Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Setelah kejadian nasi goreng itu, aku mulai benar-benar melihat Dion dengan cara yang berbeda. Bukan sekadar rasa kecewa, tapi ada perasaan asing yang menyelinap. Aku mulai berpikir, mengapa harus repot-repot berusaha menyenangkan seseorang yang bahkan tidak peduli dengan kebutuhanku sendiri? Jika dia hanya akan memprioritaskan keluarganya dan mengabaikanku, mengapa aku harus terus memperjuangkan pernikahan ini sendirian?
Hari demi hari, hubungan kami semakin jauh. Dion semakin tenggelam dalam pekerjaannya dan aku semakin larut dalam pikiranku sendiri. Namun, di tengah kekacauan perasaan itu, aku menemukan titik terang kecil yang perlahan berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar.
Suatu hari, tanpa rencana yang jelas, aku memutuskan untuk kembali mengecek akun TikTok-ku. Awalnya, akun itu hanya untuk iseng saja, tetapi seiring waktu aku mulai lebih serius mempelajari dunia konten kreator. Aku melihat peluang yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Di sini, aku bisa merekomendasikan produk kepada audiens dan mendapatkan komisi dari setiap penjualan yang dilakukan melalui tautan yang kuberikan.
Di sinilah segalanya mulai berubah. Aku mulai belajar tentang dunia kreator digital—tentang algoritma, tren, dan bagaimana membuat konten yang menarik. Dari tutorial gratis di YouTube hingga webinar singkat yang menawarkan panduan, aku menyerap semuanya dengan tekun. Setiap kali Dion pulang kerja, aku sudah terlibat dalam rutinitasku sendiri, duduk di depan laptop atau ponselku, sibuk membuat konsep konten atau merekam video singkat.
“Lagi sibuk apa?” tanya Dion suatu malam, saat aku sedang asyik mengedit video.
“TikTok,” jawabku tanpa menoleh.
“TikTok lagi? Bukannya itu cuma buat hiburan?” Dia tertawa kecil, menyepelekan.
Aku menahan napas, mencoba menahan rasa kesal. Tapi kali ini aku tidak peduli dengan apa yang dia pikirkan. “Ini bukan cuma hiburan. Aku mulai menghasilkan uang dari sini.”
Dion berhenti tertawa. “Menghasilkan uang? Dari TikTok?”
“Ya,” jawabku datar. “Aku sedang mempromosikan beberapa produk. Setiap kali ada yang membeli dari tautanku, aku dapat komisi. Ini seperti bisnis kecil-kecilan.”
Dion menghela napas panjang, lalu menggeleng. “Kamu seharusnya fokus sama rumah. Kamu kan tahu tugasmu.”
Tugas? Kata itu membuatku merasa muak. Apakah hanya itu yang dia lihat dariku—seorang istri yang hanya punya tugas untuk mengurus rumah? Tapi aku menelan semua itu. Tidak ada gunanya lagi berdebat dengan Dion. Dia tidak akan pernah mengerti.
Dion semakin jarang di rumah, dan ketika dia ada di rumah, kami hampir tidak bicara. Aku mulai terbiasa dengan kesepian, tapi anehnya, aku tidak lagi merasa peduli. Aku punya dunianya sendiri, dan aku mulai menikmati kebebasan baru yang kutemukan di sana. Setiap hari, aku menghabiskan berjam-jam belajar membuat konten yang lebih baik, menjelajahi tren terbaru, dan berinteraksi dengan para follower yang mulai bertambah. Aku tidak peduli Dion pulang terlambat, aku tidak peduli jika dia mengeluh soal makan malam yang terlambat. Semua itu tidak lagi penting.
Sebulan kemudian, aku menerima kabar baik pertama—komisi dari produk-produk yang kupromosikan mulai masuk. Jumlahnya memang belum besar, tapi cukup untuk membuatku merasa bahwa usaha ini bukan sia-sia. Ada secercah harapan, dan itu sudah lebih dari cukup untuk membakar semangatku.
