Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ellison menahan pipinya yang memanas, terasa seperti terbakar, tapi ia tidak membela diri. Di dalam benaknya, ia merasa pantas mendapatkan perlakuan ini.
Tiba-tiba, suara Dokter Adira memecah keheningan. "Rena!," pekiknya, suaranya tegas. "Bukan sepenuhnya salah Ell. Kendalikan emosimu, Rena. Ell juga sama menderitanya seperti Uin."
Air mata mulai membasahi wajah Renata. Dengan kedua tangannya yang gemetar, ia menutupi wajahnya.
"Aku gagal menjaga Non Vale," gumamnya perlahan.
Dokter Adira mendekat, menawarkan dekapan yang menghangatkan. "Ini bukan salah siapa-siapa, Rena. Jika Queen tahu kamu begini, dia akan lebih sedih. Tenanglah," bisik dokter Adira.
Renata mengangguk lemah dalam pelukan itu.
"Masuklah, Ell. Dia sangat membutuhkanmu sekarang," ujar dokter Adira lembut.
"Terima kasih, Bunda," kata Ellison pelan.
Langkahnya terhuyung, setiap detak jantungnya terasa tidak karuan. Saat ia melihat gadisnya terkulai lemah di atas ranjang, tubuhnya terpaku. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras—marah pada diri sendiri.
Ellison melangkah perlahan menuju Queen yang terbaring di ranjang. Ia duduk di tepian, matanya tak bisa lepas dari wajah gadis itu yang meski tergores cakaran, masih terlihat cantik.
Tangan Ellison yang gemetar perlahan mengambil tangan Queen, ia menundukkan kepala dan mengecup punggung tangan gadis itu.
"Maaf," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, tangannya masih menggenggam tangan Queen.
Pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang Queen peluk erat – sebuah foto dirinya.
"Itu yang selalu membantunya," terdengar suara Renata yang lembut. "Setiap penyakitnya kambuh, kami menunjukkan foto Anda dan ajaibnya dia langsung tenang," lanjutnya, menjelaskan dengan tenang saat melihat kebingungan di wajah Ellison.
"Pengaruh anda sangat besar, tuan muda." tambah Renata, matanya berpindah ke arah boneka beruang putih besar di sudut kamar.
"Dan boneka itu, dia peluk saat merindukan anda."
Ellison meraih boneka itu, jemari-jemarinya menelusuri bulu putih yang lembut. Sebuah memori manis menghantui pikirannya, saat dialah memberikan boneka itu kepada Queen di ulang tahunnya yang ke-enam.
Mereka berdua menamakan boneka itu Dubby.
"Terima kasih... selama ini kamu udah jaga Uin-ku, pas aku jauh darinya," Ellison berbisik pada boneka kesayangan Gadisnya sambil mengelus lembut kepala boneka tersebut.
Tiba-tiba, Queen menggeliat dalam tidurnya, perlahan matanya terbuka, menatap Ellison dengan mata sayu.
"Hei," panggil Ellison, merapikan helaian rambut yang menutupi wajah gadis itu.
Tidak ada respons dari Queen hanya tatapan kosong yang terhujam pada Ellison.
Seketika, Queen bangkit dan dengan cepat memeluk tubuh Ellison dengan sangat erat.
Ellison, yang tadinya terkejut, kini meresapi pelukan tersebut.
Dalam dekapan itu, Queen terisak, wajahnya tersembunyi di dada Azgara. "Kak Ell jahat... Kak Ell jahat banget sama Uin," gumam Queen berulang-ulang.
Ellison mendengarkan, setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Dia tak pernah menangis, kecuali saat kematian kakeknya dan Uin-nya, sekarang dia kembali menangis karena gadis yang begitu dia rindukan itu.
Ellison mempererat pelukannya pada Queen, rasa penyesalannya terpancar dari setiap kecupan yang ia berikan di puncak kepala gadis itu.
"Maaf... Maaf... Maaf Uin," bisiknya berulang, seraya keningnya mengernyit, mencerminkan beban kesalahan yang ia rasakan.
Pelukannya tidak berkurang meskipun ia tahu, telah sepuluh tahun ia merindukan momen seperti ini. Ia memejamkan matanya, menyerap setiap detik kehangatan yang lama hilang.
Di sudut ruangan, Renata, Dokter Adira, dan seorang pelayan yang masih bertahan menonton, tersenyum melihat pasangan itu menyembuhkan luka lama, meski Queen mungkin tak akan ingat saat terbangun.
Tiba-tiba Dokter Adira mengubah suasana dengan suara seriusnya. "Nak Ell, ada sedikit masalah dengan Queen," ucapnya, membuat Ellison mengerutkan dahi tanpa mengurai pelukannya.
"Apa itu, Bunda?" tanyanya, rasa khawatir mulai menggantikan rasa senang sebelumnya, namun masih dengan kedua tangan mengusap rambut gadis itu.
Ellison merasakan beratnya pandangan semua orang yang berada di ruangan tersebut.
Renata dengan nada serius menjelaskan, "Nona muda akan sangat terkejut melihat rambutnya,"
"Setiap dia menyisir rambutnya dia selalu tersenyum bangga, karena kak Ell-nya sangat menyukai gadis berambut panjang." ujarnya sambil menghela nafas.
Dokter Adira memperkuat pendapat Renata "Di kondisi ini, dia akan semakin terpukul jika melihat rambutnya."
Ada rasa khawatir di wajah Ellison yang terbaca jelas.
