Kisah Manis Seorang Penulis

Mama Diana yang sejak tadi berada di parkiran supermarket segera melajukan mobilnya keluar dari parkiran dan menemui Mama Kayra dan Paul yang masih berdiri di pinggir jalan menunggu jemputan.

"Jeng Kayra, bagaimana tadi?" tanya Mama Diana antusias.

"Berhasil Jeng, mereka tadi pulang bersama." ucap Mama Kayra tak kalah antusias.

"Akhirnya..." Mama Diana begitu gembira mendengar Rahm dan Sefty pulang bersama. "Oh iya, kalian mau pulang 'kan? Ayo, biar sekalian aku antar."

"Tidak perlu, Jeng. Nah, itu mobil jemputan kami sudah datang." tunjuk Mama Kayra pada mobil keluarganya yang sudah terlihat mendekat.

Mama Kayra dan Paul naik ke mobil dan melambaikan tangan pada Mama Diana. Setelah mobil yang membawa Mama Kayra dan Paul pergi, Mama Diana juga ikut masuk ke mobilnya dan pergi. Sepanjang jalan, Mama Diana tak henti-hentinya tersenyum. Ia benar-benar bahagia karena putri bungsunya yang jarang keluar rumah itu akhirnya akan segera memiliki pasangan. Ahhh, rasanya Mama Diana sudah tidak sabar mendampingi putri bungsunya itu duduk di pelaminan. Pasalnya, putra dan putri sulungnya sudah ia temani di pelaminan, dan ia berharap di masa tuanya ini, ia bisa mendamping putri bungsunya juga.

*

"Bagaimana, kau sudah menemukan solusinya?" tanya Sefty.

"Belum. Lagipula, memang otakmu itu tidak ada rencana atau usulan lain. Katanya penulis imajinasinya luas, tapi rencana seperti ini saja tidak bisa kau pikirkan." ejek Rahm.

"Kau juga, kau seorang CEO perusahan Leonardo. Masa tidak bisa mendapatkan solusi untuk hal sepele ini." balas Sefty telak.

Rahm mendengus mendengar jawaban Sefty. Selalu saja, wanita di sampingnya ini menjawab ucapannya dengan telak hingga ia tidak mampu menjawab lagi. Ya, saat ini sudah menjelang sore, tapi Rahm masih belum mengantarkan Sefty pulang. Justru, keduanya tengah duduk diam di dalam mobil di tepi jalan yang cukup sepi untuk memikirkan cara agar hubungan bohong kedunya bisa terputus.

"Hais! Kebanyakan berpikir aku jadi lapar," keluh Sefty.

Sefty melirik ke sisi kiri dan kanan jalan untuk melihat sesuatu yang mungkin bisa ia beli untuk mengganjal perutnya, dan akhirnya ia melihat gerobak martabak di seberang jalan. Sefty lekas melepas sabuk pengamannya dan turun dari mobil.

"Hei, mau ke mana?"

"Membeli makan," Tanpa banyak kata, Sefty langsung menyebrang jalan dan membeli martabak. Setelah mendapatkan pesanannya, ia kembali masuk ke mobil. "Nah, makan dulu supaya otakmu bisa diajak berpikir," ucap Sefty.

Tanpa penolakan, Rahm mengambil satu potong martabak dan memakannya. Meski makan, dua orang itu terlihat tidak hentinya berpikir untuk mendapatkan solusi agar hubungan mereka bisa diputus tanpa memojokkan siapapun. Hingga tanpa terasa, martabak yang Sefty beli 'pun hampir habis dan hanya menyisakan satu potongan lagi. Seakan tanpa sadar, baik Rahm maupun Sefty mengulurkan tangan hendak mengambil martabak tersebut, hingga tangan keduanya saling bersentuhan. Sejenak, tatapan keduanya bertemu, hingga menimbulkan debaran lain di hati keduanya. Namun, sesaat kemudian keduanya langsung tersadar dan menarik tangan secara bersamaan.

"Jangan sering menatapku seperti itu, nanti kau jatuh cinta padaku." ucap Rahm sombong.

"Hah? Jatuh cinta padamu? Mimpi!"

"Tidak mengaku."

Sefty sangat kesal melihat wajah Rahm yang baginya sangat menjengkelkan saat sedang sombong seperti itu. Ingin rasanya sefty mencakar wajah Rahm sekali saja untuk meredakan kekesalannya. Namun, jika hal itu ia lakukan, bukan tak mungkin ia akan berakhir di penjara setelahnya.

Satu potong martabak masih menganggur di dalam wadahnya, segera Rahm mengambilnya dan kembali memakannya. "Tapi ya kalau dipikir-pikir, hubungan kita ini bisa kita manfaatkan." ucap Rahm.

"Manfaatkan maksudmu?"

"Ya, aku sering sekali mendapat undangan dari rekan bisnisku untuk menghadiri acara pernikahan mereka atau sekedar dinner bersama mereka, dan terkadang mereka memintaku untuk membawa pasangan, tapi aku tidak memiliki pasangan, jadi aku selalu membawa Dave pergi ke perjamuan." Rahm mengelap tangan dan mulutnya dengan tissue, lalu kembali menatap Sefty. "Menurutku, kita bisa saling memanfatkan dalam hubungan ini. Aku bisa membawamu setiap ada perjamuan dengan rekan bisnisku, dan kau juga bisa mengajakku kalau kau ada undangan dari teman atau rekan kerjanmu. Adil bukan?"

"Tuan, dengar! Sebuah hubungan itu tidak sesimpel itu," ucap Sefty.

"Benar, hubungan yang sebenarnya memang tidak sesimpel itu. Tapi 'kan, setidaknya kita bisa saling menguntungkan. Bagaimana, kau setuju?" Rahm mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Sefty menatap wajah Rahm dan tangan Rahm bergantian. Jujur, ia tidak suka sebuah hal yang hanya bertujuan untuk saling menguntungkan, tapi ia juga butuh pasangan untuk kondangan atau setiap ada acara keluarga di keluarga besarnya. Setidaknya, jika ia membawa pasangan saat ada acara keluarga, maka pertanyaan tentang pacar mungkin akan sedikit berkurang.

Melihat Sefty yang masih diam, Rahm akhirnya meraih tangan Sefty dan bersalaman dengannya dengan sedikit memaksa. "Bagaimana Nona, deal?" tanya Rahm.

"Ini hanya hubungan saling menguntungkan 'kan?" tanya Sefty memastikan.

"Hm, tentu."

"Ya sudah, deal kalau begitu."

"Good girl. Oh iya, mulai sekarang panggil aku Rahm atau sayang juga boleh. Intinya, anggap saja kita ini teman atau apalah itu. Yang terpenting, jangan canggung saat bersamaku agar akting kita meyakinkan. Paham?"

"Hm, kau juga bisa panggil namaku saja tanpa embel-embel Nona." ucap Sefty tanpa mempedulikan ucapan gila Rahm yang memintanya memanggil sayang.

"Baiklah. Selamat bekerja sama, calon tunanganku."