenyamanan. Ia menyenderkan kepalanya di pundak Ricardo, menciptakan momen tenang di antara mereka.
Keduanya kini menatap jendela, menyaksikan dunia di luar yang seolah terpisah dari kenyataan mereka. Dalam keheningan itu, mereka saling memahami betapa sesaknya terkurung di ruangan ini, di dunia yang penuh dengan pilihan sulit dan ketakutan.
Ricardo merasakan kehangatan dari Adira yang bersandar di bahunya, dan ia merasa nyaman. Dengan suara lembut, ia bertanya,
"Apa kau percaya Adira, kalau aku bilang aku tak pernah mengumpulkan kekayaan dari uang yang kudapat dari sini?."
Adira yang masih bersandar mengernyitkan dahi, sedikit bingung, "Masa sih?"
Ricardo tersenyum kecil mendengar reaksinya, lalu ia menyenderkan kepalanya di atas kepala Adira dan melanjutkan ceritanya,
"Sejak dulu aku membenci hidupku dan aku selalu melampiaskan semuanya pada alkohol. Saat itu aku benar-benar pecandu alkohol. Aku membeli alkohol dengan semua uang yang kumiliki. Dari yang murah hingga yang paling mahal sudah kucicipi."
"Namun semakin hari aku minum, semakin aku haus. Aku tak pernah tenang."
Ricardo terdiam sejenak, sebelum melanjutkan, "Sampai suatu hari, ada pertikaian antar organisasi mafia di Shadow Lounge, New York. Saat itu, aku berumur 27 tahun. Aku hampir mati karena terluka. Tapi, ada seseorang yang menyelamatkanku. Dan sejak itu, aku bertekad untuk hidup."
Adira mengangkat kepalanya, matanya penuh perhatian dan empati.
"Oh ya? Syukurlah... Kau memang orang baik, Ricardo. Kau pantas ditolong," katanya dengan senyum lembut merekah di wajahnya, memperlihatkan betapa ia tulus dalam ucapannya.
Ricardo tersentuh oleh kata-kata Adira, merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada seseorang yang benar-benar melihat dan mengerti dirinya di luar dunia gelap yang ia jalani. Dalam sekejap, keheningan di antara mereka bukanlah kebisuan yang canggung, melainkan rasa saling memahami yang hangat dan mendalam.
Ricardo terus memandangi wajah Adira, terlihat jelas bahwa dia sangat menikmati setiap detil ekspresi wajah Adira.
"Apa kau pernah ke New York, Adira?" tanya nya tiba-tiba, memecah suasana.
Adira mengerutkan dahi, bingung mengapa topik pembicaraan tiba-tiba beralih padanya.
"Kenapa tiba-tiba tentang aku? Lanjut dong ceritanya tentang penyelamatmu," desaknya dengan sedikit rasa penasaran.
Namun, Ricardo tampak tak peduli dengan desakan itu, dan kembali bertanya, "Apa kau memang hobi jalan-jalan sendirian? Sudah pernah ke New York sebelumnya?."
Adira mulai sedikit kesal karena Ricardo belum melanjutkan kisahnya, tapi akhirnya menyerah pada rasa penasaran Ricardo.
Dia mengangguk, "Iya, aku memang suka jalan - jalan sendirian. Aku menikmati nya."
Adira berhenti sejenak, mengingat kembali,
"New York ya...Aku pernah ke sana, tapi itu sudah lima tahun yang lalu."
Ricardo tetap diam, menunggu Adira melanjutkan ceritanya. Dengan suara lebih tenang, Adira mulai bercerita, "Waktu itu aku menginap di hotel Best Western Stadium Inn, di dekat stadion Yankee. Aku ingat pertama kali aku jalan-jalan ke Bronx Museum of the Arts, menikmati seni kontemporer dari seniman lokal. Aku juga mengunjungi Yankee Stadium, meski aku bukan penggemar berat bisbol, suasananya menyenangkan."
Ricardo tetap memperhatikan, seakan mendengar setiap kata dengan seksama. Adira melanjutkan, "Aku juga pernah ke Roberto Clemente State Park, tempat yang indah di pinggir Sungai Harlem. Aku suka berjalan-jalan di sana, melihat pemandangan air dan orang-orang yang berkumpul bersama keluarganya. Lalu aku sempat pergi ke Little Italy, mencoba makanan otentik di salah satu restoran kecil di sana. Aku ingat rasanya sangat autentik dan lezat."
Adira tertawa kecil, "Ya, aku benar-benar menikmati setiap momen di New York. Tapi waktu itu, aku memang lebih banyak menghabiskan waktu sendirian sih, berkeliling kota tanpa rencana yang jelas."
Ricardo tersenyum tipis. Ia ingin menggali lebih dalam tentang pengalaman Adira yang mungkin akan mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka.
"Jadi, jalan-jalan sendirian begitu, apa kamu tidak pernah dalam bahaya? Kamu pernah tersesat ?" tanya Ricardo dengan nada bercanda.
Adira, yang mengingat pengalamannya, menjawab dengan sedikit menyinggung.
"Syukurnya sih, di New York yang kota nya kelihatan lebih kejam tidak pernah membuatku ada dalam bahaya. Justru, di Tijuana ini yang kota nya terlihat damai, aku malah terjebak dalam bahaya."
Ricardo terdiam sejenak, matanya menatap serius ke arah Adira.
"Ya, benar!" ucap Ricardo pelan namun tegas.
"Adira...Kalau kamu akhirnya bisa keluar dari sini, berjanjilah padaku Adira. Kamu tak akan pernah pergi liburan sendirian lagi, ke kota mana pun itu."
Tatapan Ricardo kali ini begitu tajam, membuat Adira merasa tersudut dan menghela napas sebelum menjawab,
"Oke..oke.. Paham.. Aku kapok kok. Aku janji tak akan pernah jalan - jalan sendirian lagi."
"Ke kota manapun itu?." desak Ricardo
"Iya...Ke kota manapun..." jawab Adira walau sedikit terpaksa.
Sejenak mereka terdiam, sebelum Adira tiba-tiba teringat sesuatu dan melanjutkan, "Oh! Kalau soal tersesat nih, dulu itu waktu di New York aku pernah kesasar deh..."
"Hmmmmmm... "
.
.
.
Bersambung...
Tinggalin jejak nya ya guys!
Dengan Like, Komen dan Gift!
Terimakasih💙
setelah tanda baca ? atau ! teteh gak perlu tambah , (koma) lagi ya.
🥰🥰🥰🥰🥰