"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan di Ambang Harmoni
Lorong berikutnya membawa mereka ke sebuah ruangan besar yang terbuka, dikelilingi tebing batu yang menjulang tinggi. Langit terlihat seperti tirai kelam di atas kepala, seolah-olah mereka telah mencapai pusat Gunung Kendan. Udara di sini berbeda—tidak lagi dingin, tetapi hangat dengan rasa berat, seperti dipenuhi energi yang menekan tubuh mereka.
Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu besar. Di atasnya, ukiran rumit membentuk lingkaran dengan pola yang mengingatkan pada simbol-simbol sebelumnya, tetapi lebih terfokus, lebih kuat. Cahaya biru dari bola kristal di tangan Rangga menjadi semakin terang, seolah-olah merespons keberadaan altar itu.
“Ini pasti tempatnya,” kata Rangga, matanya tertuju pada altar. “Pusat dari semua rahasia Gunung Kendan.”
“Eta lain tempat kosong,” kata Ki Jayeng, suaranya rendah tetapi penuh peringatan. “Aya nu nunggu urang di dieu.”
Dari balik bayangan di ujung ruangan, langkah berat terdengar mendekat. Suara itu diiringi gema samar, setiap langkah memantulkan kekuatan yang menggetarkan lantai batu di bawah mereka. Ketika sosok itu muncul, Rangga langsung mengenalinya.
Raksa Mandala.
Pemimpin aliran hitam itu berdiri dengan gagah, tubuhnya besar dengan balutan jubah gelap yang berkibar meskipun tidak ada angin. Di tangannya, ia memegang tongkat yang dihiasi dengan kristal merah besar, memancarkan aura berbahaya yang membuat udara di sekelilingnya terasa panas.
“Jadi kau akhirnya sampai di sini, Rangga Wisesa,” kata Raksa Mandala dengan nada mencemooh. “Aku tahu kau akan mencoba menghentikanku. Tapi kau terlalu lambat.”
“Raksa Mandala,” Rangga menjawab, suaranya tenang tetapi matanya penuh dengan tekad. “Apa yang kau cari di sini tidak akan menjadi milikmu.”
Raksa tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kau pikir aku peduli apa yang kau inginkan? Gunung ini telah memilihku, dan kekuatan yang terkubur di dalamnya akan menjadi milikku. Kau hanyalah penghalang kecil di jalanku.”
Rangga menggenggam bola kristalnya lebih erat, tubuhnya bersiap menghadapi apa pun. “Gunung ini tidak memilih siapa pun yang hatinya dipenuhi kebencian,” katanya tegas. “Jika kau pikir kau bisa menguasai kekuatannya, kau hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.”
“Omong kosong!” teriak Raksa, mengangkat tongkatnya tinggi. “Mari kita lihat siapa yang lebih pantas mendapatkan kekuatan ini. Aku, atau seorang bocah yang bahkan belum memahami apa itu kehormatan.”
Dengan gerakan cepat, Raksa Mandala menghantamkan tongkatnya ke tanah, menciptakan gelombang energi merah yang menyebar dengan kekuatan besar. Lantai di bawah mereka bergetar, dan retakan-retakan kecil mulai muncul di sekeliling altar.
“Larasati, mundur!” Rangga berteriak, menarik gadis itu menjauh dari garis retakan. Ki Jayeng juga bergerak dengan gesit, mengambil posisi untuk melindungi mereka.
Pertarungan dimulai.
Raksa Mandala melangkah maju dengan serangan pertama, gelombang energinya menyapu ke arah Rangga. Pemuda itu melompat ke samping, menghindar dengan gerakan yang cepat, tetapi tekanan serangan itu tetap membuatnya kehilangan keseimbangan sejenak. Ia bangkit dengan cepat, mengangkat tongkat kayunya untuk bersiap membalas.
“Gunakan anginmu, Rangga!” teriak Ki Jayeng. “Jangan lawan kekuatannya secara langsung!”
Rangga memejamkan mata sesaat, mengingat pelajaran yang telah ia dapatkan di perjalanan ini. Ia merasakan aliran udara di sekitarnya, merasakan energi yang tidak terlihat tetapi selalu ada. Ketika Raksa Mandala meluncurkan serangan berikutnya, ia menggunakan tongkatnya untuk mengarahkan angin ke jalur energi merah itu, membelokkannya dari arah mereka.