Malam itu, saat Dion pulang, aku sedang sibuk dengan ponsel di tangan, mencoba menyelesaikan editing video promosi.
“Kirana, aku lapar. Mana makan malam?” tanyanya.
Aku mengangkat kepala sebentar, lalu kembali fokus pada layar. “Aku belum masak. Masak saja sendiri, atau pesan makanan.”
Dion menatapku dengan heran. “Kamu serius?”
“Serius,” jawabku tanpa berpaling.
“Apa yang kamu kerjakan ini?” Dia menghampiri dan menatap layar ponselku. “TikTok lagi? Astaga, Kirana. Kamu tahu ini nggak akan bertahan lama, kan? Kamu terlalu banyak buang waktu untuk hal nggak penting.”
Aku mendongak dan menatapnya dengan tenang. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Ini penting buatku.”
“Penting?” Dion menggeleng, terlihat tidak percaya. “Kamu jadi egois. Kamu tidak peduli lagi sama rumah ini. Apa kamu cuma mau sibuk dengan hal-hal yang nggak ada gunanya?”
“Aku peduli, Dion. Tapi aku juga berhak untuk mengurus diriku sendiri. Aku berhak untuk mencari kebahagiaanku sendiri.”
“Kebahagiaan? Kamu nggak butuh itu. Kamu punya aku, kamu punya rumah ini. Itu sudah cukup,” jawabnya enteng.
Aku terdiam sejenak, menyerap kata-katanya yang dingin. “Sudah cukup buat siapa, Dion? Buat kamu atau buat aku? Karena aku tidak merasa cukup. Aku merasa terjebak.”
Dion mendengus, lalu berbalik pergi. “Terserah kamu, Kirana. Kalau kamu mau main-main dengan TikTok itu, silakan. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti semuanya berantakan.”
Aku tidak menjawab. Bukan karena aku tidak punya kata-kata, tapi karena aku sudah berhenti berharap Dion akan mengerti. Yang terpenting sekarang adalah aku. Aku harus fokus pada hidupku sendiri, pada karir baruku, dan pada masa depanku.
Waktu berlalu, dan aku semakin tenggelam dalam pekerjaanku sebagai konten kreator. Tidak hanya sekadar iseng, kini aku menjalankannya dengan serius. Setiap video yang kuunggah mendapat lebih banyak views, followers bertambah, dan komisi dari produk affiliate semakin besar. Aku mulai melihat peluang yang lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
Dion semakin jarang berada di rumah, dan aku semakin tidak peduli. Hubungan kami terasa seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Sementara dia sibuk dengan hidupnya sendiri, aku juga sibuk membangun masa depan yang baru—masa depan yang tidak lagi tergantung pada orang lain.
Suatu hari, ketika aku sedang duduk di depan laptop, menyelesaikan editing video, Dion datang dan menatapku lama.
“Kamu benar-benar serius dengan semua ini, ya?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Aku menoleh dan menatapnya sebentar. “Ya, Dion. Aku serius.”
Dia terdiam, lalu menghela napas. “Kirana, aku cuma nggak mau kamu membuang-buang waktumu untuk sesuatu yang nggak pasti.”
Aku tersenyum tipis. “Aku sudah cukup lama membuang-buang waktu untuk hal-hal yang nggak membawa kebahagiaan. Sekarang aku hanya mau melakukan sesuatu untuk diriku sendiri.”
Dion tidak membalas. Dia tahu bahwa apapun yang dia katakan, aku tidak akan berubah pikiran. Dan untuk pertama kalinya, aku merasakan kekuatan di dalam diriku. Aku bukan lagi istri yang selalu mengalah, selalu berusaha memenuhi harapan orang lain. Aku sekarang adalah diriku sendiri—seorang perempuan yang punya tujuan, dan tidak akan mundur meski harus berjalan sendirian.
Aku tidak peduli lagi apa yang Dion pikirkan. Bagiku, selama aku bisa menemukan kebahagiaan dalam karir baruku, itu sudah cukup.