Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 : SERANGAN
Tangan kurus Yura sudah menyentuh kalung pemberian Zefon. Kedua mata mereka saling bertautan erat. Sorot manik Yura memancarkan memancarkan tatapan intimidasi.
Geram, gadis itu menarik kalung dari lehernya. Akan tetapi, gerakannya terbaca oleh Zefon. Pria itu dengan cepat menumpukan tangan di atas jemari lentik Yura, menekannya sehingga gadis itu tidak bisa bergerak.
“Sudah aku katakan sebelumnya, jangan pernah melepas kalung ini. Bahaya bisa saja mengintai kamu kapan pun. Dari sini aku bisa selalu memantau kamu agar selalu baik-baik saja. Sekalipun kita berjauhan. Sudah ada soft ware yang tersambung dengan sensor kalung ini,” jelas Zefon. Tatapannya begitu tajam dan tidak ingin dibantah.
“A ... aku takut meledak,” seloroh Yura terbata-bata. Jujur, itu yang ia takutkan ketika melihat kilat cahaya merah yang sempat menyala. Yura kagum dengan kecanggihan teknologi sejenis itu.
Zefon memutar bola matanya malas, membuang muka beserta senyum tipis. Ingin sekali meledakkan tawa melihat kepolosan gadis itu. Lalu kembali menatap Yura dengan ekspresi datar dan menurunkan tangan gadis itu. “Tidak akan, kecuali ada bom yang dilempar padamu!” canda lelaki itu namun mampu membuatnya bergidik membayangkan.
Zefon meraih lengan Yura dan membawanya ke mobil, membukakan pintu dan menyuruhnya duduk. Namun, gadis itu bergeming dan hanya menatapnya. “Ayo masuk!” perintah Zefon mengedikkan kepala. Tubuh kekarnya mengimpit Yura di ambang pintu mobil.
“Anu, ko ... koper saya,” sahut Yura menunjuk kopernya yang masih berdiri kokoh di halte.
Barulah lelaki itu menoleh, sepasang alisnya saling bertaut dalam. Baru setengah hari tidak memantau tapi sepertinya ketinggalan banyak hal. “Biar aku ambil. Masuklah!” titah lelaki itu mendorong bahu Yura agar segera duduk.
Setelah menutupnya, Zefon setengah berlari meraih koper Yura. Kakinya melangkah panjang kembali ke mobil, melemparnya di jok belakang.
Pria itu mendudukkan diri di balik kemudi, mengenakan sabuk pengaman dan menutup atap mobilnya agar terhindar dari panas. Baru menyalakan mesin, manik elangnya membelalak saat liontin Yura kembali berkedip.
“Tuan?” panggil Yura memperlihatkan liontinnya.
Buru-buru lelaki itu menginjak pedal gas kuat-kuat, hingga Yura memekik karena terkejut. Tak lama kemudian, terdengar ledakan memekakkan telinga, tak jauh di belakang mobilnya.
“Astaga! Apa ini!” pekik Yura menutup kedua telinganya. Tubuhnya terombang-ambing akibat gerakan mobil yang begitu cepat bak melalui sirkuit balap. Ia menunduk dalam, rambut panjangnya tergerai menutupi wajah cantiknya.
Sedangkan Zefon fokus menggerakkan setir dan memadukan dengan gas maupun rem untuk menyalip setiap kendaraan yang ada di depannya. Wajahnya masih tenang, satu tangannya menjulur ke depan untuk menyalakan layar monitor. Sinyal pemancar dari mobilnya segera menangkap sebuah helikopter yang terbang tak jauh di atasnya.
Zefon segera melaju menuju terowongan tepat di bawah jembatan. Ia sama sekali tidak terlihat panik, tapi tetap fokus menghindari helikopter yang mengincarnya.
Dengan keahlian yang diturunkan oleh sang mama, Zefon mampu mengendalikan mobil meski dalam keramaian, dengan kecepatan di atas rata-rata.
Musuh pun merasa kesulitan untuk menitikkan tembakan berkaliber besar ke arah mobil Zefon, karena gerakannya yang cepat dan sama sekali tak terbaca.
Hingga mobil Zefon menghilang dari pantauan musuh, karena ia berhenti di dalam terowongan. Dengan cepat lelaki itu mengirimkan sinyal untuk para anggota Klan Black Stone. Bukan karena Zefon tidak berani menghadapi seorang diri. Akan tetapi saat ini ada nyawa yang harus ia lindungi.
“Tuan,” panggil Yura dengan suara bergetar. Ia benar-benar terkejut. Wajahnya bahkan pucat pasi dalam kegelapan terowongan itu. Cahaya lampu mobil sesekali menyilaukan ketika melalui mereka.
“Maaf,” ucap Zefon menyentuh puncak kepala Yura. “Bersabarlah sebentar, biar anak buahku yang menangani!” lanjutnya mengusap-usap rambut Yura dengan lembut. Meski tangan lainnya masih sibuk dengan alat elektronik layar datar yang ada di mobilnya.
Inilah yang ditakutkan Zefon, keselamatan Yura terancam. Ia tidak bisa membiarkan Yura berkeliaran seorang diri.
Melalui udara, para anggota Black Stone sudah menyusul dengan satu helikopter. Ada juga beberapa mobil jeep yang kini bersiap menjadi pelindung di atas terowongan, tempat Zefon berada. Tidak ingin semakin mengundang atensi publik, para anggota yang ada di helikopter sudah mengenakan parasut. Mereka bersiap melompat dengan senjata laras panjang di tangannya.
Pilot selalu terhubung dengan ruang controller di markas, untuk menerima instruksi. Dalam jarak dan perkiraan yang sudah diperhitungkan matang, akhirnya terdengar instruksi.
“30 derajat arah selatan, lalu lepaskan!”
“Baik!” sahut mereka serentak dan mulai turun satu per satu. Pilot beserta co pilot saling mengangguk, mengunci kontrol collective agar tetap bergerak lurus setelah berada di jalur yang tepat, lalu segera berpindah ke belakang dan bersiap terjun.
Tak lama kemudian, sebuah dentuman disertai ledakan dahsyat menggelegar di langit yang cerah siang itu.
Zefon melepas seatbeltnya lalu memeluk Yura, bermaksud melindunginya dari getaran dan suara yang memekakkan telinga.
Musuh tidak menyadari kehadiran tim Black Stone, karena sedari tadi hanya fokus mencari mobil Zefon. Dua kendaraan udara itu kini berhamburan dari langit. Serpihannya berjatuhan menghujani penduduk bumi di bawahnya.
Semua bawahan Zefon mendarat di bukit darurat, iringan mobil jeep segera menjemputnya. Sebagian lagi menyusul keberadaan Zefon untuk mengawalnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Zefon membuat jarak dari tubuh Yura, tangannya masih mengungkung tubuh gadis itu menatapnya penuh kekhawatiran. Napasnya berembus lega, karena tidak ada serangan susulan.
Meski dalam kegelapan, dua pasang netra mereka saling beradu dan menyelaminya hingga menusuk relung hati masing-masing.
Bersambung~