Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Balas Dendam
"Kalau boleh tahu, apa saja yang perlu cucu siapkan, Tuk?"
"Kamu perlu melakukan puasa sunah pertengahan bulan, yang dikenal juga sebagai puasa Ayyamul Bidh, wahai cucuku." "Itu adalah puasa yang dilakukan pada tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan dalam kalender Hijriah."
"Jika sudah kembali ke rumah nanti, coba kamu lihat lihat wahai cucuku, kapan mulainya tanggal 13 itu."
"Jika sudah tiba nanti, mulai lah kamu berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Jika sudah selesai nanti kamu bisa langsung datang ke sini."
"Sebelum kamu bisa menyelesaikan puasa itu, maka aku tidak akan muncul dalam mimpimu, wahai cucuku."
Banyak lagi pesan dan syarat-syarat yang di sampaikan oleh Datuk Harimau Putih kepada Hamdan.
Saat Hamdan terbangun dari tidurnya, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Sudah hampir masuk waktu subuh.
Hamdan langsung mandi. Karena mandi sebelum subuh mempunyai manfaat yang luar biasa.
Seperti biasa, jam enam pagi Fitri sudah stand by di depan gudang.
"Apa tak penat datang terlalu pagi, Fit? Bukan kah kita masuk jam 07.15."
"Maksud kamu apa, Hamdan?" Fitri baru saja memarkirkan motor dan membuka helmnya.
"Apa kah kamu tidak suka dan merasa terganggu dengan kedatangan aku?"
Hamdan tanpa sadar menutup mulut. 'Waduh salah lagi aku.'
"Bukan, Fit. Aku hanya penasaran apa Papa dan Mama kamu tidak bertanya kenapa kamu berangkat sekolahnya pagi sekali."
"Itu kamu tak perlu tahu, Hamdan. Yang penting aman."
"Berangkat sekarang yuk! Aku mau sarapan di luar."
"Sarapan apa?" Hamdan mengunci pintu gudang.
"Bubur ayam yang di jalan Dipon itu."
"Fit, bubur ayamnya buka jam tujuh. Kalau sekarang kita ke sana hanya dapat zonk."
Akhirnya mereka sarapan jalan Kartini.
Hamdan memilih lontong mie sagu sedangkan Fitri memilih lontong mie kuning.
Ada beberapa orang juga yang sarapan di situ namun ada juga yang hanya minta dibungkus.
Kebanyakan yang langsung sarapan di situ adalah orang-orang yang berseragam kantoran.
Jika melihat seragam mereka, Hamdan suka membayangkan bagai mana rasanya jika suatu saat nanti dia bisa menggunakan seragam seperti mereka.
'Apa kah dia akan kelihatan sangat gagah?'
"Hamdan! Kenapa senyum-senyum sendiri?"
"He he..." Hamdan tersipu malu. "Aku sedang membayangkan bagai mana rasanya suatu saat nanti bisa menggunakan seragam seperti mereka."
Fitri langsung terkekeh.
Namun saat menyadari bahwa Hamdan sedang serius, Fitri cepat-cepat berkata.
"Maaf, Hamdan. Aku tak bermaksud mengejek kamu."
Fitri belum pernah berpikir ke arah sana karena dia tidak kekurangan uang.
Uangnya berlebih dan segala fasilitas disediakan oleh orang tuanya.
Berbeda dengan Hamdan. Sedari kecil Hamdan sudah merasakan bagai mana sulitnya untuk mencari uang sendiri.
Makanya wajar saja dia memikirkan pekerjaan yang layak menurutnya.
"Bukan masalah besar, Fit, jadi tak perlu meminta maaf."
Hamdan tersenyum lembut.
Dia mencintai Fitri dengan sepenuh hati. Tapi dia tidak bisa mengungkapkannya melalui kata-kata.
"Ayo, Fit, habiskan sarapannya. Sebentar lagi kita berangkat ke Sekolah."
Fitri menggeleng, "Sudah tidak sanggup lagi, Hamdan. Aku sudah kenyang."
"Sini biar aku habiskan. Dari pada mubazir."
Hamdan menjulurkan tangannya.
"Jangan, Hamdan!" Fitri menarik piringnya menjauh dari jangkauan Hamdan.
"Kenapa?" Tanya Hamdan dengan Heran.
"Itu sisa aku. Kalau kamu masih lapar, biar aku pesan yang baru saja."
Hamdan langsung menarik piring Fitri.
