Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24.
"Halo?" sapa Bima datar.
"Halo, Pak Bima? Pak gawat Pak!" seru sekretaris itu dengan nada panik.
Bima terduduk tegang. "Gawat? gawat gimana maksud kamu? bicara yang jelas!"
"Itu, Pak. Pak sebaiknya bapak langsung saja ke kantor sekarang, Pak!" tegas sekretaris itu dan langsung mematikan sambungan teleponnya begitu saja.
Tut
Tut
Tut
"Akh, si*l! Ada apa sih?" Bima bangkit mencari pakaiannya yang terserah entah kemana dan memakainya dengan cepat.
"Awas aja sekretaris payah itu kalo cuma bercanda, aku turunin jabatannya jadi OB!"
Tap
Tap
Tap
Bima menuruni tangga dengan tergesa, namun saat tiba di parkiran dia di hadang oleh seorang ojol dengan jaket berwarna hijau yang khas.
"Pak! Pak!" seru ojol itu membuntuti Bima.
Bima tak mengindahkannya dan terus saja berjalan menuju mobilnya.
"Pak!" sang ojol menarik jas yang di kenakan Bima sampai dia akhirnya berhenti.
"Apa?" sentak Bima tak suka.
Ojol itu mengangkat box nasi goreng di tangannya. "pesanannya."
Srat
Bima marebut bungkusn box itu dan lekas masuk ke dalam mobilnya.
"Sudah saya bayar pake gop*y!"
Ojol itu tampak memeriksa ponselnya sembari nyengir.
"Jangan lupa bintang 5 nya ya, Pak!"
Brrmm
Tapi Bima sudah tak mendengar karna dia terburu-buru melajukan mobilnya membelah jalan dengan pikiran yang semrawut.
****
Sesampainya di kantor.
Brakk
Bima membanting begitu saja pintu mobilnya dan berlarian cepat menuju lantai teratas dimana kantornya berada.
Saat melewati beberapa karyawan di sana tampak mereka saling berbisik-bisik sambil menunjuk ke arah Bima, namun Bima sudah tak sempat mengurusinya baginya sekarang yang terpenting adalah mengetahui apa yang tengah terjadi.
"El!" panggil Bima pada sekretarisnya yang bernama Elina itu.
"Pak Bima!" songsong Elina dengan raut wajah cemas, selama di kantor memang hanya Elina lah anak buah kepercayaan Bima bahkan sangat sering di beri bonus berlebih olehnya.
Hal itu juga yang membuat Elina akhirnya menjadi sangat loyal dan selalu berpihak pada Bima termasuk membantunya melakukan banyak kecurangan di perusahaan tersebut tanpa sepengetahuan Sarah dan kedua orang tuanya.
"Ada apa? kenapa semua karyawan seperti membicarakan saya? jelaskan ada apa ini Elina!" desak Bima tak sabar.
Bahkan tanpa sadar dia sampai mengguncang bahu Elina dengan keras sampai membuat Elina pusing.
"Pa- Pak, se- sebentar, Pak." Elina menarn diri dari pegangan Bima dan mundur beberapa langkah.
"Katakan, El! jangan berteka teki!" hardik Bima lagi.
Tapi baru saja Elina hendak menjawab tampak Sarah keluar dari ruangan direktur tempat selama ini Bima berkerja.
"Mas?" ucapnya dengan alis terangkat tinggi.
Bima menggeragap karna tak menyangka Sarah tiba-tiba datang ke kantor, padahal selama ini Sarah sangat enggan menginjakkan kaki di kantor tersebut karena ingin menjadi ibu rumah tangga biasa dan menyerahkan sepenuhnya kepemimpinan kantor pada Bima. Itu juga yang membuat Bima terlena dan merasa bebas melakukan kecurangan.
"Sa- Sayang? kamu ... kamu sejak kapan ada di sini? bukannya ... bukannya?" Bima tergagap karna merasa semua rahasianya di kantor akan terbongkar segera.
Sarah mendekati Bima dengan senyum miring di bibirnya. Sedangkan Bima dan Elina saling lirik dan berdoa semoga kecurangan mereka tidak terendus, walau itu semua hanyalah angan kosong kini.
"Dari mana kamu, Mas? bukannya tadi pagi kamu pamit mau ke kantor? kenapa malah baru datang dari luar?" selidik Sarah.
Bima mengelap keringat yang tiba-tiba membanjiri keningnya, kemudian melirik Elina sekilas.