Renata terus mengusulkan, "Sebaiknya kita rapihkan rambutnya sebelum dia sadar. Bagaimana, tuan muda? sebenarnya kejadian ini sering terjadi,tapi kami sama sekali tidak berani menanggungnya, termasuk tuan besar hanya bisa membiarkan nya."
Seluruh mata tertuju pada Ellison, menunggu keputusannya. Queen memang selalu menjadi tanggung jawabnya sedari kecil.
Dengan suara tegas namun datar, Ellison berkata, "Lakukan."
Seolah kata itu adalah komando mutlak, ruangan langsung hening. Renata bertindak cepat, memerintahkan seorang pelayan, "Panggil Lilly, dia yang akan memotong rambut nona muda."
Pelayan itu mengangguk kuat dan segera bergerak, "Baik, Rena."
Queen semakin mempererat pelukannya pada tunangannya, menikmati setiap detik kedekatan yang mereka bagikan. Dalam pelukan itu, dia merasakan kehangatan dan keamanan yang tidak ingin ia lepas.
Sementara itu, Lily, dengan gerakan cepat namun teliti, mengatur guntingnya untuk memotong rambut Queen yang panjang.
"Rambut nona akan saya pendekkan sampai sebahu dengan potongan layer. Setuju?" ucap Lily sambil melirik ke arah Ellison yang hanya memberikan anggukan setuju.
Dengan keahlian yang dimilikinya, Lily segera menuntaskan potongannya. Kini, Queen tampak segar dengan gaya rambut barunya.
Ellison, dengan rasa terima kasih yang mendalam, mengelus lembut rambut Queen dan berkata, "Terima kasih, Lily."
"Sama-sama, tuan muda," sahut Lily dengan senyum sumringah.
Ellison kemudian membantu Queen berbaring kembali di tempat tidur sambil masih memegang tangannya dengan erat.
"Bunda!" panggilnya lembut, mencari sosok itu di kejauhan.
Adira mengerutkan dahi saat Ellison memanggilnya dengan wajah yang dibayang-bayangi kekhawatiran.
"Kapan dia akan bangun, Bun?" tanya Ellison. Sambil mengamati Queen yang terbaring lemah.
Adira berusaha memberikan perkiraan. "Biasanya sekitar tiga jam atau lebih, namun melihat kondisinya sekarang, mungkin dia baru akan sadar besok pagi," jawabnya lembut.
Ellison, yang mendengarkan dari samping, tampak semakin cemas. "Apakah pingsannya ini menandakan dia menderita?"
Adira menggeleng cepat, berusaha menenangkan. "Tidak, Ellison. Ini hanya cara tubuhnya melepaskan kelelahan sebelum kondisinya memburuk," jelasnya sambil menepuk-nepuk bahu Ellison.
"Dia akan baik-baik saja. Biasanya, dia tidak akan mengingat momen-momen buruk seperti ini. Besok, dia akan kembali ceria. Jadi, tidak perlu khawatir berlebihan," lanjutnya dengan nada meyakinkan.
Ellison mengangguk perlahan. "Baik, Bun."
Setelah berkata demikian, Adira dan Renata perlahan meninggalkan kamar, meninggalkan Ellison yang tenggelam dalam renungan.
pemuda itu menatap Queen dengan penuh kasih, kemudian merebahkan tubuhnya di samping tunangannya. Dia menaruh tangan kirinya di belakang kepala Queen dan dengan lembut mengangkat kepala gadis itu agar berbaring di atas dadanya yang bidang.
"Selamat malam, kesayanganku," bisiknya lembut. Setelah itu, Ellison mencium kening Queen dengan penuh kasih sayang, sebelum ia sendiri tenggelam dalam alam mimpi.
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Di dalam kamar, pasangan muda itu masih terlelap dalam pelukan erat, meresapi kedamaian bersama.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka lebar, memperlihatkan sosok seorang pria paruh baya. Raut wajahnya campur aduk, ia baru saja pulang dari luar negeri, didorong oleh kerinduan untuk melihat kondisi putrinya.
Di tengah keheningan kamar yang semarak dengan hembusan nafas Queen yang lembut,
Ellison terjaga dari lelapnya. Matanya menyapu ruangan dengan cahaya redup yang sengaja diredupkan demi kenyamanan tidur. Tak jauh dari ranjang, dia melihat sosok Mario yang tersenyum hangat ke arahnya.
"Ayah sudah pulang?" bisik Ellison dengan suara serak.
"Baru saja," sahut Mario lembut. "Kekhawatiran membawaku kemari, tapi ternyata ada berkah terselubung yang kutemukan di sini," lanjutnya sembari memberikan tatapan penuh arti kepada Ellison.
Senyum kecil menghias wajah Ellison saat Mario, yang duduk di sisi lain ranjang, melontarkan gurauan ringan.
"Maaf ayah," kata Ellison seraya menatap ke arah Mario dengan tatapan yang serius. "aku telah membentaknya.
Mario merespons dengan senyuman lebar. "Gak apa-apa, enggak ada yang patut disalahkan disini,"
"Mau bicara dengan Ayah?" Tawar Mario.
Ellison mengangguk pelan menjawab ajakan Mario, jujur dia sangat ingin mengetahui kehidupan gadisnya selama sepuluh tahun yang lalu, bagaimana di bisa hidup dengan banyak tekanan dari penyakitnya.
"Ayah tunggu dibawah"
Ellison menghela nafas dan memandangi wajah teduh gadisnya, " Aku pergi dulu sebentar, tidur yang nyenyak ya! " Gumam Ellison sembari mendaratkan satu kecupan lagi dikening Queen.