Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Berapa hari mencoba menghindari Freya nyatanya membuat Abidzar sedikit gusar. Perasaannya tak menentu. Seperti ada dorongan untuk melihat wanita yang telah menjadi istri keduanya itu.
"Bi ... " panggil Abidzar sepulangnya dari kantor. Hari sudah menunjukkan hampir pukul 9 malam. Ia belum tahu sama sekali kalau istrinya sudah pulang sebab Erin memang berencana memberikan kejutan pada suaminya itu.
"Iya, Den, ada apa?" Tanya bi Asih yang sudah mendekat.
"Emmm ... itu, Freya ... bagaimana keadaannya? Dia ... baik-baik saja kan?" tanyanya dengan jantung berdegup kencang. Baru ingin menanyakan kabarnya saja perasaannya sudah seperti itu. Aneh.
Bi Asih menghela nafasnya, "non Freya nggak baik-baik aja, Den."
Dahi Abidzar berkerut dalam, "maksud bibi, Freya sakit? Sakit apa? Kenapa tak ada yang mengabariku?" Desisnya kesal.
"Maaf, Den. Bibi juga bingung kan selama non Freya di sini sikap Aden ... " Bi Asih tidak melanjutkan kalimatnya. Ia yakin Abidzar paham maksudnya.
Terdengar helaan nafas kasar dari bibir pria itu. Matanya memejam sejenak, kemudian kembali terbuka dan berujar, "sakit apa? Apa sudah dipanggilkan dokter?"
Bi Asih menggeleng, "jari-jari non Freya luka semua, Den, terkena pecahan kaca."
"Mengapa bisa?"
Lantas bi Asih pun menceritakan mulai dari kepulangan Erin dan mengapa Freya bisa sampai terluka tanpa melewatkan satu cerita pun. Abidzar memijit pelipisnya, Erin memang tidak mengatakan perihal kepulangannya sama sekali jadi ia tak tahu kalau istrinya itu pulang. Bila diingat-ingat, memang hari ini adalah hari kepulangan Erin setelah satu Minggu pergi berlibur yang entah kemana.
"Lukanya sudah diperiksa lagi? Takutnya infeksi."
Bi Asih menggeleng, "tadi bibi mau lihat, tapi non Freya menolak. Dia berulang kali bilang nggak papa padahal tadi darahnya itu banyak banget."
"Oh ya, kunci cadangan yang aku minta waktu itu udah ada?" Dia hari yang lalu memang Abidzar minta bi Asih mencarikan kunci cadangan paviliun. Entah apa tujuannya, ia sendiri spontan saja meminta hal tersebut pada bi Asih.
Bi Asih mengagguk, kemudian merogoh saku bajunya, "ini den." Ujarnya seraya menyerahkan kunci cadangan paviliun.
"Terima kasih, bi. Oh ya, tolong siapkan kotak obat dan letakkan saja di meja itu." Ucapnya sambil menunjuk ke arah meja dengan ujung dagunya.
"Baik, den. Oh iya, Aden sudah makan malam? Mau bibi siapkan?"
"Freya sudah makan belum, Bi?" Padahal Erin sudah pulang, tapi yang terus ditanyakan Abidzar sejak tadi justru Freya. Bi Asih merasa sedikit aneh, tapi sekaligus senang. Aneh memang. Ia justru mendukung tuannya lebih perhatian pada Freya.
"Belum tau, den. Tapi tadi sudah bibi anterin makan malamnya kok."
"Sebenarnya aku belum makan, bi. Tapi nanti ajalah. Stand by aja hp bini kalau aku mau makan nanti aku telepon bibi. Eh tapi ini sudah terlalu larut ya? Bibi harus istirahat. Atau ... bibi punya mie instan nggak?"
Dahi Bi Asih makin mengernyit, selama bekerja dengan Abidzar tidak pernah sekalipun ia melihat majikannya itu memasak mie instan. Lalu kini tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja Abidzar menanyakan apakah ia memiliki mie instan.
"Bie, kok bengong?" Kini giliran Abidzar yang mengernyitkan keningnya.
