Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sahabat Dekat
Sinar terik matahari siang membungkus Jakarta dengan hawa panas menyengat. Sebuah mobil sport mewah melaju di atas aspal yang memanas, melintasi kawasan T.B. Simatupang.
Di dalam mobil, Farhan dengan tenang mengendalikan kemudi, sementara Karin duduk di sampingnya, wajahnya menunjukkan ketegangan yang sulit disembunyikan. Kemacetan mulai terasa setelah mereka melewati jembatan Ciliwung.
Meski laju kendaraan tidak sepenuhnya terhenti, tetap saja cukup membuat Karin resah. Matanya terus terpaku pada jalan di depannya, seolah berharap kendaraan-kendaraan yang merayap seperti siput itu bisa lenyap seketika.
“Ini bisa membuat aku gila, Farhan. Kenapa bisa macet seperti ini? Kalau gini, meskipun aku berhasil melacak Adi, aku nggak tahu, apakah dia masih di TMII, atau entah sudah pergi kemana lagi,” keluh Karin sambil menggigit bibir bawahnya.
Rasa tertekan dan curiga bercampur aduk di dalam dirinya. Karin menatap tajam ke arah kemacetan di depannya yang merayap lambat.
Farhan menoleh sekilas, mencoba meredakan emosi Karin dengan senyuman tipis. “Sabar, Kar. Kita akan sampai di sana. Mungkin dia masih di TMII. Lagipula, mungkin Adi memang lagi sibuk dengan urusan lain,” ujarnya dengan nada lembut, berusaha memberikan ketenangan tanpa memihak.
Karin mendengus, matanya tetap menatap lurus ke depan. “Urusan lain? Kamu serius, Han? Aku malah yakin kalau ada sesuatu yang nggak beres.” Tangan Karin mencengkeram tas kecil di pangkuannya, seolah menyalurkan kegelisahannya ke benda mati itu.
Farhan terdiam sejenak, berusaha memikirkan kata-kata yang tepat. “Aku ngerti kamu khawatir, Kar. Tapi, mungkin kamu juga perlu kasih sedikit ruang buat Adi, buat diri kamu sendiri juga,” katanya dengan hati-hati, berharap kalimat itu bisa memberi Karin jalan untuk berpikir lebih tenang.
Karin memutar matanya, tidak tertarik dengan pembelaan Farhan terhadap Adi. “Ruang? Kamu tahu, Farhan, aku bukannya nggak kasih ruang. Tapi kalau dia mulai sembunyi-sembunyi, itu beda cerita.”
Farhan menghela napas pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Dalam dirinya, ada perasaan yang mulai mengemuka, sebuah kehangatan yang selalu ada saat dia bersama Karin. Namun, dia sendiri masih ragu, bingung apakah perasaan itu hanya sekadar kepedulian seorang sahabat atau sesuatu yang lebih.
Setelah hampir satu jam di jalan, mereka akhirnya tiba di TMII sekitar pukul tiga sore. Farhan memarkir mobil sportnya di area parkir khusus wisatawan, lalu menoleh ke arah Karin yang sudah tak sabar untuk turun.
“Kita mulai dari mana, Kar?” tanya Farhan sambil membuka pintu mobil, matanya penuh perhatian terhadap keadaan Karin.
Karin menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. “Aku nggak peduli dari mana. Aku mau keliling seluruh TMII kalau perlu, sampai aku temukan Adi,” jawabnya dengan tegas, matanya menyiratkan tekad yang tak bisa digoyahkan.
Mereka menyewa sebuah mobil golf listrik untuk berkeliling TMII. Hanya mereka berdua di dalam kendaraan kecil itu, suasana yang seharusnya menyenangkan jika tidak dihiasi dengan kemarahan Karin yang kian membesar.
Mereka melewati berbagai objek wisata, namun tak ada tanda-tanda kehadiran Adi di mana pun.
Karin berulang kali mencoba menghubungi nomor milik perempuan yang bersama Adi, tetapi setiap kali dia mencoba, panggilan itu selalu gagal tersambung, dan setiap kali usahanya gagal, rasa frustrasi Karin semakin membesar.
