Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Adnan terbahak dengan keras, sambil mengusap air matanya yang keluar akibat tawa. Rania hanya bisa berdiri mematung, tak mengerti apa yang membuatnya menjadi bahan tertawaan.
Dengan nada tinggi dan ketus, ia membalas, "Maaf, aku gak ada waktu untuk ini," lalu berusaha melangkah pergi.
Namun, sebelum Rania sempat melangkah jauh, Adnan menarik tangannya dengan cepat. Napas hangatnya terasa di telinga Rania saat ia berbisik, "Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Rania."
Aku merasa jengah dengan perlakuan Adnan, "Dan itu hanya mimpi kamu saja, Adnan!" sahutku dengan nada tinggi. "Lepaskan tanganku atau aku teriak!" ancamku, matahari memantulkan kilau tajam dari mataku yang berbinar kekesalan.
Adnan, dengan tatapan tajam dan penuh kekesalan, membalas tatapan Rania. "Perempuan gatal!" ucapnya dengan nada sinis, menambah ketegangan di udara yang sudah memanas.
Aku menatap balik Adnan dengan api yang berkobar di matanya, siap untuk mempertahankan diri dari setiap kata atau tindakan lebih lanjut dari Adnan.
"Adnan, apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku? Mengapa kamu menghina aku seenaknya? Apakah kamu tidak sadar bahwa perlakuanmu sangat menyakitkan hatiku?" Aku merasa frustasi dan tidak tahan lagi.
"Sudahlah, lepaskan aku! Bukankah kamu yang memilih jalan ini, berselingkuh di belakangku? Aku ingin kita berpisah!" seruku kesal.
"Kau pikir kau lebih baik, Rania? Kamu juga berselingkuh di belakangku dengan pria itu yang jelek rupa! Jadi, jangan menyalahkan aku sendirian!" Adnan berteriak balik padaku.
"Kamu ini benar-benar gila, Adnan!" Aku terkekeh sejenak sambil menggelengkan kepala.
Sulit bagiku untuk memahami mengapa Adnan tidak pernah mengakui kesalahannya sendiri. Aku memutuskan untuk segera masuk ke butik dan melupakan percakapan sia-sia dengan Adnan yang tidak berguna itu.
Aku masuk ke ruanganku dan berusaha menenangkan pikiranku. "Apa yang sebenarnya diinginkan Adnan?" batin ku. "Bukankah cukup banyak luka yang dia berikan padaku? Lalu, kenapa sekarang dia tidak mau melepaskan aku?" Adnan, kau benar-benar sangat menyebalkan!
Aku merasa pusing dengan pekerjaan dan masalah pribadiku, sehingga aku memijat keningku berkali-kali. Tiba-tiba, Sumi masuk ke ruanganku dan menatapku dengan heran, melihat wajahku yang penuh kekesalan.
"Kamu kenapa, Ran?" tanya Sumi.
"Gak apa-apa, Sum, aku cuma pengin ke mall saja," jawabku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Sumi terus membahas, "Yaudah, ke mall aja, kali. Oh iya, Ran, rumah kamu sudah siap dihuni."
Aku mengernyitkan dahi dan bertanya, "Memangnya barang-barangnya sudah ready semuanya?"
Sumi menjelaskan, "Sudah dong, kan kata kamu mau beli rumah berserta isinya, jadi ya sudah lengkap. Tapi uangnya juga lebih dari harga pertama aku memberi tahu kamu itu.
Aku menghela napas dan menjawab, "It's okay, nggak masalah, Sum. Ini kartuku, kamu urus semuanya ya. Aku mau balik dulu." Aku merasa sudah tak ada semangat untuk bekerja.
Beruntung aku adalah bos di tempat ini; kalau bukan, aku harus tetap bekerja meski hatiku sedang gundah dan kacau seperti ini. Tapi pertanyaannya, apakah melarikan diri ke mall dapat mengobati rasa pusing ini? Adakah solusi lain yang lebih baik?
Sumi meninggalkan ruanganku, dan tanpa berpikir panjang, aku segera mengambil tas dan beranjak keluar. Aku mencoba menghubungi Sonya untuk menemani perjalananku, tetapi sayangnya dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Mungkin ini saat yang tepat untuk menikmati waktu sendiri," pikirku. Naura juga tidak aku jemput karena dia sudah dijemput oleh Tyas.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku mengambil posisi di balik kemudi mobilku. Aku mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan ibu kota yang ramai.
Sambil fokus menyetir Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan menelfon Tyas, memberitahukan padanya agar ibu dan dirinya untuk segera membereskan segala sesuatunya dan bersiap untuk pindah ke rumah baru.
Di ujung sana, Tyas terdengar sangat terkejut namun juga bahagia. Dia memberikan selamat dan dukungan untuk keputusan ini. Aku tersenyum tipis dan menutup sambungan telepon, kembali fokus menyetir.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang, akhirnya aku berhasil tiba di mall. Dengan segera, aku membuka pintu mobil dan bergegas memasuki area mall tersebut.
Aku berniat untuk membeli berbagai macam barang yang tak sempat aku bawa saat meninggalkan rumah Adnan. Aku mencari-cari pakaian, tas, sepatu, dan perhiasan – dengan harapan dapat melupakan sejenak masalah yang sedang menimpa.
Setelah merasa cukup puas, aku duduk sejenak di kursi yang telah disediakan oleh pihak mall untuk para pengunjung beristirahat. Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ada seorang pria yang tidak kukenal mendekat dan duduk di sebelahku.
"Sayang, aku mencari kamu loh," ujarnya dengan antusias. Aku melirik ke kanan dan ke kiri, hanya ada aku dan pria asing ini.
"Apa 'sayang' itu diperuntukkan untukku?" batin aku dengan kebingungan.
Tak mengerti dengan situasi yang ada, pria itu kembali tersenyum padaku. Hati ini menjadi berdebar kencang dan kaget, belum pernah sebelumnya aku mengalami kejadian aneh seperti ini.
"Ayo sayang, pulang," seru pria itu sambil mengedipkan matanya padaku.
Aku terbengong, bingung dengan apa yang terjadi. "Kenan!" seru seorang perempuan sambil berjalan mendekat ke arah kami dan pria aneh yang disebut Kenan itu.
Perempuan itu menatapku tajam, mengukur aku dari ujung kaki hingga kepala, kemudian menyeret Kenan dengan paksa.
"Kenan! Apa-apaan sih, panggil dia dengan sebutan sayang?" tegas perempuan itu.
Aku merasa seperti terjebak dalam situasi yang aneh dan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Rasa takut dan kebingungan bergelayutan di benakku.
"Sudah aku bilang tadi, Jes, aku sudah punya kekasih. Nah, ini pacar baruku," sahut Kenan sambil menunjuk ke arahku.
"Hah??" kagetku tak percaya.
Aku mencoba mencerna informasi yang baru saja diterima. Kenapa tiba-tiba pria asing ini mengaku sudah menjalin hubungan denganku? Semakin kubayangkan, semakin membingungkan.
"Aku tak peduli, Ken, aku akan tetap bersamamu apapun yang terjadi! Bahkan jika kamu sudah punya pasangan sekalipun!" tegaskan perempuan itu dengan kekehnya.
"Jessica, kamu itu perempuan, seharusnya punya harga diri," protes pria itu dengan nada khawatir.
"Harga diri? Aku rasa itu hilang sejak aku melihat wajahmu yang tampan, sulit untuk dilepaskan, Ken," jawabnya sambil duduk di samping pria yang tampak bingung itu.
Di balik tatapanku yang datar, aku merasa tak bisa menahan tawa mendengar percakapan mereka. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani mengungkapkan perasaannya, meski harus menelan kekalahan demi cinta? Aku merenung sejenak, mencoba memahami perasaan Jessica.
Mungkin itulah cinta sejati, rela mengorbankan harga diri demi seseorang yang dicintai. Namun, apakah aku mampu melakukan hal yang sama? Ah, entahlah, cinta memang menghadirkan tanya yang tak terjawab.
**