“Kuberi kau dua ratus juta satu bulan sekali, asal kau mau menjadi istri kontrakku!” tiba-tiba saja Alvin mengatakan hal yang tidak masuk akal.
“Ha? A-apa? Apa maksudmu!” Tiara benar-benar syok mendengar ucapan CEO aneh ini.
“Bukankah kau mencari pekerjaan? Aku sedang membutuhkan seorang wanita, bukankah aku ini sangat baik hati padamu? Kau adalah wanita yang sangat beruntung! Bagaimana tidak? Ini adalah penawaran yang spesial, bukan? Kau akan menjadi istri seorang CEO!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irna Mahda Rianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Hatinya Mati
Hardy Satria, CEO dari Gelora Utama, yang pernah menjadi rekan bisnis Alvin Antariksa Grup, beberapa waktu lalu. Semua orang bersenang-senang, namun entah kenapa, ia malah merasa sakit dengan kehadirannya ke pesta pernikahan ini.
“Sayang, apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat pucat? Kau sakit? Ayo, kita beri selamat pada Alvin Antariksa!”
“Aku merasa tak enak badan, kurasa kita tak perlu ke sana, toh kita sudah mengisi daftar tamu. Dia pun pasti melihat, jika kita hadir di pernikahannya.”
“Ah, iya. Baiklah, kita makan saja bagaimana?” Sisil, istri Hardy terus mencoba merayu suaminya.
“Ayo, kuantar kau mengambil beberapa makanan.”
Sisil menggandeng Hardy, menuju tempat jamuan makanan di pernikahan ini. Saat ini, hati dan perasaan Hardy sangat berkecamuk penuh rasa gundah. Tak pernah ia duga, hal pahit ini harus ia alami.
Wanitaku … maafkan aku. Maafkan aku yang sangat bodoh.
Sungguh, aku tak pernah menyangka, jika kini kau berdiri di atas sana, tersenyum penuh kebahagiaan, dengan pria yang lebih segalanya dariku.
Kau telah menemukan kebahagiaanmu, kau beruntung, kau memang pantas mendapatnya. Tapi, aku sangat tak rela melihatnya.
Aku sangat terluka melihat kau bahagia di sana. Harusnya kita melanjutkan semuanya, dan bahagia bersama.
Wanitaku, bagaimana jika kau tahu aku ada di sini? Aku tak ingin merusak harimu, tapi aku ingin kau tahu, bahwa aku, masih sangat mengharapkanmu, untuk bisa kembali padaku ….
.
Beberapa jam setelah pernikahan …,
Alvin dan Tiara sudah berada di sebuah hotel bintang lima, yang dipesan khusus oleh keluarga besarnya untuk mereka berdua. Hal ini membuat Tiara semakin canggung. Mengingat, mereka akan berada hanya berdua saja di dalam kamar hotel mewah ini.
“Bed-nya hanya satu, kau tidur di sofa saja!”
“Baik, aku memang berniat akan tidur di sofa,” jawab Tiara.
“Bukankah kau berharap tidur satu ranjang denganku?”
“Eh, siapa bilang? Aku tak pernah sedikitpun berfikir seperti itu!”
“Munafik! Sudah, sudah, aku lelah. Aku ingin beristirahat!” Alvin langsung bersiap untuk istirahat.
“Baik, Tuan.”
Alih-Alih akan beristirahat, ternyata mereka berdua sama-sama kesulitan untuk terlelap. Sungguh hal yang tak mengenakan, berada satu ruangan dengan orang yang bahkan bisa dibilang tak saling mengenal.
“Kau sudah tidur?” tanya Alvin tiba-tiba.
Tiara menoleh, “belum, ada apa Tuan?”
“Aku lapar, jadi tak bisa tidur. Ambilkan beberapa dessert di kulkas! Dan simpan di meja makan!”
“Baik, Tuan.”
Tiara beranjak dari sofanya, ia menyiapkan apa yang diperintahkan Alvin malam ini. Jika melihat jam, ini sudah pukul sepuluh malam. Waktu yang seharusnya mereka habiskan karena telah menjadi sepasang suami istri.
Alvin duduk di meja makan, dan Tiara berjalan kembali ke sofanya. Alvin menatap Tiara dengan tajam, seolah tak suka dengan apa yang Tiara lakukan.
“Kau mau ke mana?” Alvin memicingkan mata.
“Aku mau ke sofa lagi, Tuan.”
“Duduk di sini! Temani aku makan! Aku tak bisa makan sendiri.”
“Mmh, baiklah,” mau tak mau Tiara duduk dihadapan Alvin.
“Makanlah jika kau mau!”
“Aku tidak makan manis jika sudah lewat jam sepuluh malam, Tuan.”
“Gayamu sok sekali!” Alvin meledek Tiara.
Lagi-lagi rasa canggung dan tak nyaman menghampiri Tiara. Hidupnya sudah seperti mimpi saja. Bagaimana tidak? Menikah dengan seorang CEO? Dan berada di dalam kamar hotel berdua dengannya. Haruskah Tiara menganggap jika semua ini adalah mimpi?
“Kenapa diam?”
“Lalu aku harus apa?” Tiara bingung.
“Jadi, orang tuamu sudah meninggal?” Alvin membuka pembicaraan, agar keadaan tak terlalu canggung.
“Iya, mereka meninggal beberapa bulan yang lalu, karena kecelakaan hebat yang menimpa orang tua dan adikku,”
“Kau punya adik?”
