Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
empat
Jam pelajaran ke enam diisi dengan mata pelajaran bahasa Jepang, jelas membuat siapa saja yang berada di dalamnya muak sendiri mendengar guru yang mengajar di depan. Bahkan bagi Kania, lebih baik dia belajar aksara Sunda yang jauh lebih mudah dibandingkan tulisan tidak terbaca yang ditorehkan dulu di papan tulis.
"Dia ngomong apa sih?" Laras menggerutu pada akhirnya. Ia sudah berkali-kali membolak-balikkan kertas putih di hadapannya, tapi tidak kunjung mendapat jawaban dari segala ucapan guru bahasa di depan sana.
Kania yang menyangkut dagingnya dengan telapak tangan kanan itu menghilangkan kepala pelan. Kedua matanya sedang berusaha sekuat mungkin untuk tidak tertutup rapat. Bahkan ia berusaha untuk tidak mengedip, karena berkedip sekali saja akan sulit untuk terbuka lagi.
"Permisi, sensei."
Suara berat yang memasuki telinga Kania, membuat gadis itu tersadar seketika. Sudah siang hari seperti ini biasanya dia selalu mengantuk, tapi Tuhan baik mengirimkan pangeran yang tampan tiada tara di hadapannya sekarang sehingga kantuknya hilang seketika.
Laras berdetak ketika menyadari raut wajah kantukannya sudah berubah 180 derajat menjadi wajah yang penuh semangat. Apakah melihat Karel adalah sebuah kebahagiaan tiada tara bagi Kania?
"Dasar kuntilanak, melihat Karel aja lo langsung seger!"
Kania cengengesan." Pangeran gue-"
Tatapan Kania terus terpaku pada laki-laki tampan itu, dia kembali menyangga dagunya dengan kedua telapak tangan dan menetapkan kagum laki-laki itu. Ah, semakin hari Karel terlihat semakin tampan.
"Karel, Sania titip salam!"
Sebuah suara yang seketika mendominasi kelas itu berhasil membuat gania sadar akan lamunannya dan berdesis. Sania ,Sania dan Sania. Terus saja seperti itu! Bahkan di saat teman kelasnya tahu tentang perasaannya pada Karel, tetap saja mereka tidak memperdulikan perasaannya. Seakan dirinya tidak terlihat di sini.
"Mulai, jangan bad mood gini dong!" Ujar Laras ketika melihat raut wajah Kania yang sudah berubah.
"Bodo amat! Gue udah sebel!" Kania bangkit dari duduknya, mengantongi benda yang sempat ia taruh di kolong mejanya dan membuat Laras mendesah pelan.
"Sensasi, saya izin ke toilet!" Kania meminta izin pada gurunya dengan nada sedikit ketus. Persetan jika Karel mendengar cara bicaranya pada guru itu, Kania sudah malas dengan kelasnya hari ini.
"Kania!" Guru bahasa Jepangnya kembali memanggil namanya."Kamu harus ingat setiap pelajaran saya, harus menggunakan bahasa Jepang untuk izin!" Ujar wanita itu menggunakan bahasa Jepang.
Kania mendesah." Maaf, tapi jangan saya ngomong aja saya nggak ngerti," balasnya dengan santai, kemudian berlalu begitu saja. Bukannya tidak peduli jika nantinya ia tidak diizinkan lagi untuk mengikuti pelajaran bahasa Jepang, Sania sudah berhasil menghancurkan suasana hatinya saat ini.
Kania melangkah pasti menuju taman belakang sekolah. Tempat yang hanya berani didatangi oleh beberapa orang saja dan salah satunya adalah Kania. Bisa diakui, dia satu-satunya perempuan yang berani datang ke tempat ini. Karena selain berantakan dan kadang menimbulkan bau yang tidak sedap, banyak yang bilang jika taman belakang sekolah ini ada penunggunya. Ah, bagi Kania, mereka semua adalah teman. Terbukti dengan dirinya yang tidak pernah merasa terganggu selama ini.
