Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
Setelah sepanjang hari bekerja keras, Airil membawa tubuh lelahnya memasuki pintu apartemen. Saat pintu terbuka, kesunyian yang lebih dulu menyapanya.
Pria itu tersenyum ketika mendapati Nasya duduk di ruang keluarga dengan senyum hangat menyambut kedatangannya.
Airil mendekati istrinya yang sedang menonton televisi, berpindah dari kursi roda dan duduk di samping Nasya. “Mana yang tadi katanya kangen?”
“Di sini, aku butuh bahu untuk bersandar,” gumam perempuan itu. Tanpa meminta izin merebahkan kepala di bahu suaminya.
“Mau cerita?” Airil tersenyum, menepuk-nepuk tangan istrinya.
Sebenarnya ia telah terbiasa menyediakan telinga untuk Nefa bercerita. Jadi tidak heran kalau dirinya sangat paham kenapa para perempuan suka sekali bicara di saat hatinya sedang tidak baik-baik saja.
“Aku malu cerita sama orang yang bikin aku kangen,” jawab Nasya dengan kekehan. Di tengah kegundahan hatinya ia tetap tersenyum hangat pada sang suami.
“Pintar banget bohongnya, mau cerita atau mau aku cari tahu sendiri.”
“Aku sudah masak, mau makan sekarang atau mandi dulu Mas.” Nasya tersenyum mengalihkan pembicaraan.
“Yang ngebolehin kamu kabur siapa, hm.” Airil menahan tangan istrinya yang ingin pergi ke dapur dengan alasan menyiapkan makan malam.
“Mas,” Nasya merengek dengan suara seperti anak kecil yang dimanja-manjakan.
“Gak mau cerita?” Airil dengan sabar menunggu Nasya siap untuk bercerita.
Wanita itu menggeleng, kembali menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
“Oke, berarti siap-siap dapat hukuman.” Seru Airil menciumi seluruh wajah istrinya gemas.
“Geli Mas,” rengek Nasya berusaha menghindari sang suami yang menggelitiki sambil menciumi wajahnya.
“Bisa geli juga, hm.”
“Aku nggak bisa napas Mas,” Nasya terengah-engah di saat Airil berhenti menggelitikinya.
“Jangan dipaksa, sini aku kasih napas buatan.” Ujarnya, kembali mencondongkan wajah pada Nasya.
“Mas,” Nasya tertawa gelak menahan mulut suaminya yang sedang usil.
“Kenapa? Mau dikasih napas buatan beneran.”
Nasya memegang rahang suaminya lalu menengok ke kanan dan kiri, “nggak ada tanda-tanda seperti kanebo kering. Tapi kenapa dulu galak banget.”
“Aku nggak suka kamu ganggu makanya galak,” jawab Airil jujur.
“Sekarang sudah suka diganggu, hm.”
“Sedikit.”
“Banyak.”
“Sedikit.”
“Banyak Mas,” paksa Nasya.
“Iya deh banyak,” ujar Airil mengalah dengan gelak tawa.
“Aku lapar Mas, ayo kita makan.”
“Gendong,” rengek Airil manja.
“Kebalik Mas, aku yang mau digendong.” Seru Nasya cemberut.
“Maaf ya nggak bisa gendong kamu.” Airil menangkup kedua pipi Nasya, merasa bersalah karena tidak bisa memanjakan dan melindungi istrinya dengan baik.
“Aku cuma bercanda, kenapa dimasukin hati.” Perempuan itu membantu suaminya berpindah ke kursi roda. “Ayo kita mandi dulu,” ajak Nasya dengan ceria.
Airil bisa merasakan awan mendung pada wajah istrinya. Namun ia tetap mengikuti akting Nasya yang sedang memasang wajah ceria.
Selepas mandi dan berpakaian rapi Airil menyusul istrinya ke meja makan.
“Pesan makanan dimana Sya?” Tanya Airil, melahap cepat makanannya kemudian minum air putih yang banyak.
“Aku masak sendiri Mas, kenapa? Nggak enak?”
“Enak banget, seperti masakan restoran.” Puji Airil, kembali menyuap nasi yang sudah terlanjur tercampur dengan sayur cah kangkung itu sambil tersenyum manis.
