Setelah sepuluh tahun, suamiku kembali pulang ke rumah. Dia ingin kembali hidup bersama denganku, padahal dia yang telah pergi selama sepuluh tahun dan menikah lagi karena menuduhku mandul.
Namun, setelah Petra pergi aku justru hamil. Aku merahasiakan kehamilanku hingga putriku lahir. Selama sepuluh tahun aku merawat Bella seorang diri.
Apa yang akan terjadi bila Petra mengetahui kalau Bella adalah darah dagingnya. Apakah aku harus menerima kembali kehadirannnya setelah sepuluh tahun.
Yuk! ikuti kisah dan perjuangan Kayla dalam cerita, Di Ujung Sesal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Gejolak hati.
"Ssshhhh ... sudah, jangan menangis lagi. Kamu sudah aman sayang." Bram mengusap kepalaku, menenangkan hati yang terguncang.
Aku menarik diri dari pelukan, Bram, dan memintanya keluar dari kamar. Aku ingin membersihkan diri dan tidak ingin Bella melihat keadaan diriku seperti saat ini. Bram juga pamit untuk menjemput Alicia dan Bella.
"Kamu tidak apa-apa kutinggal sebentar, Kay? Aku jemput dulu Alicia dan Bella."
"Aku baik-baik saja."
"Oke, aku pergi dulu. Sepertinya mereka sudah menunggu, karena waktu jemput sudah telat." Bram bergegas pergi saat melihat jam di lengannya. Aku menatap kepergian Bram yang menghilang dibalik pintu kamar.
Masih terdengar oleh ku tetangga yang masih berkumpul di halaman rumah ku. Mungkin mereka masih membicarakan kejadian yang baru menimpaku.
Aku segera mandi, beberapa bagian tubuhku terasa sakit dan perih saat kusabuni. Entah apa yang merasuki hati Petra, hingga ia nekad hendak menodaiku. Mana dia lakukan dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh alkohol.
Aku juga heran bagaimana dia tahu hubunganku dengan, Bram. Apakah selama ini menguntitku dari kejauhan. Mengamati setiap gerak gerikku dan keseharianku bersama, Bella?
Jika benar dugaanku, berarti Petra menghilang dan tidak pernah lagi menggangguku terutama muncul di sekolah Bella hanya karena segan berhadapan dengan, Bram. Secara Bram adalah atasannya. Tentunya dia tidak ingin berpapasan dengan Bram, yang nantinya akan menimbulkan kecurigaan, Bram, padanya.
Bisa saja semua itu membuatnya cemburu dan memicunya bertindak nekad. Ah, andai saja aku lebih siaga saat melihat sinar matanya saat baru datang tadi. Aku memang sudah curiga melihat gelagatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi aku mengentaskan semua firasat buruk itu.
"Kayla, kamu baik-baik saja?" tiba-tiba aku mendengar suara pintu kamar digedor. Astaga! Itu suara Bram yang penuh rasa khawatir. Aku segera tersadar ternyata belum selesai mandi, karena fikiranku yang fokus pada, Petra.
Aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dan mengenakan kimono mandi. Dengan langkah agak terseret aku membuka pintu kamar.
"Kay, kamu baru selesai mandi? Astaga, Kay, kamu menggigil. Ngapain saja kamu di kamar mandi." Bram memegangi tanganku yang dingin dan aku juga baru menyadari kalau tubuhku menggigil.
"Mana Bella?" ucapku bergetar. Aku tidak ingin Bella melihat keadaan mamanya saat ini.
"Bella dan Alicia di rumahku. Bibi Mirah yang menjaga mereka. Kayla!" seru Bram makin panik saat melihat tubuhku bergetar hebat. Mulutku sampai mengeluarkan suara gemerutuk yang hebat. Aku tidak bisa mengendalikan tubuhku saking dinginnya.
Bram, membopong tubuhku ke atas tempat tidur. Menyelimuti tubuhku dengan selimut, mengeringkan rambutku yang masih basah. Memelukku, seraya menggosok-gosok jemariku dengan tangannya. Mencoba mengalirkan hangat tubuhnya. Sementara aku meringkuk dalam selimut, mencoba melawan hawa dingin. Tulang-tulangku terasa kejang dan sakit sekali.
"Kay, minum ini dulu," Bram menyodorkan segelas teh hangat. Suara gigiku beradu dengan gelas saat aku menyeruput teh hangat. Seteguk dua teguk, teh hangat itu mengaliri kerongkonganku. Perlahan rasa hangat mulai menjalari tubuhku.
"Maafkan aku, Kay. Tak seharusnya tadi aku meninggalkanmu." Bram merasa bersalah dan tidak henti mengusap wajahku yang masih dingin. Berkali-kali pipinya dia tempelkan kewajahku untuk mengalirkan hawa panas tubuhnya.