"Eh iya den, kebetulan tadi Ana beli, Aden mau?"
"Ya, letakkan saja di meja dapur. Kalau saya lapar, bisa saya masak sendiri. Kalau begitu, saya ke atas dulu bi ya." Tanpa menunggu jawaban bi Asih, Abidzar lebih dahulu naik ke tangga menuju kamarnya.
...***...
Ceklek ...
Abidzar membuka pintu dengan perlahan dan masuk ke dalam kamar. Ia pikir Erin telah tidur, ternyata tidak. Ia tampak sedang memainkan ponselnya sambil tersenyum.
"Mas, akhirnya kamu pulang. Aku baru saja mau tidur karena bosan nungguin kamu nggak pulang-pulang." Erin merajuk seraya menyandarkan kepalanya di dada bidang Abidzar.
"Kalau lelah, lebih baik tidur sekarang." Ucap Abidzar sambil mengusap kepala Erin.
"Mas, aku tu kangen tau kok kamu malah suruh aku tidur. Emangnya kamu nggak kangen?" Protes Erin.
"Kangen kok. Tapi kesehatan kamu lebih penting. Apalagi kamu baru pulang kan. Tidurlah. Aku mau mandi dulu. Terus lanjut memeriksa beberapa berkas."
Erin mendengkus lalu segera berbalik ke tempat tidur dan mendudukkan dirinya di tepi ranjang.
"Mas, bagaimana? Apa Mas sudah melakukannya?"
"Melakukan apa?" tanya Abidzar pura-pura tak mengerti.
"Jadi seminggu ini tidak ada kemajuan apapun?" sentak Erin kesal. Ia pikir Abidzar belum melakukan apapun.
"Sudah aku bilang kan, aku butuh waktu. Jangan paksa aku. Yang ada aku nanti benar-benar enggan melakukannya. Apa itu maumu?"
Erin menepuk kasur dengan wajah memberengut. Namun terukir senyum sinis di sudut bibirnya, "ternyata pesonamu sudah benar-benar mati, Fre." Ucapnya hanya dalam hati. Sementara itu, Abidzar telah masuk ke dalam kamar mandi. 25 menit kemudian, ia telah keluar dari walk in closet dengan memakai celana pendek dan baju kaos berwarna abu-abu. Dilihatnya Freya sepertinya telah memejamkan matanya, ia pun segera keluar dari dalam kamar.
Abidzar kini telah berada di depan pintu paviliun. Dengan kunci cadangan, ia pun masuk ke dalam paviliun dan menguncinya. Abidzar sendiri bingung dengan apa yang ia lakukan. Ia hanya ingin melihat Freya dan memastikannya tidak apa-apa.
Setelah berada di dalam, ia segera meletakkan kotak obat di atas meja dan masuk ke kamar Freya. Di atas ranjang, tampak Freya sudah tertidur pulas. Diperhatikannya jari-jari Freya yang tertutup plester. Ada beberapa luka di sana. Entah dapat keberanian dari mana, Abidzar memegang tangan Freya dan memeriksa lukanya.
Merasakan tangannya di pegang seseorang membuat Freya tersentak. Ia sampai terduduk dengan mata membulat saat melihat keberadaan Abidzar yang sudah berada di kamarnya.
"Maaf, apa aku mengganggu tidurmu?" Ucap Abidzar tak enak hati mengganggu tidur Freya.
"Ah, ti-tidak. Ke-kenapa tuan ada di sini?" tanya Freya bingung.
Lalu Abidzar menunjuk luka di jari Freya, "aku ingin memeriksanya." Ucapnya.
"Ah, ini ... lukanya sudah tidak apa-apa kok tuan."
Tak peduli apa yang Freya ucapkan, laki-laki itu lantas memeriksa sendiri luka itu. Freya meringis saat Abidzar menyentuh lukanya.
"Sakit?" ejek Abidzar membuat Freya menunduk.
Lalu ia membuka plester itu satu persatu dan membersihkannya. Kemudian ia menggantinya dengan plester yang baru.
"Terima kasih, tuan."
