Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Berandal Itu Aku
"Serius kamu mau menemui wanita itu sekarang?" Abiyyu melirik kaki Nisa yang tak lagi dibalut perban.
Kesal rasanya. Baru saja kakinya sembuh, tapi Nisa sudah akan berkeliaran lagi. "Kalau sampai terjadi sesuatu, aku tidak akan menolong. Bahkan meskipun kamu meneleponku ribuan kali!"
Nisa diam saja mendengar omelan itu. Sementara Abiyyu berniat merokok untuk mengurangi stresnya.
"Aish!" Tiba-tiba pria itu mengeluh. Dia ingat betul rokoknya hanya berkurang satu batang. Tapi kemana perginya semua sisa rokok itu?
"Aku membakarnya." Akhirnya, Nisa mulai angkat bicara. Dia bahkan mengakui perbuatannya tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Kamu bisa mati kalau merokok terus!"
"Astaga, Nisa?" Ah, sudahlah. Abiyyu benar-benar kesal sekarang. "Setidaknya sisakan satu batang untukku!"
Karena tak ada rokok, dia pun terpaksa mengunyah permen karet yang sengaja Nisa masukkan ke dalam bungkus rokok itu.
"Bukankah itu lebih enak?" tanya Nisa.
"Lumayan," jawab Abiyyu.
Pria itu melengos ke samping. Lalu melirik Nisa dan melayangkan protes. "Tapi apa-apaan sikapmu ini, Nis? Apa gunanya perhatian sementara kamu menolak lamaranku?"
Karena Abiyyu semakin cerewet, Nisa pun menjejali mulutnya dengan buah yang baru saja dia kupas.
"Dengan begini, kamu akan diam, kan?" Nisa pun bangkit, memberikan sepiring buah itu pada Annisa dan Raya yang sedang bermain membangun menara.
"Tidak!" Abiyyu bersikeras. "Aku tidak akan diam sampai kamu membatalkan janji makan siang dengan wanita itu."
"Nggak bisa!" Nisa menolak. "Aku udah janji sama dia. Lagipula kan hanya makan siang?"
Saat ini, Nisa mengambil tasnya. Dia harus segera berangkat atau dia akan terlambat. Tapi Abiyyu merebut tas itu. "Aku tahu kalian hanya akan makan siang. Tapi kan tante-tante itu mau ngenalin anaknya ke kamu, Nis?"
"Terus masalahnya di mana?" tanya Nisa dengan wajah polos tanpa dosa.
"Masalahnya adalah,-" Abiyyu menghela nafas panjang, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Nisa. "Aku cemburu!"
"Jangan cemburu!" larang Nisa.
Wanita itu mengambil tasnya dari tangan Abiyyu. Lalu mengganti sendal tipis yang dia kenakan. "Aku tidak akan menemui wanita itu lagi kalau dia memintaku jadi menantunya!"
"Apa?" Abiyyu memelotot. "Dia ingin kamu jadi menantunya?"
Kali ini, Abiyyu tak tahan lagi. Karena cemburu berat, Abiyyu pun menarik tangan Nisa dan membawanya ke mobil. "Kalau begitu jangan menemuinya!"
"Tapi,-"
"Lebih baik kita pergi menemui ibuku sekarang!" potong Abiyyu.
Pria itu menoleh, menatap Nisa dengan wajah serius. "Bukankah kamu berjanji padaku akan menemuinya?"
Selama Nisa sakit, wanita itu lah yang merawat Raya. Dia bahkan membelikan begitu banyak mainan dan pakaian.
Untuk itulah Nisa ingin menemuinya dan mengucapkan terimakasih. Tapi, bukan sekarang karena dia punya janji lain yang harus dia tepati.
"Baiklah, aku akan menemui ibumu hari ini. Tapi biarkan aku,-"
"Tidak!" tolak Abiyyu. "Aku tidak mengijinkan kamu pergi!"
"Ayolah!" Nisa memegang lengan pria itu. "Dia pasti sudah menungguku sekarang!"
"Nis?" Abiyyu mengusap wajahnya dengan kasar. "Bisakah menurut sekali saja?"
"Oke, kamu bilang kamu cemburu, kan?" Akhirnya, Nisa mencari jalan tengah. "Kalau begitu ikutlah denganku. Setelah itu kita pergi menemui ibumu, bagaimana?"
Dahi Abiyyu mengkerut. Setelah menimbang sebentar, dia pun menyetujui permintaan Nisa. "Baiklah. Ayo berangkat sekarang!"
Abiyyu pun menyalakan mesin mobilnya. Mengantar Nisa menemui seseorang yang tak lain adalah Hanum, ibu kandungnya sendiri yang mendambakan menantu seperti Nisa.