Bram tidak bisa menyembunyikan kepanikannya sendiri. Membuatku terharu dengan semua perhatiannya. "Aku tidak ingin kehilangan kamu lagi, Kay. Aku mohon kuat lah, seperti selama ini kamu telah bertahan dalam kesakitanmu." guman Bram ditelingaku.
Tubuhku yang masih berada dalam pelukannya, dan dalam balutan selimut tebal, perlahan mulai berangsur hangat. Seperti seorang bayi kecil saja aku dalam dekapannya. Sekian lama aku mengatasi kesakitan dan bergumul dalam setiap masalahku seorang diri, dan kuat karena memang harus kuat.
Namun, saat ini hatiku rapuh sekali. Aku memang butuh lebih dari apa yang aku rasakan saat ini. Diperhatikan, dilindungi yang membuatku merasa nyaman. Hal yang telah lama tidak pernah lagi aku dapatkan. Sepertinya Bram, telah melengkapkan semua itu. Aku jadi ketakutan sendiri akan perasaan yang menyergapku. Akankah aku bisa bertahan jika Bram, pergi dari sisiku?
Tanpa aku sadari aku semakin merapatkan tubuhku dalam pelukannya. Bram juga semakin memelukku saat aku menggeliat, karena mengira aku masih kedinginan. Hingga aku merasakan kantuk datang menyerang, dan perlahan aku tertidur dalam pelukan hangatnya.
Entah berapa lama aku tertidur, aku terjaga saat merasakan perutku melilit perih. Kubuka mataku, ternyata aku masih ada dalam pelukan Bram. Bram juga tertidur dalam posisi duduk bersandar ke kepala tempat tidur.
Dari bawah wajahnya aku memandangi Bram dengan seksama. Rahang tegas yang ditumbuhi bulu hitam dan aku rasakan tadi agak kasar menusuk wajahku. Hidung mancung disertai sepasang alis lebat. Sangat sempurna sekali lukisan Tuhan diwajahnya.
Aku menggeliat, mencoba melepas selimut yang membelit tubuhku. Aku bergerak halus agar Bram tidak terjaga. Perlahan aku bisa melepaskan tubuhku dari pelukan, Bram. Tapi mendadak semua gerakanku terhenti saat mendengar Bram mengigau
"Kirana, jangan pergi. Aku mohon, tinggallah lebih lama."
Deg!
Kirana?
Siapa dia?
Apakah dia istri Bram? Selama ini Bram tidak pernah menyebut nama mendiang istrinya. Tapi dari cara ucapannya itu, sepertinya Bram, bermimpi pada istrinya. Lama aku tertegun, kutatap wajah yang menyiratkan kelelahan juga.
"Bram, bangun. Kamu bermimpi, ya?" Aku mengusap wajah kasar yang ditumbuhi brewok itu, lembut. Bram membuka matanya perlahan. Balas menatapku masih setengah sadar.
"Kay, kamu sudah bangun. Eh, aku malah ikutan tidur." Bram merubah posisi duduknya. "Maaf aku malah ketiduran." Bram memegang telapak tanganku yang menyentuh wajahnya.
"Aku yang seharusnya minta maaf, telah menyiksamu tidur dalam posisi tidak nyaman seperti itu."
"Eh, aku 'kan harusnya menjaga kamu, malah ikutan tidur. Bagaimana, kamu tidak menggigil lagi?" ucap Bram meraba wajahku. Sontak aku merasakan dadaku berdebar. Belum lagi posisi kami yang hampir tidak ada jarak. Aku bisa melihat netranya dengan jelas. Sepasang mata coklat yang meneduhkan hatiku.
Aku menunduk, tidak mampu lebih lama menatapnya, berpura-pura melepas selimut yang masih membelit separuh tubuhku.
"Sudah mendingan, perutku kini yang bermasalah aku lapar." kekehku malu.
"Ya, ampun ini sudah sore, Kay. Wajarlah kamu lapar." gelaknya, "aku ambilkan ya."
"Tidak usah, biar aku saja yang siapkan." Aku segera berdiri tapi sial kaki ku masih terbelit selimut. Saat mau turun dari tempat tidur hampir saja aku terjungkal. Untunglah Bram, dengan sigap menangkap tubuhku.
"Hati-hati, Kay." tetiba tubuhku terjatuh dalam pelukannya. Aku sangat kaget terlebih wajah kami berhadapan nyaris tanpa jarak. Aku menelan salivaku dengan susah payah. Dan berusaha meronta, tapi kungkungan mata Bram, membuatku seolah terhipnotis. Bukannya meronta malah melenguh tanpa daya.
Entah siapa yang memulai, aku merasakan sentuhan bibir Bram di mulutku. Memilin bibirku dengan hangat. Seolah kena aliran listrik, entah berapa daya, aku terkejut. Seluruh tubuhku bergetar hebat lagi. Bukan karena kedinginan, tapi oleh rasa hangat yang membasuh seluruh hatiku. Rasa yang telah lama hilang, berbalut desah yang merindu dari dua gejolak yang telah lama terpasung. ***