"Hmmm ... kau sudah makan?"
"Emmm ... sudah tuan."
"Benarkah?" Lalu ia turun dari atas ranjang dan memeriksa ke dapur. Ternyata makan malamnya hanya dimakan separuh saja. Masih menyisakan banyak. "Kenapa makanmu sedikit sekali?" tanya Abidzar.
"Oh, itu ... sebenarnya aku sudah kenyang." Dustanya. Padahal yang sebenarnya karena ia kesulitan makan karena hampir semua jari tangan kanannya terluka.
"Sepertinya kau sangat suka berbohong." Ejek Abidzar yang sebenarnya tahu alasannya. "Kau suka makan mie instan? Entah mengapa aku tiba-tiba ingin makan mie instan. Kau mau?"
Jika dulu, Freya mungkin akan sangat menghindari mie instan untuk menjaga bentuk tubuhnya. Tapi sekarang, saat mendengar namanya saja, entah mengapa tiba-tiba ia menelan ludah. Ia seakan ingat memori masa kecilnya saat berada di panti asuhan. Saat stok bahan pokok sudah hampir habis, maka mereka pasti akan makan nasi dengan mie instan. Rasanya enak sekali.
Freya tanpa sadar mengangguk, "tapi di sini tidak ada mie instan." Ucap Freya yang dibalas Abidzar dengan jentikan jari.
"Aku bawa. Tadi aku minta sama bi Asih." Ucapnya seraya terkekeh membuat Freya membeku di tempat.
"Kenapa bengong? Tenang saja, aku nggak akan nyuruh kamu masak. Kamu duduk aja di sana. Biar aku yang masak."
"Emang tuan bisa?"
"Kau meremehkan ku, heh?"
"Ah, bukan begitu, tapi ... tapi apa tidak merepotkan? Kalau sekedar masak mie, aku masih bisa kok."
"Nggak usah. Biar aku saja. Sudah lama aku tidak menghidupkan kompor."
Abidzar pun melenggang begitu saja ke dapur dan mulai mulai menyiapkan bahan kemudian memasak mie yang dibawanya tadi. Freya sampai tak habis pikir, ada apa gerangan sampai Abidzar bisa bersikap seperti itu.
10 menit kemudian, 2 mangkok mie pun telah terhidang.
"Kenapa masih bengong? Ayo dimakan." Ucap Abidzar bernada perintah. Dengan sedikit rasa canggung, Freya pun berusaha menyantap mie nya.
"Bagaimana? Bisa?"
"Maksudnya?" tanya Freya bingung.
"Tanganmu kan sedang terluka." Paham maksudnya, Freya mengangguk. "Pelan-pelan saja kalau sakit." Ucapnya sarat akan perhatian.
Beberapa menit kemudian, keduanya telah selesai makan mie. Selesai makan, Abidzar langsung membereskan mangkok bekas mereka makan dan mencucinya. Sebenarnya Freya sudah melarang dan bisa mengerjakannya sendiri nanti, tapi Abidzar berkeras ingin mencucinya. Freya pun hanya bisa pasrah dengan otak yang sibuk berputar memikirkan keanehan sikap Abidzar.
Hari terus berganti, Abidzar sebenarnya ingin meminta maaf pada Freya atas perbuatannya malam itu. Tapi ia masih saja kesulitan mengucapkan kata.
"Bi, salep memar waktu itu dipakai Freya kan?" Setelah mengetahui tubuh Freya dipenuhi memar dan lebam, keesokan harinya memang ia membelikan salep dan menitipkannya melalui Bi Asih.
"Dipake non Freya terus kok, den. Kadang Ana bantu olesin."
"Baguslah. Kalau habis, jadi tau saya ya bi. Oh iya, ini uang. Kalau bibi ke pasar, ajak aja Freya. Kalau dia mau beli sesuatu, beliin aja pakai uang ini. Tapi jangan bilang dari saya ya, bi. Bibi bisa bikin alasan apa gitu. Takutnya dia nggak mau terima." Tukasnya sambil menyerahkan beberapa lembar uang merah.