.
.
.
"Ada apa?" Nisa melihat Abiyyu dan Hanum secara bergantian. Bingung, karena dua orang itu menunjukkan gelagat aneh sejak mereka bertemu. "Apa kalian saling kenal?"
"I-itu ... " Abiyyu ingin menjawab, tapi Hanum memotong ucapannya. "Iya, kami saling kenal."
"Benarkah?" Nisa memelotot. Terkejut dengan pengakuan Hanum barusan. "Tapi, kenapa kalian terlihat canggung?"
"Itu karena kami sudah lama tidak bertemu." Hanum tersenyum tipis, lalu memegang tangan Abiyyu yang saat itu duduk di samping Nisa. "Iya kan, Bi?"
"Ah, begitulah!" jawab Abiyyu.
Pria itu mengangguk. Padahal, dalam hatinya mengatakan, 'Apanya yang lama. Satu jam yang lalu kan kita masih bertemu.'
"Ngomong-ngomong," Abiyyu menggaruk pipinya, lalu menoleh ke arah Nisa seraya berbisik, "Kenapa kamu nggak bilang kalau orang yang ingin kamu temui adalah wanita ini?"
"Kamu kan nggak nanya?" jawab Nisa.
Ingin rasanya Abiyyu menggigit wajah polos itu. Tapi dia tahan-tahan karena tak ingin di cap sebagai anak berandalan seperti tempo hari.
"Tante, apa tante datang sendirian?" Nisa menoleh ke kanan dan kiri. Setelah beberapa menit, dia baru sadar kalau Hanum datang seorang diri. "Bukankah tante bilang mau datang sama anak tante?"
"Uhuk! Uhuk!" Abiyyu tersedak mendengar pertanyaan itu dan Nisa mencubit pahanya karena menganggapnya tidak sopan. "Jangan banyak tingkah!" tegur Nisa dengan suara pelan.
Seandainya saja Nisa tahu kalau pria yang baru saja dia cubit adalah putranya Hanum, Nisa pasti tidak berani melukainya.
Mana mungkin Nisa berani, sementara Hanum adalah orang pertama yang memberinya dukungan saat dirinya memutuskan untuk membuka toko kue.
"Maaf, Tante!" Nisa tersenyum canggung. "Kadang-kadang pria ini agak-agak menyebalkan!"
"Nggak apa-apa," kata Hanum. Wanita itu tertawa ringan, lalu melanjutkan, "Anakku nggak ikut. Dia bilang ada rapat penting di kantor."
Nisa mengangguk beberapa kali. "Pasti dia sangat sibuk."
"Iya, anakku sangat sibuk," jawab Hanum.
Wanita itu melirik Abiyyu. Memainkan alis dan matanya sehingga Abiyyu berpikiran negatif.
Tentu saja dugaan Abiyyu benar. Karena saat ini Hanum tidak hanya merubah ekspresinya agar terlihat menyedihkan, dia juga mulai menceritakan hal buruk tentang anaknya sendiri.
"Anakku itu ... dia nggak punya waktu untuk menemaniku makan."
Hanum menghela nafas panjang, menjeda kalimatnya agar aktingnya terlihat meyakinkan. "Dia suka membantah dan nggak pernah akur sama adiknya. Tante sedih kalau ingat kelakuannya yang mirip berandalan!"
"A-apa?" Mata Abiyyu tampak membesar. "Berandalan?"
Pria itu tersenyum sinis, tidak menyangka ibunya akan mengatakan hal itu di hadapan wanita idamannya.
Sementara itu, Nisa memegang tangan Hanum. "Tante, tolong jangan berpikir berlebihan. Itu pasti hanya perasaan tante saja. Mana mungkin anak tante seperti itu?"
"Itu benar." Akhirnya, Abiyyu memiliki kesempatan untuk membela diri.
Pria itu pun berdiri, memegang tangan Hanum dan duduk di sampingnya. "Anakmu tidak seburuk itu. Dia sangat tampan, baik dan perhatian. Dia bahkan tak melawan saat ibunya memukulinya. Anak sebaik itu, bagaimana bisa kamu menyebutnya sebagai berandalan?"
Sepasang ibu dan anak itu pun saling berpandangan. Sebisa mungkin Hanum menahan tawa sementara Abiyyu menahan malu.
Di sisi lain, Nisa tampak tak mengerti. Kali ini, dia meminta Abiyyu untuk kembali duduk di sampingnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Nisa menarik tangan Abiyyu. "Kenapa kamu bicara seolah kenal sama anaknya Tante Hanum?"
"Karena aku lah anak yang sedang dia bicarakan!" jawab Abiyyu.
***