Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?
Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.
...
Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 lelaki yang butuh kesempatan
"Gila, sih, ini pajamas party terniat banget." Lisa tiada hentinya berdecak kagum tatkala melihat— yang katanya kamar tamu kini disulap jadi tempat acara mereka.
"Ya, aku gak bisa berkata-kata." Ester pun tak kalah terpukau.
"Aku gak tahu lagi gimana ngomongnya, kita beruntung banget dapet sahabat konglomerat." Frisca tersenyum lebar.
"Gimana? Kalian suka?" Safira datang dari luar. Kedatangannya bersamaan dengan empat pelayan yang membawa sebuah kotak dengan logo VS terkenal.
Mereka bertiga menerima kotak tersebut lantas membukanya. Milik Safira sudah diletakkan di meja. Perlengkapan tidur mereka lengkap dengan parfum juga. Mereka bertiga bersorak dan mengucapkan terima kasih pada Safira. Seakan belum cukup, empat pelayan tadi kembali datang membawa nampan.
"Sekarang kita private spa." Safira menjelaskan, membuat ketiganya makin bersorak saja.
...
"Ah, hidupku enak banget. Rasanya semua beban jadi hilang." Lisa meregangkan badannya setelah berganti pakaian dengan piyama.
"Udah lama aku gak spa," kata Frisca seraya duduk selonjoran di dekat meja berisi berbagai potongan buah. Ester lebih dulu mengambil anggur.
"Aku mau kita difoto buat kenangan di album." Safira membawa sebuah kamera.
"Tentu." Lisa yang menyiapkan kamera hingga pose-pose mereka.
"Kak Gavin tahu soal party ini?" Tanya Ester. Ketiganya mengamati Safira, takut nanti senin ditanyai oleh Gavin.
"Iya, tadi aku juga kirim foto."
"Hubungan kalian itu positive vibes banget. Couple goals gitu. Nanti kalau aku punya pacar juga mau kaya kalian." Frisca berkhayal yang langsung dihujat Lisa dan Ester. Safira tersenyum melihat keakraban mereka.
"Emang kamu gak bosen sama hubungan yang gitu-gitu aja?" Lisa bertanya. Dua lainnya ikut menatap karna penasaran.
Safira tersenyum malu-malu. "Sebenarnya, kak Gavin itu penuh kejutan."
"O-ho-ho~" ketiganya bersorak kegirangan seakan paham maksud Safira.
"Non, maaf. Itu di luar ada temen yang nungguin. Nyonya juga berpesan supaya Non ketemu sama dia." Bi Surti tiba-tiba saja muncul dari balik pintu.
"Aku lagi gak bisa diganggu, bi. Ini 'kan ada acara."
"Katanya ada hal penting yang harus dibicarakan."
"Siapa namanya?"
"Gio, non."
Safira terdiam sebentar sebelum menjawab, "suruh dia tunggu di taman depan, bi."
"Safira, kamu ngapain ketemu sama dia?" Lisa bertanya karna khawatir.
"Aku harus kasih ketegasan kali ini, kalau enggak dia gak bakal ngerti." Safira menyambar jubah tidurnya yang terbuat dari satin putih yang lembut.
"Perlu kita antar?" Tanya Ester. Dan Safira menggeleng.
...
"Safira." Gio bangkit dari kursi di taman itu. Dirinya terpukau beberapa saat dengan penampilan Safira. Bagaimana kulit putih itu mengintip dari jubah satin yang tertiup angin.
"Kita langsung saja. Kenapa kamu datang ke sini?"
"Safira, aku minta kesempatan dari kamu." Biarlah jika Gio terkesan mengemis pada Safira, karna memang itu tujuannya saat ini. Setelah berita tentang dirinya dan Safira hilang, ia menjadi kalang kabut dan harus segera mencari solusi tercepatnya.
"Bagian mana yang kamu gak ngerti dari pembicaraan kita tempo hari?"
"Keputusan sepihak kamu."
"Hah?"
"Bukannya kamu yang memutuskan sendiri untuk mengakhiri pendekatanku? Ibu kamu saja tidak melarang, bukankah lelaki manapun punya kesempatan yang sama?"
"Gila kamu. Kamu pikir aku barang yang bisa didapatkan siapa saja?"
"Safira maaf aku gak bermaksud." Gio mengumpat dalam hati, menyesali perkataan bodohnya.
Safira hendak berjalan pergi tapi perkataan Gio menahannya. "Kenapa kamu membiarkan hal yang sama pada Gavin? Dia bebas mendekati perempuan mana saja, and you, why not?"
Safira terdiam dan Gio merasa mendapat kesempatannya. "Kamu juga punya hak yang sama seperti dia, asal kamu mau memberikan kesempatan itu." Gio mendekati Safira dan menggenggam tangan kirinya. "Aku tahu yang dilakuin Gavin itu bodoh banget, menyia-nyiakan kamu. Kali ini, kamu bisa lepas dari dia. Kalau aja kamu kasih aku kesempatan, aku bisa buktikan kalau dengan kamu saja sempurna, tidak perlu ada perempuan lain."
"Aku—"
"Aku gak akan maksa, cukup kamu buka sedikit aja hati, and i'm gonna fix it." Gio kali ini menggenggam kedua tangan Safira. "Please!"