"Eh, Fabian-"Kania memerankan langkahnya saat sosok Fabian terlihat jelas sedang bersimpuh pada kursi taman dengan selinting rokok yang terimpit di kedua jari laki-laki itu. Kania tersenyum kikuk, kemudian melangkahkan kakinya untuk menduduki sebuah tumpukan batu bata yang tercermin rapi itu.
Fabian tersenyum kecil melihat kedatangan Kania." Lo ngapain di sini, Nia?" tanyanya basa-basi. Padahal tanpa bertanya pun, dirinya jelas sudah tahu maksud kehadiran Kania di sini. Apalagi kalau-Kania mengeluarkan kotak rokoknya-nah sesuai tebakan gadis itu pasti akan menghisap benda itu di sini.
"Lo bolos juga, Yan?"Kania membuka kotak rokoknya, kemudian mengambil sebatang rokok.
Fabian mengangguk, laki-laki itu memperhatikan Kania yang baru saja menyalakan api dan membakar ujung rokok yang berada di tangannya." Lo nggak ada niatan buat berhenti, Nia?"
Dari berbagai macam temannya yang memanggilnya dengan nama Kania, maka hanya Fabian yang memanggilnya dengan sebutan Nia. Hal itulah yang bisa memudahkan Kania mengenali suara Fabian sejauh ini. Anggap saja panggilan itu sebagai panggilan sayang dari Fabian untuknya.
Kania mengolah senyum tipis kemudian menatap pada rokok yang baru saja ia hisap. Ia menjilat bibirnya yang terasa manis. "Pada saatnya gue akan berhenti-"Kania menggantungkan ucapannya. Gadis itu terkekeh singkat, di saat tidak ada satupun hal lucu yang menghampirinya. Itu hanya sebagai acuannya supaya orang lain menganggap dirinya baik-baik saja." Tapi nggak sekarang,"selanjutnya kembali menghisap benda itu.
"Nia,,,"Fabian bertanya-tanya dalam benaknya. Dirinya sudah mengenal Kania sejak Sekolah Menengah Pertama, selama itu dia selalu menampilkan senyum lebarnya bahkan tidak segan mengeluarkan tawa di saat tidak ada hal lucu sekalipun. Tetapi saat mengenal Kania yang menyukai Karel, sangat sulit bisa melihat senyum Dan tawa lepas yang dulu selalu ditunjukkan gadis itu. " Lo bisa cerita apapun sama gu-"
"Emangnya lo guru konseling?"tanya Kania dengan santai. Gadis itu tidak mau Fabian menganggapnya menyimpan beban berat sampai membutuhkan teman cerita. Selama dirinya hidup, ia banyak belajar dari sekitarnya. Seberat apapun masalahnya, dia percaya orang lain memiliki beban yang sama. Hanya saja masing-masing orang menghadapi beban itu dengan cara seperti apa, dan bagi Kania menceritakan kisah hidupnya hanyalah menambah beban bagi orang lain, dan dirinya tidak mau itu.
Fabian mengepulkan asap putih dari mulutnya, menetapkannya dengan senyuman kemudian terkekeh."lo itu emang cewek paling kuat ya!" Balasnya yang tidak mau memaksa Kania untuk bercerita.
"Tapi katanya lo mau jadi ceweknya Karel-"
"Tentu aja mau!" Kania membalas dengan semangat sebelum Fabian menyelesaikan ucapannya.
"Tapi Karel gak suka cewek yang ngerokok.."
Kania mengangguk pasti." Nggak ada cowok yang suka ceweknya ngerokok kan?" Tanyanya dengan alis terangkat." Lo juga pasti kayak gitu." Tebaknya.
Fabian terkekeh."selagi lo berusaha mau berhenti, gue yakin Karel bisa ngelihat lu pelan-pelan."
"Tapi Karel sayangnya sama Sania, Yan, bukan sama gue."Balas Kania. Bahkan ia bisa menampilkan senyumannya setelah pergi dari kelas karena ulah dua orang itu. Ah, ralat, tidak ada yang Karel dan Sania lakukan, melainkan teman-teman kelasnya yang memang menyebalkan."gue akan mulai berhenti kalau dia yakin balas perasaan gue."