"Aku ... aku ... tadi habis ketemu klien di luar, Sayang. Iya, habis ketemu klien sekalian makan siang. Eh taunya malah kelamaan," cetus Bima berdalih.
Sarah memutari badan Bima sambil menelisik setiap jengkal pakaian dan tubuhnya, membuat Bima merinding tak nyaman.
"Ooh, habis ketemu klien. Dimana?" serang Sarah.
"Itu ... di ... di ...."
" Di hotel M ya?" bisik Sarah tepat di balik telinga Bima.
Bagai tersengat aliran listrik tubuh Bima yang semula lemas kini menegang, dengan raut wajah waspada.
Sarah kembali mengitari tubuh Bima dan berhenti tepat di depannya.
"Tidak apa-apa, Mas. Santai aja," tukas Sarah menyeringai.
Bima menghela nafas lega, namun hanya sesaat karna kalimat Sarah selanjutnya justru membuat ketegangannya semakin bertambah berkali lipat.
"Klien kamu itu ... namanya Jeni kan?"
Mata Bima melotot namun tak mampu menjawab apapun, dia hanya terdiam menatap Sarah yang menyeringai lebar di hadapannya tanpa berkedip.
****
Di kediaman Andrew, mereka tampak sedang sangat bersuka cita dengan kembalinya putra kandung mereka yang telah belasan tahun terpisah.
Pesta besar tampak di langsungkan, dengan berbagai sambutan dan hiburan yang luar biasa meriah dari tuan rumah.
"Mama senang sekali akhirnya kamu kamu kembali ke rumah kita, Nak." Sonia memeluk Adam dengan erat seakan takut akan kehilangan putra semata wayangnya itu lagi.
"Tentu saja, Ma. Saya juga senang," balas Adam sembari turut memeluk Sonia, pelukan seorang ibu kandung yang sudah sangat lama di rindukannya.
Tampak Andrew berjalan mendekati sepasang ibu dan anak yang tampak saling merindukan itu.
"Kau yakin kita tidak perlu melakukan tes DNA, Nak?" tanyanya lembut sembari menepuk pelan pundak Adam..
Adam menunduk sembari melerai pelukannya dari sang Mama.
"Yes, Son. Papamu benar, sebaiknya kita lakukan saja tes DNA agar kamu semakin yakin dan tidak akan ada keraguan lagi untuk ke depannya," ucap Sonia menyetujui saran sang suami.
Adam mengangkat wajahnya dan tersenyum begitu manis. "Yah, baiklah, Ma. Apapun permintaan kalian akan berusaha Adam penuhi."
Andrew dan Sonia saling pandang dengan perasaan haru dan bahagia. Bagaimana tidak setelah belasan tahun lamanya hidup dalam keadaan saling memendam rindu kini akhirnya mereka bisa kembali memeluk dan bersama putra mereka lagi.
"Kita akan lakukan itu nanti, sekarang mari kita nikmati saja pesta penyambutanmu, Nak." Andrew menarik tangan Sonia dan Adam berbarengan dan membawa mereka ke sebuah meja besar khusus untuk mereka saja dimana semua hidangan yang lezat sudah di sajikan untuk mereka.
"Terima kasih sudah memperlakukan saya sedemian baik Pa, Ma." Adam menatap kedua orang tuanya dengan haru dan mata yang berkaca-kaca.
Andrew mengangguk. "Sure, kenapa memangnya, Nak. Apa kau merasa ada yang mengganjal? katakan saja kami akan berusaha menyediakan apapun yang kau mau."
Adam menghapus air matanya dan menggenggam tangan Sonia yang ada di sampingnya.
"Tidak, saya hanya merasa terharu berada di tengah keluarga yang lengkap dan saling menyayangi seperti sekarang ini. Betapa saya merindukan semua ini sejak begitu lama."
Sonia menepuk tangan Adam yang memegangnya. "Tenanglah, Son. Sekarang dan untuk selamanya kita akan selalu bersama."
Mereka saling tersenyum dan bahagia, sampai akhirnya Andrew menyeletuk. "Ah, ya Nak. Berhentilah memakai nama Adam. Itu nama samaran yang di berikan kepala panti padamu, kembalilah pada nama aslimu yang sudah kamu sematkan padamu sejak kau lahir."
Adam mengerutkan keningnya dalam. "Nama? memangnya siapa nama asliku, Pa?"