Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 10
Tut!
Ada pergerakan di angka denyut jantung bunda. Hanya melihat itu saja hatiku sudah sangat senang. Apa bunda akan segera sadar?
"Novita, ayo pulang!" ucap Ayah mengintip dari balik pintu.
"Tapi, Yah ... bunda."
"Besok kamu bisa ke sini lagi. Sekarang pulang dulu udah malam."
Aku bangkit, lalu ke luar dengan mata terus menatap bunda. "Ayah, perasaanku bilang bunda bentar lagi sadar," ucapku dengan senyum mengembang.
"Semoga aja ya, Sayang. Ayah juga udah kangen sama bundamu," balasnya seraya mengelus rambutku.
"Iya, Yah. Aku pengen ketemu bunda sebelum balik ke Jerman."
"Emangnya kapan mau balik ke Jerman?"
"Tiga minggu lagi. Liburan musim dinginnya cuman sebulan. Jadi aku harus pulang ke sana seminggu sebelumnya."
"Oh, kamu doakan terus supaya bunda cepat sadar."
"Setiap hari itu sih."
Kami sampai di parkiran dan langsung masuk ke dalam mobil.
"Kamu belum cerita, bisa pulang ke Indonesia dapat uang dari mana. Apa kamu selama ini nabung?" tanya Ayah sambil menyalakan mobil.
"Iya, aku nabung." Aku tidak mungkin bilang kalau kerja sambilan. Bisa-bisa ayah akan marah besar nanti.
"Dari waktu bunda masuk rumah sakit, sebenernya Novita udah pengen pulang, Ayah. Tapi Novita tau, kalau kondisi keuangan ayah lagi kurang baik.
Puncaknya waktu Leon meninggal, Novita udah bener-bener pengen pulang. Walaupun gak akan sempet anterin leon ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tapi ... ayah malah ngelarang. Uang saku pun diperketat. Makanya Novita niatin untuk hemat dan nabung selama lima bulan," jelasku.
"Maafin ayah, Sayang. Ayah juga nggak tau bakal begini. Ini juga karena kecerobohan ayah yang terlalu percaya sama orang. Walaupun dia temen lama ayah."
"Iya, Ayah. Novita juga minta maaf pulang ke Indonesia nggak bilang-bilang."
Mobil melaju ke luar dari parkiran. Selama perjalanan, ayah lebih banyak bertanya tentang kuliahku.
***
Sesampainya di rumah, Mbok Wati sudah membukakan pintu depan. Aku turun duluan, sedangkan ayah masih memasukan mobil ke dalam garasi. "Gimana, Non?" tanya Mbok Wati.
"Gimana, apanya?" balasku seraya masuk ke dalam rumah.
"Udah ketemu ibu?"
"Udah, Mbok. Seneng banget."
"Seneng kenapa, Non?"
"Nanti besok aku ceritain, Mbok," balasku melangkah ke kamar.
Kubuka pintu kamar, hawanya pengap sekali. Bergegas aku mengganti baju, menyalakan pendingin ruangan, lalu pergi ke kamar mandi. Setelah dari kamar mandi, aku langsung membaringkan badan di tempat tidur.
[Novita, kapan balik ke sini]
Sebuah pesan masuk dari Melina.
[Dua minggu lagi kayanya, Mel]
[Video Call dong!!!]
Dengan cepat kutekan tombol video call.
"Hai Novita," sapa Melina dan beberapa temanku.
"Hallo Novita, We miss you (kami merindukanmu)," ucap Carlos yang tiba-tiba muncul di layar ponsel.
Mereka sedang berlibur bersama di Alpsee-Grunten. Sebuah perbukitan indah dengan hamparan salju yang luas.
"He miss you a lot (Dia—Carlos sangat merindukanmu)," ledek Melina, membuat Carlos malu dan menghilang dari tangkapan layar. "Dia kabur," lanjutnya disertai tawa.
Aku pun ikut tertawa. "Berapa hari lu di sana?" tanyaku.
"Paling 3 hari doang."
"Ih seru ya."
"Banget! Lagian lu malah balik sih."
"Kalau gw gak balik malah nyesel seumur hidup."
"Hah? ada apaan emangnya?" tanya Melina.
"Nanti gw ceritain deh." Aku tidak mau bercerita sekarang, takutnya malah mengganggu suasana liburan mereka.
