Di Ujung Sesal
Hai, jumpa kembali di cerita baru, Mak.
Yuk! Ikuti kisah Kayla
Happy reading!
Aku memutar anak kunci saat terdengar ada ketukan di pintu. Sejenak aku ragu untuk membuka pintu, siapa yang datang bertamu menjelang malam begini? Aku tidak ada janjian dengan seseorang. Karena penasaran akhirnya kubuka pintu untuk tamu itu.
Klik!
Sesosok tubuh berdiri dibalik pintu. Dengan seulas senyum merekah memperlihatkan deretan giginya yang putih, rapi.
Aku menatap seraut wajah dengan terpana! Kaget plus tak percaya! Ku kedipkan mataku berkali-kali meyakinkan diriku kalau aku telah salah penglihatan.
Namun, wajah itu tidak menghilang! Senyum itu malah makin lebar. Kucubit tanganku diam-diam kali aja aku memang tengah bermimpi. Terasa sakit. Aku tidak sedang bermimpi!
Lalu.
Hatiku, tiba-tiba seolah disiram dengan air asam. Perih! Hati yang luka oleh sikap lelaki di hadapanku ini beberapa tahun yang lalu. Ingatanku terhempas ke masa lalu. Menyingkap luka yang parutannya belum sembuh juga meski bertahun-tahun telah terlampaui.
“Mau apa kamu kemari?” ucapku lirih nyaris tak terdengar karena syok. Persendianku seolah dilolosi melihat wajah yang sepertinya tidak merasa bersalah itu, berdiri dengan angkuh. Atau tepatnya penuh percaya diri.
Setelah sepuluh tahun, buat apa dia datang kemari. Ingin melihat sehancur apa hidupku setelah kepergiannya? Huh! Tidak akan! Kamu tidak akan bisa melihat itu di wajahku, Petra! Dengus batinku penuh gejolak amarah. Darahku perlahan naik ke ubun-ubun, tapi pikiranku masih cukup waras untuk tidak terpicu emosi.
“Apa kabar Kayla? Boleh aku masuk?” Petra maju selangkah karena aku tidak mempersilahkannya masuk. Tubuhku berdiri tegang di bingkai pintu. Aku menahan nafas! Deru nafasku tersenggal menahan amarah.
Namun, aku berusaha mengontrol emosiku, jangan sampai meluap. Bila hal itu terjadi, akan menarik perhatian para tetanggaku.
“Katakan saja apa maumu.” Aku tak bergeming. Petra malah melangkah lagi, jika aku bertahan kulit kami akan bersentuhan. Spontan aku mundur satu langkah, tatap mataku menyorot tajam karena tak suka tindakan nekatnya.
Karena ada celah, Petra melangkah masuk dan duduk di sofa tanpa dipersilahkan. Sikap tidak sopannya itu membuatku muak. Karena memaksa masuk tanpa izinku.
Aku tetap berdiri di pintu. Berharap dia sadar kalau aku tidak suka menerima kedatangannya. Seperti sikapnya dulu yang terkadang tebal muka, kali ini masih juga dia perlihatkan di hadapanku. Tidak berubah sama sekali.
“Aku mau bicara padamu, Kayla. Duduklah, kita bicara baik-baik.” Ungkapnya santai tanpa beban. Menepuk sofa dan menyuruhku duduk di dekatnya.
Hatiku makin geram melihat sikap Petra yang menurutku tidak tahu diri. Sudahlah memaksa masuk rumahku, malah menyuruhku duduk di sisinya seolah kami adalah dua sahabat akrab. Padahal dia adalah mantan suamiku yang pergi meninggalkan aku dan anakku sepuluh tahun yang lalu. Ah, dia tidak pernah tahu keberadaan Bella. Dia juga tidak pernah melayangkan surat cerai.
Rasa percaya dirinya itu sungguh aku benci! Dan aku menganggapnya muka bebal.
Entah apa maksud kedatangannya. Mengingat kami yang telah berpisah sekian lama. Meski tidak ada secarik kertas pun yang menandai kalau kami telah berpisah. Tapi kepergiannya sepuluh tahun lalu sudah cukup menyatakan kalau kami bukan lagi sepasang suami istri. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu dia pergi meninggalkan aku, dan masih berani muncul hari ini dihadapanku. Sungguh tidak tahu malu.
Dia lelaki paling pengecut sedunia, dengan menggantung statusku. Disebut istri bukan, mantan istri juga bukan. Selama ini s tatusku itu tidak pernah aku pusingkan. Karena menurutku kepergiannya telah melegakan hidupku dari siksaan seorang suami. Aku merasa telah bercerai atau diceraikan.
Namun, siapa sangka dia datang kembali menjumpaiku, meskipun aku belum tau apa tujuannya datang ke rumah ini.
Dia pergi hanya meninggalkan secarik kertas di atas nakas kala itu. Dia pamit mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku tidak perlu mencarinya atau menunggunya. Hingga aku mendengar khabar kalau dia telah menikah kembali. Setelah tiga bulan dia pergi.
“Tidak ada hal yang perlu kita bicarakan lagi. Bukankah sudah jelas kalau diantara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.” Aku menohoknya dengan sindiran tajam.
“Tapi aku tidak pernah menceraikan kamu, Kayla.” Aku menatapnya nyalang atas ucapannya yang menggelikan itu.
“Lantas kemana saja kamu sepuluh tahun terakhir ini? Kamu sungguh naif!” Dengusku berang.
“Maafkan aku, tapi jujur aku tidak bisa melupakan kamu.” Hampir saja aku tergelak sepuasnya mendengar ucapan gila itu. Dia merindukan aku katanya, tapi dia datang setelah sepuluh tahun. Dasar bajingan! Spontan tanganku mengepal dan ingin menghajarnya.
“Oh, apakah sepuluh tahun ini kurang cukup bukti untuk menandaskan kalau kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Apakah kamu sebodoh itu sampai tidak bisa menarik benang merah diantara kita!” Hardikku dengan nafas tersenggal.
Petra menundukkan wajahnya, sepertinya kata-kataku berhasil melumpuhkan hatinya atau dia hanya sengaja diam agar amarahku tidak semakin meledak.
“Bicaralah, aku beri waktu lima menit.” Aku memberi ultimatum. Mengawasi gerak geriknya dengan siaga. Aku berharap Bella tidak pulang segera dari rumah temannya. Dia sedang ada tugas belajar dengan teman sekolahnya di rumah tetangga. Jarak lima rumah dari tempatku.
“Tapi ….” Petra tidak melanjutkan ucapannya.
“Atau tidak akan sama sekali. Pergilah!” Ucapku tegas. Aku tidak akan bisa distirnya lagi. Aku bukan lagi Kayla sepuluh tahun lalu, yang lemah dan penurut bahkan bodoh!
Aku sempat melihat sorot tak percaya di mata, Petra. Entah apa maknanya, atau bisa saja dia kaget melihat reaksiku.
“Apa khabarmu Kay?” ucapnya basa-basi.
“Seperti yang terlihat,” sahutku dingin.
“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” ucapnya karena aku masih berdiri di pintu.
“Lima menit mu sudah habis,” kataku mengingatkan. Entah hitunganku salah atau tidak. Aku asal menebak saja. Cara halusku mengingatkannya.
“Masih tiga menit,” sahutnya konyol. Ingin rasanya aku melempar anak kunci di tanganku ke arahnya. Bisa-bisanya dia sesantai itu menghadapi sikap dinginku.
“ Sekarang sudah pas. Pergilah! Aku tidak ingin tetanggaku mengira macam-macam karena menerima tamu lelaki di jam seperti ini.
“Tapi ini belum terlalu malam.”
“Ingat, kamu bukan siapa-siapaku. Kamu hanya kebetulan mantan suamiku. Semuanya sudah selesai diantara kita. Jangan berharap lebih dari itu.” Bentakku, membuka daun pintu lebar-lebar.
“Baiklah. Mungkin kedatanganku bukan waktu yang tepat. Besok siang aku datang lagi.” Petra bangkit dari sofa melangkah ke arahku. Saat di depanku dia menatapku dalam-dalam entah apa yang tersirat di hatinya jelas aku tidak tau dan tidak mau tau.
“Sebaiknya jangan datang lagi. Kita sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi. Jangan seenakmu mau datang dan pergi.” Aku berucap tajam, tidak peduli apa reaksi Petra mendengar kata-kataku. Sungguh, aku tidak ingin dia tahu kehidupanku selama sepuluh tahun terakhir ini. ***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
lindsey
kenapa kayla ga gugat cerai aja si suami laknat itu ? 10 thn ninggalin lho. untuk masa 6 bulan aja jika suami ninggalin istri anak dan tidak memberi nafkah lahir bathin itu udah bisa dengan mudah gugat cerai.
2024-03-11
3
Cidaha (Ig @Dwie.author)
Bagus Kayla, kau harus tegas pada manusia tidak punya hati itu. Meskipun belum tau POV si suami brengsekk, tp tetap saja 10 thn itu bkn waktu yang sebentar untuk memeluk luka dlm kesendirian.
2024-03-06
2
Irma
wah seru nih semangat Thor
2024-03-03
1