"Baik den." Jawab Bi Asih sambil tersenyum-senyum sendiri. 'Kayaknya Aden udah mulai suka sama non Freya, tapi sayang, masih gengsi.' batin bi Asih.
...***...
"Tirta, ngapain kamu di sini?" tanya Erin saat hendak mengantar Abidzar ke depan, ia justru mendapati Tirta yang baru saja muncul.
"Freya ada, Rin? Aku mau kasi ini ke dia." Ucap Tirta membuat Abidzar mendengkus. Setelah beberapa hari tak muncul, ternyata hari ini ia datang lagi.
"Freya? Emang kamu mau kasih apa?" Erin heran. Ia tak tahu kalau Tirta sering ke sana untuk menemui Freya.
"Ini novel. Pasti novel yang aku pinjamkan tempo hari sudah selesai dia baca, jadi aku mau kasi ini ke dia."
"Kamu kok bisa dekat sama dia?"
"Emang kenapa? Nggak boleh? Ya udah ya, aku mau anterin ini dulu." Tirta lantas melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah dan memberikan novel-novel yang tadi ia bawa.
"Mas, sejak kapan mereka dekat?" Freya bertanya pada Abidzar, tapi suaminya itu justru mengedikkan bahu. "Sepertinya dia sudah mulai mengeluarkan sifat aslinya, penggoda. Dasar, bit ch. Aku harus memperingatkan dia. Aku takut dia justru hamil anak orang lain, bukan kamu."
"Sudahlah. Mana mungkin dia berani melakukan itu."
"Ya, siapa tau, Mas. Dia tahu kamu jijik nyentuh dia jadi dia ngelakuin itu sama orang lain."
"Rin, sudah. Ini masih pagi, jangan suka bicara sembarangan."
"Kamu kenapa jadi bela dia sih, Mas?" sentak Erin.
"Aku bukannya bela dia, Rin. Aku cuma nggak mau bahas yang aneh-aneh. Ini masih pagi. Mending mikir yang positif-positif aja."
"Sebenarnya mau kamu itu gimana sih, Mas? Ini udah jalan hampir 2 Minggu, tapi belum juga ada tindakan. Aku nggak mau dia makin lama di sini, Mas. Kamu tahu nggak sih mas sebenarnya aku tuh muak banget sama dia, tapi demi mendapatkan keturunan darimu aku berusaha menerima dirinya di sini. Tapi aku juga nggak mau dia lama-lama di sini."
"Kalian yang mau punya anak, tapi kenapa orang lain yang harus berkorban sih? Kalau kamu muak sama Freya, lepaskan dia. Kamu yang bawa, kamu yang muak, aneh kalian." Geram Tirta saat mendengar kata-kata Erin.
"Kamu nggak tahu apa-apa, Tirta, mending nggak usah ikut campur urusan kami. Lagipula dia melakukan itu nggak gratis kok."
"Berapa? Berapa uang yang sudah kau habiskan untuk menebusnya? Katakan? Aku bersedia menggantinya asal kalian mau melakukannya."
"Kau pikir semudah itu. Bukan hanya uang, tapi aku yang menjadi jaminannya kalau ia berbuat kesalahan lagi? Bagaimana kalau dia melakukan kesalahan lagi setelah keluar dari rumah ini? Aku yang akan menjadi taruhannya."
"Salah kamu sendiri mengapa meminta bantuannya. Cobalah bersikap lebih bijak. Kau butuh dia, setidaknya perlakukan dia dengan baik. Kalau kau tak mampu, lebih baik lepaskan."
"Tirta, tak usah ikut campur urusan rumah tangga kami. Kau itu hanya sepupuku, jadi kau tak ada hak untuk ikut campur. Lebih baik segera ke kantor. Kita ada meeting pagi ini." Pungkas Abidzar yang tak ingin perdebatan itu terus berlanjut. Meskipun apa yang Tirta ucapkan tadi ada benarnya, tapi entah kenapa ada rasa tak rela bila Freya pergi dari sana.
Mendengar itu, Tirta mendengkus dan segera pergi dari kediaman sepupunya itu.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor