Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan Pemarah
“Halo…” Suaranya terdengar serak tatkala menjawab panggilan telepon. Meskipun setengah mengantuk pemuda itu memaksakan diri untuk tetap siaga. Dia tidak perlu memastikan siapa yang kelewat rajin menghubunginya. Sebab dia sudah memastikan satu nada dering tersendiri yang membedakan antara entitas yang menghubunginya dengan kontak yang lain. Itulah mengapa keberisikan, dan raungan nada dering di pagi buta sama sekali tidak menganggu buatnya.
“Masih tidur ya? Ah… seperti biasa,” ujar suara manis disebrang sana. Hanya dengan mendengarnya saja si pemuda layaknya mendengar harpa yang dimainkan oleh bidadari. Kantuknya sirna seketika hanya dalam hitungan detik saja. Pria itu langsung duduk tegak diatas ranjang busanya. Mengabaikan berat tubuhnya sendiri yang membuat kasurnya tertekan kebawah. Selimut yang menutupi seluruh tubuh langsung tersibak sepenuhnya. Padahal sesaat yang lalu hawa dinginnya pagi masih cukup mengusik kulitnya. Karena seperti biasa, dia memang selalu rutin tidur dalam keadaan tak berbusana. Ah… tidak telanjang sepenuhnya dan masih bisa di bilang berbusana sebetulnya. Sebab masih ada celana pendek diatas lutut dengan motif garis-garis yang menutupi bagian privasi miliknya.
“D-Dizza?” Pemuda dengan surainya yang termasuk dalam kategori gondrong tersebut kini agak sedikit gugup. Padahal bukan pertama kalinya dia dibangunkan dengan cara seperti ini. Panggilan itu juga tidak mendefinisikan bahwa dia tidak tahu identitas dari si pemilik suara yang menurutnya berbunyi layaknya lonceng surga. Tetapi lebih kepada terkejut sekaligus menebak alasan, mengapa si gadis yang biasanya selalu cuek dan dingin itu menghubunginya pagi-pagi. Seingatnya, jika terjadi hal seperti ini biasanya selalu karena sesuatu yang mendesak.
“Iya, ini aku bodoh,” sahut suara itu lagi. Kali ini nada bicaranya agak sewot tapi bagi si pemuda itu tidak pernah jadi masalah. Malahan, dia suka dengan apapun dari gadis itu. Sampai jeda waktu hingga beberapa lama, si pemuda tetap menanti dengan sabar. Dia memang sengaja membiarkan adanya jeda diantara mereka. Lebih menghemat waktu bila gadis itu angkat bicara lebih dulu, karena kalau dia bertanya biasanya akan terjadi sesuatu yang bising diantara mereka berdua.
“Jadi kau ini sebetulnya sudah bangun atau mau tidur lagi? Aku harap kau tidak lupa janjimu padaku kemarin, Tuan Levin,” imbuh gadis itu mengisi jeda yang sempat berisi kekosongan agak panjang tadi.
Si pemuda yang dipanggil Levin tersebut langsung menepuk dahinya. Ah… iya, dia baru ingat. Untung saja dia cukup bijak untuk tidak bertanya apa tadi.
“Aku sudah bangun dan bahkan sangat segar,” timpalnya dengan percaya diri. Namun belum habis dia membanggakan diri, tetiba rasa kantuk menyerang lagi. Membuat si pemuda menguap lebar-lebar tanpa bisa dia tahan. Dia yakin Dizzajuga mendengar hal itu disebrang line telepon.
“Pembual ulung!” balas Dizzadari sana yang langsung mengundang kekehan dari Levin. Merasa sudah tertangkap basah, akhirnya dia merenggangkan tubuhnya sebebas mungkin dan berhenti berpura-pura keren.
“Memangnya apa? Maafkan aku, tapi aku lupa pernah membuat janji denganmu. Kenapa kau meneleponku? Apa terjadi sesuatu?” sahut pemuda itu lagi.
Kali ini Levin sudah kembali pada sisi normalnya. Sisi dimana kasualitas mengalahkan segalanya. Sisi yang dikenal Dizza, sahabat masa kecilnya.
“Memangnya harus terjadi sesuatu dulu baru aku boleh menghubungimu? Kita kan sudah sering begini Levin.” Terdengar nada sebal dari si gadis. Levin tersenyum sendiri membayangkannya. Pasti sangat imut dan lucu sekali air muka sahabatnya itu sekarang.