“Kenapa nggak bisa dihubungi terus? Perempuan itu pasti sengaja menutup nomor ini supaya aku nggak bisa tahu mereka ada di mana!” teriak Karin kesal, menekan ponselnya dengan kasar.
Farhan hanya bisa menatap Karin dengan prihatin. Dia tahu betapa kuatnya perasaan Karin terhadap Adi. Farhan ingin mengatakan sesuatu tentang kebahagiaan Karin, mungkin dengan menyarankan bahwa sebaiknya Karin tidak terlalu terfokus pada Adi. Tapi Farhan tidak yakin. Akhirnya dia memilih untuk tidak mengatakannya.
“Kamu kelihatan capek, Kar. Gimana kalau kita berhenti sebentar, ambil nafas?” Farhan mencoba menawarkan solusi lain, berharap bisa meredakan sedikit ketegangan yang melingkupi Karin.
Karin menatap Farhan sejenak, menyadari perhatian temannya itu. “Makasih, Han. Kamu… ngerti apa yang aku rasakan. Tapi aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku nggak bisa tenang sebelum aku dapat jawabannya,” ucap Karin akhirnya, suaranya sedikit melembut, meski matanya masih menyiratkan kemarahan yang belum pudar.
Farhan menatap Karin dengan penuh empati, menekan perasaannya sendiri yang mulai terbangun. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, tetapi saat ini yang paling penting adalah berada di sisi Karin.
“Aku akan selalu ada buat kamu, Kar,” katanya dengan lembut.
Karin mengangguk pelan, menyadari betapa berartinya kehadiran Farhan di sisinya saat ini. Mereka melanjutkan pencarian mereka di TMII dengan Karin yang terus mencoba menghubungi nomor si perempuan yang mungkin masih bersama Adi.
Nomor si perempuan itu tetap tak aktif. Ia mencoba menghubungi lagi dan lagi, dengan menunda beberapa menit, berharap segera diaktifkan. Namun ketika dicoba lagi, hasilnya sama saja. Sementara nomor Adi sendiri, tersambung namun tak pernah diangkat.
Sambil terus mencoba menghubungi nomor-nomor yang mungkin bisa menyambungkan obrolannya dengan Adi, mereka terus berkeliling TMII. Beralih dari satu lokasi ke lokasi lain.
Meski hasilnya nihil, Karin tampak tak mau menyerah. Ia terus memindai area dan memastikan hampir setiap wajah pengunjung yang ada di TMII. Sementara Farhan tetap menemaninya.
Di tengah pencarian, pikiran Farhan melayang sejenak pada kenangan-kenangan masa lalu. Dia teringat saat-saat Ia dan Karin masih kuliah, ketika Karin menangis di perpustakaan karena kegagalan ujian yang hampir membuatnya putus asa.
Farhan ada di sana, duduk tak jauh membantu Karin mengulang pelajaran hingga dia merasa lebih baik.
Begitu juga ketika ayah Karin jatuh sakit, Farhan yang pertama kali datang ke rumah sakit, menemani Karin di bangsal sepi hingga pagi. Ia selalu ada, tanpa diminta, tanpa banyak bicara, cukup menjadi sandaran yang diam-diam dibutuhkan Karin.
Karin mungkin tidak menyadari sepenuhnya, tetapi bagi Farhan, setiap momen itu meninggalkan jejak mendalam di hatinya. Di setiap senyuman dan tangisan Karin, ada bagian dari dirinya yang ikut merasakan, ikut bergetar.
Namun, sebagai sahabat, Farhan selalu menjaga jarak, memastikan Karin mendapatkan kebahagiaan yang pantas, meski kadang harus menahan diri untuk tidak membiarkan perasaan lain tumbuh.
Waktu terus berjalan, dan matahari semakin condong ke barat. Meski sudah mengelilingi sebagian besar area TMII, mereka tak juga menemukan jejak Adi. Karin semakin tertekan, dan Farhan semakin merasakan beratnya situasi ini.
Namun, dia tahu bahwa saat ini, yang paling penting adalah tetap berada di samping Karin, memberikan dukungan yang dibutuhkan, meski ia sendiri belum sepenuhnya mengerti apa yang ia sendiri rasakannya.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.