Hamdan seorang siswa SMA kelas dua. Sedari kecil sudah tinggal di Panti sehingga dia tidak pernah tahu akan keberadaan orang tuanya.
Hamdan sangat suka silat tapi dia tidak punya bakat.
Setiap kali latihan, dia hanya jadi bahan ledekan teman-temannya serta omelin Kakak pelatihnya.
Suatu hari Hamdan dijebak oleh Dewi, gadis pujaan hatinya sehingga nyawanya hampir melayang.
Tak disangka ternyata hal itu menjadi asbab berubahnya takdir Hamdan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andaikan Kamu Punya Handphone
"Dewi mana? Apa kah mungkin seorang anak remaja bisa melawan Papa?" Dengus Papa Tanto.
"Papa mungkin kenal dengan orang tuanya Dewi. Dia dipanggil Riko si preman Pasar. Kelicikan dan kekejaman Dewi jelas diwariskan dari orang tua itu."
Jauh sebelum bekerja sama dengan Dewi, Tanto sudah menyelidiki latar belakang Dewi sehingga dia tidak pernah berencana untuk mendekati Dewi.
"Kalau dia anak si Riko, urusannya bisa jadi berbelit-belit." Papa Tanto jadi muram. 'Tak mungkin harus mundur. Bagai mana dengan nasib anaknya ini.'
Papa Tanto tampak bingung. Di satu sisi, dia ingin membalas dendam dan menuntut keadilan untuk anaknya namun disisi lain dia tahu tentang kekuatan Riko Papanya si Dewi sehingga dia tidak bisa bertindak semena-mena jika tidak ingin mendapat pembalasan dari si Riko yang gi*a itu.
"Bagai mana bisa kamu cari masalah dengan anak preman gi*a itu?" Keluhnya.
...****************...
Wajah Fitri jadi muram saat membayangkan harus menemui Kak Fadil sepulang sekolah nanti pada hal dia sudah punya rencana untuk membawa Hamdan ke tukang urut.
"Kasihan si Hamdan karena harus menunggu lama." Keluhnya dalam hati.
Fitri tidak mempunyai cara untuk memberi tahu Hamdan atas keterlambatannya ini, soalnya Hamdan tidak punya ponsel sehingga mereka tidak bisa berkomunikasi.
"Uhhhh. Apa yang harus aku lakukan?"
Jika dia tidak menemui Kak Fadil, jelas Kak Fadil akan sangat tersinggung dan takutnya malah akan jadi masalah.
Saat bel sekolah berbunyi, siswa-siswi berebutan ingin cepat-cepat keluar.
"Pulang sama-sama yuk, Fit."
"Kamu duluan saja, Mai. Aku ada keperluan sebentar."
"Keperluan apa emangnya?"
"Ada rapat di ruang panahan terkait O2SN yang tak lama lagi akan berlangsung."
"Oke...oke...kalau begitu, aku duluan ya."
"Oke, Mai."
Setelah mengemas semua barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas, Fitri pun bergegas pergi.
"Mudah-mudahan saja tidak lama, sehingga aku masih sempat untuk membawa Hamdan ke tukang urut."
Ketika sampai di sana tidak ada orang lain kecuali Kak Fadil yang sedang duduk termenung memandang ke arah pintu masuk.
Saat melihat Fitri, matanya langsung berbinar dan senyumnya pun merekah.
"Ternyata kamu benar-benar datang, Fit. Ayo ke sini! Duduk di sini, Fit."
"Terima kasih, Kak."
Fitri memilih salah satu kursi dan duduk di sana.
"Kamu mau makan dan minum apa, Fit? Biar Kakak telpon orang kantin."
"Tak usah lagi, Kak. Aku sedang buru-buru."
Fadil menghela nafas kecewa.
"Baik lah, Fit." Dia menatap wajah Fitri dengan penuh harap.
"Mengenai pesan kamu tadi malam, Kakak ingin bertanya, apa benar kamu yang mengirimnya?Atau handphone kamu sedang di-hack oleh seseorang?"
"Pesan yang mana, Kak?"
"Itu, tentang penolakan kamu itu."
"Itu memang aku yang mengirimnya, Kak karena memang itulah sebenarnya yang terjadi."
Fadil menghela nafas dengan kecewa.
Satu-satunya harapan telah sirna.
"Mengapa kamu menolak cinta, Kak Fadil, Fit? Kakak tahu kamu belum mempunyai pacar, jadi apa salahnya jika kamu memberikan Kakak kesempatan."