“Aku mempunyai adik, yang sedang sakit parah akibat insiden kecelakaan itu,”
“Oh, adikmu pun. Bagaimana keadaannya?”
“Dia mengalami pendarahan otak, pembuluh darahnya pecah akibat kecelakaan itu. Untungnya dia masih bisa diselamatkan, jika tidak, aku sudah tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,”
“Tapi sekarang dia bagaimana?”
“Dia hanya terbaring, dan duduk di kursi roda. Jika penyakitnya kambuh, aku selalu menangis tak kuasa melihatnya.”
“Apa yang harus dilakukan agar ia bisa sembuh? Operasi?”
“Ya, harus tindakan operasi pendarahan otak Tuan.” jelas Tiara.
“Kenapa tidak segera kau operasi adikmu itu?”
“Uangku belum cukup, biaya operasinya sangat mahal.”
“Sudah tau biaya operasi mahal, kenapa kau tak menerima tawaranku saat di kantor kala itu?” Alvin menjebak Tiara.
“Aku kaget, aku merasa direndahkan. Tapi ternyata, akhirnya aku tetap harus menerima tawaran itu, karena aku jadi berhutang budi padamu,”
“Kau urus jadwal operasi adikmu, minta tolong pada Doni, sekretarisku. Semua akan kutanggung biayanya.”
“Tuan, kau sungguh?” Tiara berkaca-kaca.
“Kapan aku pernah membuat lelucon? Ini sebagai rasa terima kasihku padamu, karena kau juga membantuku.”
“Aku? Membantumu?”
“Pernikahan ini. Terima kasih telah membantuku meyakinkan keluarga besarku. Perusahaanku hampir saja diambil alih oleh anak pamanku, karena aku belum juga menikah. Kakekku itu sangat keras, dia ingin pemimpin perusahaan itu sudah memiliki pasangan, dan buah hati,”
Tiara terdiam, ingin sekali ia bertanya pada Alvin, namun Tiara masih segan untuk bertanya ke ranah pribadinya.
“Tak usah canggung, katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan padaku,” seolah Alvin sudah tau, apa isi hati Tiara.
“Kenapa kau membuang waktu untuk hal seperti ini? Kenapa tidak mewujudkannya dengan wanita yang kau cintai? Maaf, jika kau tak berkenan, tak usah menjawabnya. Aku hanya penasaran saja,” Tiara sedikit menunduk.
“Aku tak bisa jatuh cinta, cintaku sudah mati.”
“Ah, iya. Maafkan aku, Tuan.” Tiara merasa tak enak.
“Aku pernah memiliki seorang wanita, dia sangat cantik dan anggun. Dia adalah teman masa kecilku. Sejak kecil, aku selalu bersamanya, karena kedua orang tua kami, telah berencana menjodohkan kami. Tapi ternyata, dia mempunyai penyakit mematikan, yang selalu disembunyikan dariku. Sudah tujuh belas tahun ia menyembunyikan sakitnya. Hingga akhirnya, aku baru tahu, jika dia mengidap penyakit Alzheimer, dan …, kini dia sudah tak mengenaliku lagi. Dia sangat membenciku, dan tak ingin melihat wajahku lagi. Karena baginya, aku ini penjahat. Memori indah nya sudah terhapus, dan dalam benaknya saat ini, aku adalah pria yang sangat kejam …, ” Alvin menghela napas panjangnya, berat sekali baginya untuk menceritakan kisah kelam itu.
“Kenapa kau tak berusaha?”
“Tak ada lagi cara, dia pun sudah berada di luar negeri, sudah sepuluh tahun aku merelakannya. Ah sudah, kenapa aku jadi melow seperti ini! Kau malah memancingku!”
“Kau yang mengizinkan aku bertanya,”
“Jangan membantah! Di sini kau harus selalu salah!”
“Baiklah, Tuan.” Tiara pun pasrah.
“Mulai saat ini, kau sudah jadi istriku, dan beberapa minggu ke depan, jadwalmu pasti padat! Akan banyak sekali pertemuan-pertemuan dengan petinggi perusahaan. Kau harus belajar menjadi istri konglomerat. Kau harus berkelas! Buang semua barang-barang jelekmu! Ganti semua dengan yang baru dan branded! Aku tak mau kau tetap menjadi Tiara si miskin! Kau harus ubah semuanya! Mengerti?” perintah Alvin.
“Mengerti, Tuan. Aku akan tanyakan semua pada sekretaris Doni.”
“Oh iya, untuk bulan madu, keluargaku pasti mendesak agar kita berbulan madu. Kau pulang saja ke rumahmu, dan jangan pernah menampakkan hidungmu di luar rumah. Aku akan ke luar negeri untuk lima hari. Mereka pasti menganggap kita pergi bersama. Kau iyakan saja, mengerti?”
“Iya, aku memahaminya, Tuan. Kapan kau akan berangkat?”
“Besok, jadwal bulan madu kita ya besok.”
“Apakah kau akan menemui dia, Tuan?” tanya Tiara pelan-pelan.
Alvin menoleh Tiara, seolah Tiara sudah bisa menebak isi hatinya. “Tak usah ikut campur, itu bukan urusanmu!”
Ternyata hatimu sudah mati, Tuan keras kepala. Lantas, bagaimana kau akan melanjutkan hidup? Sementara hatimu dibawa jauh oleh wanitamu.