"Tuhkan, maen rahasian lagi."
"Pokoknya nanti pas balik gw langsung cerita. Janji deh," balasku.
"Sip, okay."
"Dah dulu, Mel. Gw ngantuk, mau tidur."
"Ok, salam buat adek lu yang lucu itu. Siapa namanya?"
"Kevin."
"Ah iya, Kevin."
"Nanti gw sampein."
"Dah ya! Bye."
"Bye."
Video call selesai.
Seharusnya hari ini sangat menyenangkan bagiku, karena ada harapan kalau bunda bisa segera sadar. Namun, video call tadi membuatku kembali teringat dengan Kevin. Ada perasaan bersalah ketika tidak bisa berkata jujur pada Melina, kalau Kevin sudah meninggal.
"Udah jam 11 malem," gumamku saat melihat jam di layar ponsel. Kutarik selimut dan mematikan lampu. Tidur.
***
*Terdengar suara gamelan, pelan sekali*
Aku berdiri di suatu jalan setapak dan gelap. Kiri dan kanan dipenuhi pepohonan yang menjulang tinggi.
"Novita, sini!" Sayup-sayup terdengar suara seorang wanita memanggilku. Kemudian aku mengikuti sumber suara tersebut. Dengan berjalan menyusuri jalan setapak itu.
"Novita, sini!" Semakin melangkah ke depan, suaranya semakin besar. Begitu pula dengan suara gamelan yang semakin nyaring.
Kuhentikan langkah, saat melihat ada sebuah rumah panggung. Tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Seorang wanita berjalan ke luar dari rumah itu. Wanita berparas cantik, dengan baju kebaya berwarna hitam.
"Novita," sapanya dengan senyum ramah. Aku tetap menjaga jarak. Entah mengapa ada sesuatu mencurigakan di balik senyumannya itu.
"Sini, main ke rumah saya," ajaknya berjalan mendekat. Aku tidak membalas ajaknya itu. Memilih untuk berjalan mundur perlahan.
Dug!
Terdengar suara benturan dari balik jendela rumah itu.
"Kak novita, tolong!" Seseorang berteriak meminta tolong. Suaranya mirip dengan adikku, Kevin.
"Kak novita, tolong!" Suara yang lain terdengar, kali ini seperti suara leon.
Suara meminta tolong itu bersahutan, membuatku ragu antara maju atau mundur. "Kamu tidak mau bertemu adik-adikmu?" tanya Wanita berkebaya hitam itu dengan tatapan tajam.
"Tidak! Ini cuman mimpi," sahutku seraya berjalan menjauh dari wanita itu.
Stt! Stt!
Wanita itu berdesis sambil menjulurkan lidahnya. Tak berapa lama, dia berubah menjadi ular besar berwarna hitam. Lalu mengejarku.
Aku berlari masuk ke dalam hutan, menyusuri jalan setapak yang tadi kulewati. "Tolong ... tolong," teriakku, tapi ular itu tetap mengejar.
"Lewat sini!" Suara wanita terdengar dari balik pepohonan yang rindang. Namun aku tidak bisa begitu saja percaya. "Lewat sini! Cepat! Sebelum dia menangkapmu."
Tidak ada pilihan lain untukku, terpaksa mengikuti suara itu. Toh, sejak tadi berlari pun, jalan setapak ini tidak ada ujungnya.
Aku berbelok ke dalam hutan. Baru berlari sebentar, sudah dihadang oleh jurang yang dalam. Kini, aku terpojok. Di depanku sudah ada ular besar itu. Sedangkan di belakangku ada jurang.
"Lompat!" Suara wanita itu kembali terdengar.
Tanpa berpikir panjang, aku melompat ke dalam jurang. "Argh!" teriakku, lalu terbangun dari tidur. Kuhela nafas panjang.
"Sungguh mimpi yang menyeramkan," batinku seraya menghidupkan lampu tidur di atas nakas.
Dug!
Nakas bergetar cukup kencang. Saat lampu menyala, aku sudah berhadapan dengan si Wanita Berambut Panjang.
"USIR WANITA ITU!" hardiknya membuat jantungku nyaris copot.
"AYAH." Aku berteriak sekencang-kencangnya.
"USIR WANITA ITU!" Suaranya semakin meninggi, sepertinya dia sedang marah besar.