Safira terdiam, pikirannya menjadi goyah. Lama ia berpikir, matanya pun bertatapan dengan Gio yang penuh permohonan padanya. Semua yang dikatakan Gio merasukinya, seperti sebuah kebenaran untuknya. Lantas, haruskah ia menerima tawaran itu? Ia sampai tak melawan saat tangannya dielus oleh Gio. Setelah dilihat dari dekat, Gio memiliki perawakan yang serupa dengan Gavin. Mereka sama-sama memiliki senyum yang manis dan tampan.
Tinn Tinn
Suara klakson mobil juga lampu yang disorotkan pada mereka membuat suasananya menjadi kacau. Terlebih sosok yang keluar dari kemudi itu membuat Safira kaget. Sementara Gio tersenyum.
"Ngapain kamu di sini?" Gavin menghampiri mereka dan melepaskan tangan Safira dari Gio.
"Cowok yang udah selingkuh, sekarang marah-marah dan cemburu sama gue, tebel juga muka lo." Gio terkekeh pelan.
"Brengsek!" Sejurus kemudian Gavin meninju rahang Gio dengan keras.
Safira memekik kaget, hingga para satpam di sana datang membantu Gio berdiri. Satu orang mencoba menahan Gavin, takut lelaki itu kembali menerjang.
Gio meludah darah dan memegangi rahangnya yang sakit. "Asal lo tahu, Safira sendiri yang bersedia ketemu gue." Ia kembali terkekeh.
Gavin hendak kembali memukul tapi ditahan oleh Safira dan satpam. Hingga Safira menyuruh Gio untuk pergi, barulah lelaki itu pun pulang dengan mobilnya. Sementara para satpam sudah kembali ke tempat jaga mereka. Safira tidak ingin membuat keributan hingga Ayah dan Ibunya datang.
"Kenapa kakak bisa ada di sini?"
"Tadi Lisa chat." Gavin menggapai pipi Safira. "Kenapa kamu ketemu sama dia?"
"Maaf, tadinya aku mau kasih ketegasan sama dia." Safira memejamkan matanya menerima usapan Gavin.
"Ya, aku percaya." Gavin menghirup helaian rambut Safira dalam-dalam. "Kamu cantik, harum."
Karena emosi, Gavin sampai baru sadar dengan penampilan Safira malam ini. Belum dengan harum yang terbuai oleh angin malam. Sangat memabukkan. Tanpa sadar Gavin meraih dagu Safira lalu mengecup bibirnya sekilas. "Lain kali jangan keluar seperti ini di depan laki-laki lain."
Safira tersenyum kecil. "Kenapa? Jelek, ya?"
"Aku aja punya pikiran culik kamu sekarang, gimana sama laki-laki lain?"
"Kenapa gak culik aja sekarang?"
"Kamu mau ikut ke mobil?" Safira pun mengangguk. Mereka pun berjalan ke arah mobil Gavin sambil sesekali tertawa.
"Safira!" Teriakan yang Safira kenali berasal dari Ibunya membuat langkah mereka terhenti. "Kamu masih punya tamu di sini."
Lisa dan yang lainnya muncul dengan wajah kikuk.
.
.
Maura sudah siuman sejak pagi. Kini ia tinggal sendirian di kamar, Ibunya sedang makan malam di kantin. Dari yang suster katakan Gavin sudah pulang sejak kemarin. Awalnya ia kecewa, tapi setelah tahu lelaki itu selalu menunggunya di ICU ia jadi membaik. Maura masih kesulitan untuk menggerakkan kaki, tangan pun memakai gips, juga kepalanya masih nyeri bekas operasi. Saat seseorang mengetuk pintu, ia hanya bisa berteriak menyuruhnya masuk.
Seorang pria paruh baya berjalan menghampirinya, pria yang belum pernah ia kenal. Bertemu pun belum, jelas itu orang asing. "Anda siapa?"
"Saya bisa membantu masalah keuanganmu, asal kamu melakukan sesuatu untuk saya."
"A-apa?" Maura hanya bisa memandangi pria dengan setelan jas itu.
"Ini kartu nama saya, kalau berminat silakan hubungi nomor yang ada di sana." Pria itu meletakkan kartu di meja dekat Maura. Setelahnya pria itu pun pergi.
Maura masih melamun memikirkan sosok itu. Kalau dilihat dari pakaiannya yang mahal, pasti bukan orang yang iseng atau pun tukang jual organ. Lantas, kenapa orang itu bisa tahu kehidupannya?
"Maura, kamu kenapa?" Ibunya menyadarkan Maura yang terus melamun.
"Tadi ada orang aneh yang masuk," jelas Maura.
"Kenapa kamu gak panggil suster? Apa itu orang jahat?" Ibunya tentu panik. Siapa tahu orang yang sama berhubungan dengan kecelakaan anaknya.
"Aku gak tahu. Tadi dia kasih kartu nama di meja."
Ibunya lantas mengambil kartu yang di maksud Maura. Setelah membaca nama yang familiar di sana beliau terkejut. "Maura, Ibu gak tahu apa yang kamu alami selama ini, tapi Ibu rasa sebaiknya kamu menjauhi keluarga Halim ini. Biarpun nak Gavin baik, tapi dunia kita itu berbeda dengan mereka. Ibu gak mau kamu celaka lagi."
Maura terdiam. Meski Ibunya tidak tahu tentang keluarga Halim, tapi naluri seorang Ibu dan kedatangan orang aneh tadi membangkitkan rasa curiganya. Jadi, orang tadi dari keluarga Halim. Tanpa sadar Maura penasaran dengan motifnya.
.
.
TBC