"Bagai mana jika kita jalani saja dulu sebuah hubungan, Fit? Jika memang suatu saat nanti tidak cocok dan kamu masih tidak ada perasaan apa-apa terhadap Kakak, ya kamu bebas meninggalkan Kakak, tapi paling tidak kita jalani saja dulu, Fit."
"Mohon maaf, Kak, aku tidak bisa!"
"Tidak mungkin hati aku akan berubah mencintai Kakak karena sedari awal aku memang tidak ada rasa sama sekali dengan kakak."
"Apa kah seburuk itu Kak Fadil dalam pandangan kamu, Fit sehingga Kakak tidak mempunyai kesempatan sama sekali."
"Apa kah menurut kamu, begitu banyak kekurangan yang ada pada diri Kakak?"
"Bagai mana kalau kamu tunjukkan segala kekurangan Kakak dan Kakak pasti akan berusaha untuk memperbaikinya, Fit."
"Tolong berikan Kakak kesempatan, Fit!"
"Hal ini tak ada kaitannya dengan kekurangan atau kelebihan yang ada pada diri Kakak."
"Menurut aku, Kakak adalah tipe cowok yang sempurna dan siapa pun yang nanti menjadi pacar Kakak, pasti dia akan bahagia."
"Persoalannya sekarang adalah sebenarnya aku sudah ada yang punya, Kak."
"Siapa dia, Fit? Fadil langsung menegakkan tubuhnya.
"Kamu jangan berbohong kepada Kakak, Fit! Kakak tahu kamu tidak punya pacar selama ini."
"Jangan hal ini kamu jadikan alasan, Fit! Kamu akan menambah luka di hati Kakak dengan alasan seperti ini, Fit."
"Aku tidak bohong, Kak. Aku mengatakan apa adanya."
"Untuk saat ini kami memang belum pacaran, Kak. Bahkan dia belum tahu akan perasaan aku terhadapnya. Aku harap Kakak bisa mengerti."
Fadil menggigit bibir menahan berbagai pergolakan di hati.
"Kakak mengerti, Fit. Kakak mengerti. Tapi tolong katakan kepada Kakak, siapa kah cowok yang beruntung itu, Fit?"
"Apa kah Kakak mengenalnya? Apa kah dia anak sekolah kita juga? Tolong kenalkan Kakak dengannya, Fit!"
"Maaf, Kak, untuk saat ini aku tak bisa."
Mereka duduk dalam diam. Terasa benar suasana jadi canggung.
Fadil masih termenung sedangkan Fitri gelisah. Waktu terus merambat.
Pikirannya tidak fokus karena teringat Hamdan yang terus menderita menahan sakit.
Pasti dia sedari tadi tertunggu-tunggu kedatangannya.
"Kak..."
"Kak Fadil..."
"Iya, Fit. Ada apa?" Fadil mendongakkan kepalanya.
"Aku pulang dulu ya, Kak. Sudah sore. Nanti Papa dan Mama jadi risau."
"Oke, Fit. Silahkan."
Fadil hanya bisa mencengkeram kursi erat-erat.
Setelah Fitri pergi, dia pun berteriak sekeras-kerasnya di ruangan itu.
Untung saja sekolah sudah mulai sepi sehingga tidak ada yang memperhatikan jeritannya.
Fitri bergegas menuju motornya. Dia berencana langsung ke tempat Hamdan.
Baru saja memasangkan helm, saat handphonenya tiba-tiba berbunyi.
"Ada apa, Ma?"
Ternyata mamanya yang menelpon.
"Kamu di mana, Fit? Ditunggu-tunggu dari tadi belum pulang-pulang juga."
"Ini masih di parkiran Sekolah, Ma. Sebentar lagi mau pulang. Sebelum itu Fitri mau mampir ke rumah kawan sebentar, Ma. Rencananya mau ngantar kawan ke tukang urut."
"Sudah terlalu sore, Fit. Pulang saja langsung. Bilang saja sama kawan kamu itu, besok saja. Tapi kalau dia tak sabar, minta tolong saja kepada kawan yang lain."
"Tentunya kawan dia bukan kamu seorang saja kan, Fit. Pulang sekarang ya. Mama tunggu. Mama tak mau cekcok sama Papa kamu gara-gara tidak bertindak tegas terhadap kamu, Fit."
Fitri hanya bisa menatap layar handphonenya yang gelap karena sambungan telponnya sudah dimatikan oleh mamanya.
"Maafkan aku, Hamdan. Aku tak bisa mengantar kamu sore ini. Seandainya saja kamu punya handphone, jadi kita bisa berkomunikasi dengan mudah."
Setelah menghela nafasnya berkali-kali, akhirnya Fitri menghidupkan motornya dan langsung pulang ke rumah.