“Kok rasanya asin banget?” Nasya menutup mulut ketika mencicipi masakan buatannya sendiri.
“Aku masakkan spageti aja Mas buat kamu, ini nggak enak.” Panik Nasya ketika menyadari rasa masakannya yang tidak layak dimakan manusia.
“Enak kok, ini sudah habis.” Airil melahap habis makanan yang ada di piringnya tanpa ekspresi yang bisa membuat istrinya merasa kecewa.
“Mas kenapa kamu makan kalau rasanya nggak enak. Kayaknya aku kebanyakan memasukkan garam,” sesal Nasya.
“Kalau aku makan sampai habis berarti enak,” ujar Airil meyakinkan. “Aku masakkan spageti buat kamu.”
“Aku bisa masak sendiri Mas,” tolak Nasya.
“Kamu duduk diam, hari ini aku yang bikinkan makan malam buat kamu.” Paksa Airil, menyuruh istrinya untuk duduk dengan tenang.
“Apa yang sedang ada di pikirannya?” Pria itu bergumam dalam hati. Menatap wajah istrinya yang terlihat gelisah. Harusnya ada hal yang Nasya sembunyikan sampai membuat pikirannya tidak tenang.
Airil menjalankan kursi roda menuju dapur. Menyiapkan spageti, saus tomat, daging cincang, bawang putih, bawang bombay, dan rempah lainnya. Setelahnya ia memanaskan air dalam panci hingga mendidih. Dan dengan hati-hati menambahkan sedikit garam kedalam air tersebut, agar tidak keasinan seperti cah kangkung yang tadi Nasya masak.
Setelah air mendidih, Airil menambahkan spageti dan bahan-bahan yang sudah disiapkannya kedalam wajan yang telah diisi dengan sedikit minyak.
Nasya memperhatikan dengan seksama sang suami yang sedang menyiapkan spageti untuknya. Meski menggunakan kursi roda, namun Airil tidak terlihat kesulitan untuk melakukan pekerjaan itu.
“Makan malam siap,” dengan ceria Airil menghidangkan semangkuk spageti di hadapan istrinya.
“Makasih Mas sudah susah payah membuatkannya untukku.”
“Selesai makan langsung istirahat,” Airil mengelus-elus rambut panjang istrinya yang sedang mencicipi spageti buatannya. “Bagaimana rasanya?”
“Nggak seasin sayur buatanku Mas,” jawab Nasya dengan tawa kecil.
“Hm, walaupun aku nggak tahu apa yang membuatmu aneh hari, namun jangan khawatir. Aku pasti akan menemukan alasannya,” ucap pria itu pasti.
Nasya berhenti menyuap spageti ke mulutnya, “kenapa kedengarannya menakutkan sekali Mas.”
“Perasaanmu saja.”
“Apa ini faktor kamu jatuh cinta sama aku Mas?” Nasya mengerling genit pada suaminya.
“Bisa jadi, karena aku sedang ada tugas yang cukup sulit.”
“Apa?”
“Membuat seseorang merasakan jatuh cinta.”
“Mas,” Nasya mendorong bahu suaminya pelan.
“Mau nyobain masakan suamiku?” Katanya menyuapkan sesendok spageti ke mulut Airil. “Meskipun aku belum pernah merasakan rasanya jatuh cinta, namun aku sudah punya suami.”
“Benarkah,” Airil berpura-pura batuk mendengarkan ucapan istrinya.
Wanita itu mengangguk dengan yakin, “kenapa? Kaget kalau aku sudah punya suami. Meskipun sedikit galak tapi sebenarnya suamiku itu sangat baik,” celoteh Nasya.
“Jadi kamu beruntung mendapatkan suami seperti dia.”
Nasya menggelengkan kepala, “dia yang beruntung punya istri cantik seperti aku.” Jawabnya dengan gelak tawa.
“Sya,” Airil mencubiti pipi istrinya gemas.
Meskipun sedang tidak baik-baik saja namun Nasya cukup apik menyembunyikan perasaan gelisahnya. Semoga apa yang ada di kepalanya ini hanya ketakutan pikirannya saja.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat