Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 ~
“Jadi bener Bapakmu melakukan pesugihan?” Ikbal bertanya dengan serius.
“Nggak tahu, bapak Cuma bilang lakukan itu demi aku dan Ibu,” terang Gita sambil menunduk.
“Semalam aku sama Mas Dirga lewat rumahmu,” ujar Ikbal lalu menatap Dirga. “Kami lihat ….”
“Lihat apa?” tanya Gita.
“Pocong,” jawab Dirga. “Dan bukan hanya satu.”
Gita menatap Dirga dan langsung memegang pergelangan tangan pria itu. “Mas, tolong aku dan Bapak. Hentikan apa yang sudah Bapak lakukan.”
“tidak bisa gitu Gita, kita nggak tahu apa yang bapak kamu lakukan. Ritual dan perjanjian apa yang sudah dia kerjakan. Yang bisa menghentikan hanya dia dan perantaranya. Tidak mudah menghentikan perjanjian dengan iblis.”
“Tadi pagi, aku ingin buka ruangan itu. Malah dapat tamparan.” Gita mengusap pipinya. “Selama ini bapak tidak pernah kasar, tapi kenapa … malah aku diusir. Dia bilang aku lebih baik tinggal di kosan saja dan fokus kuliah.”
“Ruangan itu … kamu serius ada sesuatu di sana?” Ikbal bertanya lagi.
“Seingatku, sudah lama sekali ruangan itu selalu dikunci. Tidak ada yang boleh masuk termasuk Ibu. Aku pernah intip ke dalam, ternyata gelap,” tutur Gita. “Waktu aku sorot dengan cahaya dari ponsel, aku lihat ….”
“Lihat apa?” tanya Ikbal tidak sabar karena Gita mendadak diam.
“Lihat mata hitam dan wajahnya terbungkus. Sepertinya pocong juga. Gangguan yang aku terima itu belum lama, apa mungkin karena ruangan itu?”
Dirga dan Ikbal menghela nafasnya. Tidak bisa menjawab apalagi mengiyakan karena semua masih samar.
“Gita,” panggil Ibunya Ikbal. “Ada bapakmu, ayo temui dulu.”
Ternyata Yuda mengajak Gita pulang, meski sempat ada drama karena Gita menolak ikut. Yuda memaksa, bahkan menentang keluarga Ikbal dengan alasan Gita adalah putrinya.
“Kamu diam dan jangan banyak tingkah. Bapak mau pergi, jangan berani ke ruangan itu!”
“Apa yang bapak sembunyikan di sana?”
“Tidak ada. Sekarang aku harus usahakan agar kita bisa selamat. Jadi jangan menambah masalah,” pekik Yuda. “Bapak tahu kamu sudah bicara macam-macam dengan Ikbal, jangan sok tahu.”
“Pesugihan pocong, bapak lakukan itu ‘kan?”
“Masuk kamarmu!”
“Aku diganggu pocong karena pesugihan bapak.”
“Masuk kamar!”
Gita pun mengalah, dadanya sesak karena Yuda membentak dan kasar. Padahal sejak kecil tidak pernah ia diperlakukan seperti itu. Dalam kamar, ia terisak. Sedih mengingat kepergian Asih dan sifat Yuda yang mendadak berubah. Entah Yuda pergi ke mana, kamar Gita dikunci. Bahkan makanan pun diantar lewat jendela oleh Minah.
Sedangkan di tempat berbeda, Yuda kembali mendatangi paranormal mencari solusi permasalahannya. Duduk di hadapan pria yang sedang berkomat kamit setelah membakar dupa. Mbah Joko, cukup terkenal karena bisa merubah hidup seseorang hanya dalam hitungan menit. Dengan mata terpejam dengan posisi meditasi.
Brak.
Mendadak tubuh Mbah Joko terhempas ke belakang menabrak meja. Yuda berdiri dan Mbah Joko mengangkat tangannya agar tidak mendekat. Pria tua itu meludah darah dan kembali duduk di depan meja sesajen.
“Tidak bisa. Iblis yang kamu sembah bukan tandinganku. Harus dengan perantara awal, semoga saja dia bisa membantu menghentikan perjanjian ini.”
“Mbah Kiyut perantara perjanjian, dia sudah meninggal,” jelas Yuda.
“Tinggal kamu tunggu saja dampak kelalaian perjanjianmu.”
“Bantu saya Mbah, istri saya sudah jadi korban. Dia meninggal tidak wajar. Sekarang saya mulai diganggu,” pinta Yuda.
“Ngeyel, mana bisa aku hentikan. Kamu sudah melakukan perjanjian dengan lelembut penguasa alam gaib. Aku mana bisa melawannya.”
“Apa dengan menyediakan tumbal baru, perjanjian ini masih bisa berlanjut?”
“Apa yang kamu alami ini karena perjanjian sudah dilanggar. Entah salah dari tumbal atau perantara perjanjian sudah tidak ada di dunia ini.”
Yuda meninggalkan kediaman paranormal itu dengan langkah gontai. Ke mana lagi dia harus minta pertolongan.
***
Ceklek.
Gita menekan handle pintu dan masih terkunci. Rasanya ingin memgump4t karena Yuda tega mengurung dirinya di kamar.
“Bapak!” teriak Gita.
Terdengar adzan maghrib, Gita pun menunaikan sholat di kamarnya. Larangan Yuda untuk melakukan ibadah di dalam rumah. Bahkan setelah selesai, ia belum beranjak masih berdzikir di atas sajadah dan terus melantunkan ayat suci sampai waktu isya.
Baru saja melakukan salam, terdengar hentakan di pintu. Gita melepas mukenanya dan menuju pintu.
“Bapak, buka pintunya. Biarkan Gita ke rumah Bude.”
Brak.
Pintu seperti terhantam benda dari luar. Gita pun melangkah mundur. Jelas itu bukan Yuda. Perlahan ia berjongkok lalu berbaring di lantai. Melihat ada apa di luar dari celah bawah pintu. Ia melihat kain lusuh melompat ke depan dan ke belakang.
Tubuh Gita mendadak merinding menyadari sosok yang ada di depan pintu kamarnya. Gegas ia menaiki ranjang dan bersandar pada headboard. Dengan tangan gemetar membuka layar ponsel menghubungi seseorang.
“Halo, Git.”
“Bal, to-long aku.”
“Kamu di mana?” tanya Ikbal.
“Gita, kamu di mana?” kali ini suara Dirga.
“Tolong aku, ada pocong di depan kamarku.”
“Kami kesana sekarang, kamu keluar lewat jendela!” titah Dirga, terdengar juga suara Ikbal yang mengajak Dirga bergegas.
“Jendela kamarku di tralis. Bapak kunci aku dalam kamar.”
“Shittt."
Panggilan berakhir, tubuh Gita masih gemetar mendengar suara lompatan di luar kamarnya. Bau apek dan bau bangkai menguar membuat perutnya mual. Mulutnya terus melantunkan ayat suci.
Brak
Terdengar suara dari plafon, Gita menengadah dengan detak jantung lebih cepat dari biasanya.
“Ibu, aku takut,” gumam Gita menarik selimutnya.
Krek.
Tatapan Gita tertuju pada pintu lemari yang perlahan terbuka.
Brak
Plafon kamar Gita rubuh sebagian, bersamaan dengan jatuhnya sosok pocong ke atas ranjang tepat dihadapannya.
“Aaaaa.”