Raksa Mandala tersentak, terkejut dengan apa yang baru saja dilakukan Rangga. “Kau mulai memahami caranya, ya?” katanya, dengan nada yang lebih serius. “Tapi itu tidak akan cukup!”
Ia melangkah maju dengan kekuatan yang lebih besar, tongkatnya memancarkan cahaya merah yang menyilaukan. Serangan demi serangan menghujani Rangga, membuatnya harus terus bergerak dengan cepat, memanfaatkan angin untuk memperlambat atau mengalihkan setiap gelombang energi yang datang.
Sementara itu, Larasati dan Ki Jayeng mencoba mencari cara untuk membantu tanpa mengganggu pertarungan. Larasati memandang altar di tengah ruangan, matanya tertuju pada pola ukiran yang tampak seperti kunci. “Ki, lihat ini!” katanya sambil menunjuk altar.
Ki Jayeng mendekat, memperhatikan ukiran itu dengan seksama. “Eta simbol... sigana ieu konci pikeun nutup jalur energi Raksa Mandala. Tapi urang kudu nyieun waktu!”
Larasati mengangguk, lalu menoleh ke arah Rangga. “Rangga, kami akan mencoba menghentikan energinya! Tahan dia sebentar lagi!”
Rangga tidak menjawab, tetapi ia mengerti maksud Larasati. Ia mengarahkan seluruh fokusnya pada Raksa Mandala, mempelajari setiap gerakan lawannya dengan seksama. Ketika Raksa meluncurkan gelombang energi besar berikutnya, Rangga tidak lagi hanya menghindar—ia mengarahkan angin untuk melawan gelombang itu, menciptakan perisai udara yang memecah serangan menjadi partikel kecil.
Raksa Mandala mundur beberapa langkah, wajahnya menunjukkan ekspresi frustrasi. “Bagaimana mungkin kau bisa memahami ini begitu cepat?!” serunya, suaranya penuh amarah.
“Aku tidak hanya menggunakan kekuatan, Raksa,” jawab Rangga dengan suara tenang. “Aku mendengarkan angin. Dan angin tidak pernah berpihak pada siapa pun yang menggunakannya untuk kehancuran.”
Sementara itu, Larasati dan Ki Jayeng bekerja dengan cepat di altar. Larasati menyelaraskan bola kristal yang dibawa Rangga ke salah satu pola ukiran, sementara Ki Jayeng menggunakan tongkatnya untuk menyalurkan energi ke dalam pola tersebut. Perlahan, cahaya biru mulai menyelimuti altar, mengalir ke seluruh ruangan seperti gelombang pasang yang menenangkan.
Raksa Mandala menyadari apa yang sedang terjadi. “Tidak! Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil ini dariku!” Ia melangkah maju dengan kekuatan terakhirnya, tetapi sebelum ia bisa melancarkan serangan, cahaya biru dari altar melesat ke arahnya, menyelubungi tubuhnya dalam pancaran yang menyilaukan.
Raksa Mandala berteriak, mencoba melawan energi itu, tetapi cahaya biru perlahan menenangkan amarah dan energinya, seperti angin lembut yang memadamkan api liar. Dalam beberapa detik, ia jatuh berlutut, napasnya terengah-engah.
Rangga berdiri tegak, matanya tertuju pada Raksa Mandala yang kini terlihat lebih lemah. “Gunung ini tidak akan pernah membiarkanmu mengambil apa yang tidak menjadi milikmu,” katanya, dengan nada yang penuh ketenangan.
Raksa Mandala tidak menjawab, tetapi ia tahu bahwa pertarungannya telah berakhir. Cahaya biru di ruangan mulai mereda, menyisakan keheningan yang penuh dengan rasa damai.
“Ayo kita selesaikan ini,” kata Rangga, menatap Larasati dan Ki Jayeng. Dengan langkah mantap, mereka mendekati altar untuk melangkah ke babak terakhir perjalanan mereka. Rahasia Gunung Kendan semakin mendekati titik akhirnya, tetapi mereka tahu bahwa jalan di depan masih penuh dengan tantangan yang lebih besar.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya