Bagaimana jika dua orang yang pernah terlibat perasaan satu sama lain di masa lalu kini harus tinggal satu atap? Akankah cinta yang dulu pernah ada akan bersemi kembali? Atau justru hanya menyisakan luka dan kebencian diantara mereka berdua?
🌻🌻🌻
Setelah menghabiskan waktu enam tahun di negeri orang untuk kuliah dan bekerja, pada akhirnya Adelia memutuskan untuk kembali ke tanah air. Namun, untuk menghindari masa lalunya yang ia pikir sudah memiliki istri dan anak, ia memilih kota B sebagai pelarian.
Siapa sangka, di sana ia justru bertemu dengan pria yang paling ia hindari tersebut.
Varel, pria yang pernah mengisi hati Adelia di masa lalu, ternyata telah menetap di kota yang sama untuk beberapa tahun lamanya. Ditinggal pas sayang-sayange waktu itu membuat dunia Varel terasa jungkir balik kurang lebih dua tahun, hingga ia memutuskan untuk menepi dari orang-orang yang selalu mengingatkannya akan cinta masa lalunya dan memilih kota B sebagai pelariannya.
Dan yang paling mengejutkan adalah, Varel dan Adel ternyata menyewa rumah yang sama akibat miss komunikasi dari pemilik rumah. Sifat keras kepala yang dulu, masih melekat pada diri mereka hingga tak ada yang mau mengalah untuk pergi dari rumah tersebut.
"Pokoknya aku mau tetap tinggal di sini, titik!" ucap Adel kekeh.
"Aku juga! Titik titik titik!" Varel tak mau kalah.
Saat itu Adelia tahu jika ternyata Varel belum menikah dan dengan GeErnya dia berpikir jika pria itu masih menunggunya. Namun, ternyata ia salah. Kini semua tak lagi sama, dimana Varel ternyata sudah memiliki kekasih dan mereka akan segera menikah.
"Baguslah, setidaknya aku tidak perlu terlalu merasa bersalah karena dulu telah egois meninggalkannya," Adel mencoba menghibur hatinya yang ternyata sakit saat mendengar kenyataan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi hari....
Pagi ini Adel sudah rapi dan akan pergi. Ia sedikit tercengang melihat Varel yang sudah duduk di meja makan, ternyata pria itu bekum. Beranhkat ke kantor. Padahal Adel sengaja keluar agak siangan supaya tak melihat prianitu pagi ini.
Varel hanya menatapnya datar. Adel berusaha tetap terlihat tenang menuruni anak tangga dan ia berjalan begitu saja melewati Varel.
Varel langsung berdiri saat adel tepat melewati meja makan, "Kita harus bicara," ucapnya.
Adel menghentikan langkahnya lalu menoleh, "Maaf, aku buru-buru!" ucapnya yang langsung melanjutkan langkahnya keluar.
Varel hanya bisa mendesaah dan duduk kembali menikmati sarapannya.
Sementara Adel berjalan dengan langkah cepat supaya bisa segera pergi dari rumah itu, berada di rumah yang sama dengan pria yang ia cintai namun berstatus sebgaai tunangan wanita lain benar-benar membuatnya terasa sesak napas.
Sebenarnya Adel sudah memikirkan untuk pergi semalam dari rumah itu, tapi ia tak tahu harus kemana. Kondisi butik yang masih dalam tahap renovasi belum bisa ia tempati untuk saat ini.
Lagian, jika dia pindah itu akan sangat terlihat kalau memang di belum bisa move on dari Varel sedangkan Varel sudah jauh-jauh hari move on darinya, bahkan sudah bertunangan dan sekali lagi ego dan keras kepalanya muncul. Kenapa ia yang harus pindah? Dia juga bayar sewa rumahnya bukan? Ia tak ingin terlihat menyedihkan dan memilih pura-pura baik-baik saja dengan tetap tinggal di sana. Setidaknya mungkin sampai butik siap di tempati.
🌻🌻🌻
"Lo kenapa sih? Dari tadi gue perhatiin lo kebanyakan melamun, tahu nggak? Noh lihat! Lo sampai salah tanda tangan, harusnya di sini bukan di sini, ah gimana sih, gue jadi harus buat lagi kan?" omel Rasel, padahal ia susah payah membuat laporan tersebut. Ralat, lebih taptnya ia hanya menjadi perantara saja karena yang membuat adalah juniornya di kantor. Ia hanya membawakannya karena sekalian untuk melihat Varel yang sejak tadi hanya uring-uringan tidak jelas.
Varel hanya melirik sekilas berkas yang baru saja ia tanda tangani, "Tinggal ganti aja. Lagian bukan lo ini yng buat," ucap Varel dengan santainya.
Rasel menarik kursi lalu mendudukinya, "Lo kenapa lagi? Sejak tiba di kantor tadi lo tuh marah-marah mulu, ada masalah?"
"Pusing gue!"
"Minum bodreksin dong, bukannya malah ngomel,"
Varel mendengus, "Emang gue balita di suruh minum bodreksin? Lama-lama lo ngeselin, bikin gue tambah puyeng! Keluar sana!" usir Varel, tapi bukan Rasel namanya jika ia merasa tersinggung diusir dan langsung angkat kaki dari sana, ia justru semakin penasaran dan mendekati Varel.
"Jangan dekat-dekat, udah kayak cewek gatel aja lo nempel-nempel, gerah gue!" sarkas Varel.
"Khawatir gue lo malah darah tinggi, Rel. Udah pusing, marah-marah pula, ke dokter gih! Takutnya lo kena stroke ntar, masih muda juga, belum kawin pula!"
"Sial lo!"
Rasel terkekeh, "Makanya cerita dong sama gue, kenapa? Perasaan kemarin-kemarin lo banyakan senyum-senyum deh, kenapa sekarang uring-uringan begini," ucapnya heran
"Andini dah pulang," ucap Varel singkat.
"Ya bagus dong, emang kenapa? Dia pulang dalam keadaan masih hidup kan? Lalu masalahnya apa?"
Varel hanya menatapnya sinis, suka asal bicara nih temannya satu memang.
"Hem, gue tahu, hati lo mulai bimbang kan? Mulai ragu sama pertunangan kalian karena urusan masa lalu lo yang belum kelar kan sama si my baby bening, kan?"
Varel masih diam, memang benar yang di katakan oleh Rasel.
"Kan kan kan, lo harus tegas dong, Rel. Pikirkan baik-baik. Pilih salah satu biar lo nggak pusing, mantabkan pilihanmu sekarang sebelum semuanya terlambat,"
"Gue nggak perlu mikir lagi, udah jelas gue bakal tetap milih Andini, gue bakal tetap nikahin dia!"
Rasel mendengus, "mulut lo bilang milih Andini, tapi hati lo masih condong ke Adel. Kenapa nggak jujur aja sih? Balas budi nggak harus nyiksa diri juga kali Rel, kalau lo nggak cinta sama Andini nggak harus di paksa, yang ada lo sama-sama menderita ntar,"
"Udah gue bilang, gue sama Adel nggak ada hubungan apa-apa. Itu cuma kisah masa lalu yang nggak penting dan masa depan gue sekarang adalah Andini,"
"Tapi lo yang selalu nunda buat nikahin Andini menunjukkan kalau urusan hati lo sama masa lalu lo itu belum kelar,"
"Bukan gue yang menunda, tapi Andini...." ucap Varel dengan nada rendah.
"Iya, ya? Andini yang nolak, tapi kan dia cinta mati sama lo, kenapa nolak lo ajak nikah ya? Pusing gue, ribet banget sih kisah percintaan lo, bikin mumet, puyeng, ruwet, hasmbohlah apa namanya,"
Entahlah, Varel sendiri juga tidak tahu kenapa. Padahal dulu dia siap jika harus langsung menikahi Andini.
"Mending lo keluar deh, Sel. Gue juga puyeng dengar lo ngoceh. Nih suruh Dewi buat laporan lagi!" Varel melempar dokumen yang tadi salah ia tanda tangani.
Rasel mengambil dokumen tersebut seraya mencebik, "Weekend lo nyanyi ya di cafe gue, ntar gue kasih menu paling spesial, gratis!" ucapnya sebelum pergi.
"Nggak janji gue,"
"Ayolah, biar rame cafe gue, cafe baru mesti ada gwbrakan biar nggak kalah saing, banyuin gue dong. Hue butuh bakik modal nih buat bekal kawin ntar. Kalau cafe sepi kan cafe gue bisa pensiun dini, alias gulung tikar. Gue kan selau bantuin lo kerja, lo masa nggak mau bantu gue sekali aja,"
" Gue gaji lo, Rahayu Selamet! Emang lo mau gaji gue juga? Lagian gue nggak sekali dua kali bantuin lo, modal lo aja separo dari gue! Heran gue apa lo semiskin itu, sampai malak gue buat modalin lo buka cafe, gue yakin tabungn lo masih banyak! "
" Dih ma teman itungan. Lagian lo yang nawarin bukan gue yang malak, catet! jangan fitnah deh!"
Varel terkekeh melihat muka Rasel di yang di tekuk.
"Intinya nih lo mau nggak? Cuma tinggal buka mulut doang, mangap-mangap, kok ya nawarnya gini amat, sok artis lo!" cebik Rasel.
"Hem," sahut Varel singkat yang mana langsung membuat Rasel tersenyum lalu pergi.
Varel mengembuskan napasnya kasar, memang benar apa yang dikatakan Rasel, jika ia tidak mencintai Andini. Bukannya tidak, tapi belum. Karena selama dua tahun ini ia selau berusaha untuk mencintai gadis itu meski belum berhasil sampai sekarang.
Lantas, bagaimana bisa Varel bertunangan dengan Andini tanpa cinta? Semua berawal dari peristiwa dua setengah tahun yang lalu dimana ia mendatangi restauran milik ibunya Andini bersama kliennnya. Yang mana membuat Varel akhirnya berhutang nyawa kepada ibunya Andini.