Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
Kami sampai di bandara pukul satu dini hari. Adikku sudah menunggu untuk menjemput kami. Sesampainya di rumahku, orangtuaku sudah istirahat dan kami pun istirahat di kamar masing-masing. Reyvan tidur di kamar tamu.
Hari mulai siang ketika aku terbangun. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Di jam seperti ini papa dan mama biasanya sudah sibuk masing-masing. Tetapi ini hari Sabtu. Hari Sabtu bagi mereka adalah waktu buat berbincang sembari menikmati sarapan, lalu makan siang di luar dan berkencan hingga sore. Biasanya Sabtu malam baru mereka kembali ke rumah dan langsung beristirahat di kamar. Papa dan mamaku memang seromantis itu Sesibuk apapun mereka pasti menyediakan waktu untuk berkencan berdua meski sudah punya cucu.
Selesai mandi dan berdandan seadanya, aku keluar kamar dan terkejut. Ternyata Reyvan sudah duduk bersama orangtuaku dengan cangkir kopi dan ubi rebus dihadapan mereka. Aku tidak sampai hati melihat Reyvan yang orang Medan disuguhi sarapan berupa ubi. Reyvan harus makan nasi atau lontong atau mie sebagai menu sarapan paginya.
Aku duduk di samping Reyvan dan berhadapan dengan mamaku. Kulihat Reyvan menautkan jemarinya dibawah meja dan kelihatan sangat gugup.
"Selamat pagi, Pa, Ma,"ucapku.
"Kamu sudah sarapan, Rey?" tanyaku.
Reyvan hanya mengangguk.
"Bi, tolong buatin indomie goreng dong, dua porsi ya" pintaku pada Bi Tiwi, pembantu mamaku sejak dua puluh lima tahun yang lalu.
"Baik, Non" sahut Bi Tiwi.
Reyvan masih terdiam dan meremas tangannya. Aku tidak tahu sudah sejauh mana pembicaraan mereka. Kutuang teh panas dari teko ke cangkir kosong di depanku. Kutatap papa mamaku yang juga sedang menatapku dengan wajah mengeras.
"Kamu ini memang bertindak semaunya, Janetta. Bertahun-tahun tidak mau pulang ke Manado. Tiba-tiba saja datang membawa laki-laki ini yang katanya ingin meminta ijin untuk menikah denganmu. Dan yang paling mengejutkan, dia berbeda agama dengan kita. Berbeda pula adat istiadatnya,"
Kutundukkan tatapanku tanpa menjawabnya, aku dengan senang hati menunggu penolakan orang tuaku.
"Sekarang Papa tanya kamu, kamu benar-benar ingin menikah dengan nak Reyvan?"tanya papaku.
"Hanya kalau Papa dan Mama mengijinkan,"ucapku santai seolah tidak punya niat serius.
Sementara bulir keringat kulihat mengalir di pelipis Reyvan. Wajar Reyvan merasa terintimidasi. Papaku adalah pensiunan tentara, wajahnya sangar meski sudah ada uban disana sini, dan Reyvan hanya sendirian menghadapi orangtuaku.
"Nak Reyvan, kamu katakan tadi kalau kamu sungguh menyayangi Janetta, tetapi mengapa kamu harus menikahi Janetta dalam agamamu? Mengapa kamu tidak berpindah agama demi cintamu pada Janetta?"tanya papa dengan nada ketus.
"Begini, Oom.."
"Pa, mama Reyvan sedang dalam kondisi tidak stabil. Kalau sampai Reyvan pindah agama untuk menikah denganku, bukan kesembuhan yang didapat. Bisa-bisa malah lebih hawat kondisinya,"jawabku memotong Reyvan.
"Lantas kamu tidak memikirkan orangtuamu ini, Janetta?" suara papa meninggi dan matanya penuh tatapan marah.
"Dari dulu kamu selalu lebih mendahulukan orang lain daripada orangtuamu sendiri," bentak papa dengan suara keras.