“Ya, kau benar juga sih. Tapi tetap saja tidak biasanya kau meneleponku, apalagi sepagi ini. Tingkah lakumu sekarang ini agak tidak biasa loh.” Levin kali ini turun dari ranjangnya yang empuk. Mulai melangkah ke jendela dan membukanya, membiarkan udara segar di pagi hari masuk kedalam ruangan. Pemuda itu menghirup kesegeran yang dia dapatkan secara mendalam. Menutup matanya rapat-rapat sebagai bentuk dari ekspresi kenikmatan terhadap nikmat alam. “Nah.. jadi ada apa sebenarnya Dizza? Sebelumnya kau bilang aku pernah janji padamu. Memangnya janji tentang apa yang kau singgung diawal itu hm?”
“Hei!”Dizza sekarang benar-benar terdengar kesal. Dia sepertinya sedang memprotes perkataan Levin yang tersampaikan tanpa dosa. Entah gadis itu marah karena Levin lupa soal janjinya atau hal lain seperti barangkali dirinya yang bertingkah seperti oranglain misalnya? “Cara bicaramu itu merepresentasikan seolah aku hanya menghubungimu saat aku perlu sesuatu. Aku tidak suka itu.”
Benarkan? Dizzamemang terkadang selalu mudah ditebak walaupun untuk menduganya Levin perlu lebih dari dua opsi cadangan.
“Bukannya memang selalu begitu kan? Aku tidak pikun loh.” Levin terbahak setengah membercandai lawan bicaranya.
Ia sekali lagi bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah sahabat masa kecilnya itu dari balik percakapan mereka. Sudah bisa dia duga bahwa gadis itu pasti sedang memberenggut kesal. Level terparah paling Dizzamencak-mencak dikamarnya. Namun, yang paling Levin sukai adalah ketika pipi gadis itu mengembung secara otomatis untuk menegaskan rasa sebalnya dengan posisi tangan terlipat didepan tubuhnya. Begitulah gaya gadis itu ketika dia sedang kesal. Sebagian menganggap bahwa Dizza yang marah adalah sebuah petaka tapi khusus untuk Levin justru pemandangan itu cukup menggemaskan.
“Kau benar-benar menyebalkan Levin! Kau juga lupa janji kita kemarin?!”
Tuh kan, Dizza betulan kesal padanya sekarang. Levin tertawa lagi. Dihubungi oleh sahabatnya di pagi buta adalah sebuah hiburan terbaik yang Levin maknai sebagai anugrah.
“Iya aku lupa.”
“Tunggu sampai aku memukul kepalamu supaya tidak pelupa kalau kita bertemu nanti!”
“Kalau kau mengancamku begitu aku malah jadi tidak mau bertemu denganmu loh Dizza.” Levin tertawa lagi saat dia mendengar Dizza mengeluh dari sebrang panggilan. Tawa Levin semakin kencang saat mendengar perempuan itu merapalkan kata-kata kasar dengan cepat seperti sebuah mantra.
“Oh, tidak bisa begitulah. Kita akan bertemu bagaimanapun caranya, dan lagi segera!”ujar Dizzacepat. “Kita ketemu di stasiun kota satu jam lagi. Tidak boleh ada keterlambatan. Tidak ada toleransi untuk itu.” Setelah mendengar pesan yang lebih banyak diisi oleh perintah dan ancaman dari Dizza. Sambungan telepon diantara mereka terputus. Levin hanya bisa tersenyum sambil melirik kearah ponselnya yang telah mati ditangan. Pria itu bersiul lalu meraih handuk. Janji temu ini akan dia maknai sebagai kencan walaupun itu secara sepihak.
“Dasar pemarah!” Levin menggerutu, tetapi dia tidak keberatan dan tak marah sama sekali soal itu.
Dia justru kian semangat menjalani hari, tak sabar untuk bertemu muka dengan sang gadis walaupun pertemuan mereka terjadi hanya satu alasan.
Kicau burung diluar sana jadi terdengar dua kali lipat lebih merdu. Kepalanya mulai merangkai banyak diksi indah yang tersusun apik nan puitis. Aneh sekali. Apa yang sebenarnya terjadi pada Levin?
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