"Ini tidak ada kaitannya dengan rasa lapar. Lagi apa salahnya makan sisa makanan kamu?"
Tanpa memperdulikan protes Fitri, Hamdan langsung menyuapkan lontong itu ke mulutnya.
"Hmm, enak. Kuah lontong yang bercampur dengan lipstik ternyata sangat enak..."
"Hamdan....!!"
Fitri malu. Tangannya berusaha menggapai Hamdan. Dia ingin mencubitnya.
"He he..."
Hamdan tertawa senang.
"Itu dia, Bang. Dia lah yang telah memukul kami hingga babak belur."
Tiga orang dewasa dan seorang remaja berjalan ke arah Hamdan.
"Siapa mereka, Hamdan?" Fitri menjadi takut saat melihat gelagat orang-orang yang berjalan mendekati mereka.
Dari raut wajah mereka, Fitri tahu mereka datang tidak dengan maksud yang baik.
"Kamu yang memukul adik aku?"
Salah seorang pria yang mempunyai tato dilengannya memandang Hamdan seolah-olah ingin memakannya.
Salah satu kakinya naik ke atas kursi sedangkan tangannya bertumpu di paha.
Sikapnya tampak angkuh.
Fitri tanpa sadar mundur ke belakang. Wajahnya pucat.
Orang-orang yang sedang sarapan langsung menjauh. Mereka jelas tidak ingin terlibat.
Mereka hanya bisa memandang Hamdan dengan pandangan iba.
Wajah Hamdan masih setenang air. Dia balas menatap pria itu dan berkata dengan nada datar.
"Apakah Abang sudah bertanya apa sebab adik Abang dipukul?"
"Brak!!!"
Pria itu menghantam meja sehingga piring, gelas dan sendok serta garpu berhamburan.
"Kamu jangan arogan ya! Kamu tahu dengan siapa kamu bicara? Hah!"
Mata pria itu memerah sedangan dua teman serta adiknya tersenyum sinis melihat kemalangan Hamdan.
Mereka sudah membayangkan sebentar lagi pemuda itu akan babak belur.
Walau pun dia menangis air mata darah tidak akan ada gunanya lagi.
Berbeda seperti anggapan mereka, Hamdan masih tetap tenang dan dia sedikit pun tidak merubah posisi duduknya.
"Apa kah Abang hanya bisa menggertak saja? Apa begini sikap pria dewasa yang hanya berani menggertak."
"Meja itu tidak bisa melawan jika Abang pukul."
Semua orang yang mendengar ucapan Hamdan langsung melongo.
"Apa remaja ini bod*h? Apa kah dia tidak tahu akibat memprovokasi orang dengan sedemikian rupa?"
"Kurang aj*r!!!"
Tubuh pria itu menggigil saling marahnya.
Jari-jemarinya gemertak saat dia mengepal membentuk tinju.
Urat-uratnya bertonjolan.
Setelah mengambil ancang-ancang sebentar, dia langsung melayangkan tinjunya ke wajah Hamdan.
Ini adalah tinju yang penuh amarah. Kekuatannya berlipat-lipat.
"Hamdan!!!"
Fitri hanya bisa menjerit. Dia tidak mempunyai kemampuan untuk membantu.
Orang-orang tanpa sadar menutup matanya. Tak tega melihat wajah Hamdan yang bakalan bonyok terkena pukulan yang sangat dahsyat itu.
Hamdan masih tetap tenang.
Dengan acuh tak acuh dia mengangkat tangan kirinya.
Lalu telapak tangannya langsung terbuka.
"Tap!!!"
Tinju yang diperkirakan tadi akan menghantam wajah Hamdan sekarang masuk ke dalam genggaman Hamdan.
Semua orang terperangah dibuatnya, terutama pria tadi.
Dia sangat malu! Juga tidak percaya.
Mungkin ini hanya lah kebetulan saja.
Dia menarik tinjunya untuk kembali menyerang.
Namun pada saat itu, Hamdan meremas tangannya lalu...
"Krak..krak...krak...!!!"
"Aaaaaaaaa.....!!!!"
Pria itu menjerit setinggi langit.
Dia langsung jatuh berguling-guling di lantai yang kotor.
Sendi-sendi tulang jarinya telah dipatahkan oleh Hamdan.
Mulai sekarang, pria itu bisa melupakan menggunakan tinju kanannya untuk memukul orang.
Peristiwa itu sungguh cepat terjadi sehingga kawan-kawan pria itu hanya plonga-plongo.