Aku menghela nafas untuk menahan emosiku agar tidak terpancing. Justru penolakanmu yang kuinginkan, Pa. Ucapku di dalam hati.
Reyvan semakin kelihatan cemas dan aku merasa tidak perlu menunjukkan caraku bertengkar dengan papaku.
"Tidak perlu marah-marah seperti itu, Pa. Kami hanya meminta ijin menikah, jika tidak diijinkan, maka kami tidak menikah. Sesimpel itu. Kita tidak perlu bertengkar dan menunjukkan kepada Reyvan keluarga seperti apa kita ini,"jawabku.
"Janetta, jaga omonganmu. Kamu tidak pantas bicara seperti itu pada papamu." Sekarang mama mulai ikut nimbrung.
"Lalu yang pantas seperti apa, Ma? Yang kukatakan itu semua benar dan apa adanya. Jika memang aku tidak boleh menikah dengan Reyvan, ya sudah katakan saja kalian tidak setuju dan sore ini kami bisa kembali ke Medan,"
"Reyvan juga tidak bisa berlama-lama disini, dia harus mengurus ibunya. Dan jika kalian memang tidak setuju, Reyvan bisa menghapus perasaannya padaku. Dan dia bisa memilih perempuan lain untuk menjadi istrinya. Seperti yang dulu-dulu. Aku nggak masalah, ini sudah biasa bagiku,"ucapku mulai tersulut emosi sampai membawa kisahku dengan Antonio.
Papa dan mama terdiam. Wajah mereka menjadi merona dan melunak seolah merasa bersalah karena punya andil membuat anak gadisnya tidak menikah juga sampai umur empat tahun.
Lama kami berempat sama-sama larut dalam diam. Reyvan semakin gelisah. Mie goreng buatan Bi Tiwi sudah mulai kelihatan dingin.
"Sebaiknya kalian makan dulu. Papa perlu bicada dengan mama. Nanti sehabis makan siang kita bicara lagi," ucap papa sambil beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke ruang depan diikuti oleh mama.
Tinggal kami berdua dan kulihat Reyvan menghela nafas panjang melepaskan ketegangannya.
"Tenang saja, papa nggak akan apa-apakan kamu koq,"kataku menggodanya.
"Hei, bisa-bisanya kamu menggodaku seperti itu. Aku hampir pipis di celana tahu nggak,"
Aku terkekeh melihat Reyvan.
"Ayolah, makan dulu. Aku sudah kelaparan dari tadi. Kita butuh tenaga menghadapi situasi penuh intimidasi ini,"kataku sambil menyuapkan mie goreng ke mulutnya.
Kami makan dengn santai lalu bersama-sama mencuci piring dan membereskan meja makan. Tanpa kusadari, papa dan mama ternyata memperhatikan kami dari balik tirai ruang tamu.
Aku duduk di ruang keluarga bersama Reyvan. Kami sama-sama sibuk dengan ponsel masing-masing. Reyvan sibuk memonitor kondisi mamanya melalui saudaranya. Aku sibuk membalas chat dari Antonio yang mengirimkan foto-foto kebersamaannya bersama anaknya.
Jam satu siang kami berkumpul kembali di meja makan. Kali ini adik bungsuku ikut makan bersama kami. Tadi pagi dia pergi ke arena badminton dan berlatih disana. Adikku yang bungsu adalah atlet bulutangkis walaupun masih di tingkat provinsi.
Kami berkumpul dan menyantap makan siang buatan mama dan Bi Tiwi. Selesai makan, aku dan adikku membereskan meja makan. Aku menyuruh Reyvan untuk tetap duduk, karena dia adalah tamu dirumah kami. Selesai bersih-bersih, aku duduk kembali dan papa mulai angkat bicara. Aku sudah bilang ke Reyvan kalau dia harus siap jika papa menolaknya. Reyvan hanya mengangguk dengan lemah. Aku tidak tega sebenarnya, tali ini adalah cara paling tepat menolaknya. Agar Reyvan tidak sampai sakit hati kepadaku.
*