Fabian kembali mengulas senyumnya, lebih tepatnya senyum getir yang bisa Kania mengerti dalam detik selanjutnya."kita sama-sama sakit cuma untuk melihat orang yang kita sayang bahagia."lirihnya seraya menatap sepatunya sendiri.
Fabian benar. Ia rela sakit hati hanya untuk melihat Karel bahagia dengan Karina dan Fabian sendiri rela sakit hati hanya untuk melihat Sania bahagia dengan Karel.
"Lo tau apa yang paling menyakitkan?" Fabian bersuara, kemudian melempar tatapan penuh senyuman pada Kania.
"Apa?"
"Menerima kenyataan bahwa orang yang mencintai Sania adalah sepupu gue sendiri, itu yang paling menyakitkan buat gue."Fabian bersuara pelan lalu menghisap rokoknya kembali. Berusaha menelan asap yang mulai terasa penuh di dalam mulutnya, kemudian menghembuskan sisa asap yang masih berdiam diri di dalam mulutnya dengan perlahan
"Gue harus belajar merelakan kebahagiaan orang yang gue sayang dengan sepupu gue sendiri."Fabian menggantung ucapannya. Ia menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang bersandar pada ujung bahu kanan dan kedua kakinya yang terseluncur ke arah depan juga kepalanya yang mendongak ke atas." Rasanya berat banget, Nia..."
Kania lebih dulu berdesis, ia bangkit dari duduknya. Melangkah menuju Fabian dan memaksa laki-laki itu untuk memberi sedikit ruang untuknya duduk di sebelah laki-laki itu. "Kenapa siang-siang begini harus melow si?!"
Fabian terkekeh." Lo keluar dari kelas juga paling gara-gara mikirin Karel," tebak Fabian yang bisa dibilang benar. Tapi alasan sebenarnya adalah teman-temannya yang membawa nama Sania di hadapan Karel lah yang membuatnya pergi dari kelas.
Kania mendongakkan kepalanya, melakukan hal yang sama dengan apa yang baru saja Fabian lakukan. Gadis itu memejamkan matanya, menghalangi sinar matahari yang menusuk kedua matanya.
"Gue lebih suka belajar mencintai Karel dibanding belajar bahasa Jepang."
Ucapan Kania yang terdengar seperti candaan itu Fabian sambut dengan kekehan. Laki-laki itu menepuk pelan bahu Kania, kemudian tersenyum lebar.
"Yang namanya usaha tidak akan pernah menghianati hasil, kan? Kata orang-orang sih begitu."
Kania mengangguk, kemudian menoleh pada Fabian yang masih setia menatapnya dengan senyuman.
"Tapi yang namanya jodoh nggak bisa kita atur sendiri kan?"
Dan saat itu Fabian tergelak. Sampai saat ini, segala sesuatu tentang cinta bukanlah hal yang bisa dia mengerti dengan mudah. Ibaratnya seperti pelajaran olahraga yang tidak bisa dimengerti menggunakan teori saja.
Mengenai jodoh, Fabian angkat tangan. Karena dirinya tidak tahu apa yang sedang dirancang sang pencipta untuk dirinya nanti. Karena bisa saja karena menjadi miliknya, bisa juga Kania yang sudah berstatus sebagai sahabatnya atau mungkin orang yang belum pernah dipertemukan dengan Fabian saat ini yang ditakdirkan sang pencipta untuknya.
"Kalau nanti Karel nyatain perasaan ke Karina-" Kania menggantung ucapannya, kemudian menatap lurus ke depan, tepatnya pada tembok dengan cat yang mengelupas juga beberapa tulisan tangan di sana." Gue akan menyerah dan melepaskan dia."
Fabian tersenyum, kemudian mengangguk pelan." Gue juga," putusnya." Setelahnya dia menoleh ke arah Kania. " Dan gue akan ngajak lo pacaran aja kalau sampai hal itu terjadi."
Mendengar hal itu, Kania tergelak. Entah itu sebuah pengakuan atau hanya ucapan semata saja. Kania berharap hal itu tidak terjadi, karena sejatinya Kania tidak mau Karel pergi. Meski kebaikan Fabian padanya sudah tidak bisa dihitung, dirinya akan tetap memperjuangkan karir sampai dirinya merasa lelah.