Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sepuluh
Naii berjalan menyusuri jalanan raya. Ia ingin segera tiba dirumah, sebab Ahnaf dan Aliyah pasti sedang menunggunya.
Ia sudah hampir tiba didepan gang yang menghubungkan kediaman Mbak Fhitry, hingga seseorang menghentikan langkahnya.
"Naii, tunggu," cegah seseorang yang sangat ia kenal.
Naii menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah pria yang sangat ia benci. Tampak sosok itu memepercepat langkahnya dan nafasnya tampak tersengal.
"N-Naii, minta uang lima ratus ribu, abang lagi perlu," ucapnya tanpa rasa malu.
Wanita itu menoleh ke arahnya, lalu menatap dengan tajam. "Tidak tahu malu, mengapa manusia sepertimu masih diberi hidup panjang!" cibir Naii dengan tatapan sinisnya.
"Kau, berani sekali!" ucapnnya terpotong dan ia sudah mengangkat tangannya.
"Apa, mau menamparku?" potong Naii, tanpa rasa takut melihat pria digadapannya, "Kita sudah bercerai, dan aku tidak lagi takut dosa untuk melawanmu,"ucap Naii lagi, lalu memilih untuk pergi.
Sreeeeek...
Hardi menarik pundak Naii. "Berikan aku uangmu," ucapnya dengan nada penuh penekanan.
Naii terhenti sejenak, lalu menekan sikunya pada dada pria tersebut, dan..
Buuuuugh...
Sebuah tendangan mendarat tepat di tengah selang-kangan pria tersebut, dan membuat sentuhan yang sangat keras pada dua buah butir telur yang menggantung.
"Aaaaaaarrggh..." pekik Hardi sembari memegangi benda kesayangannya dengan wajah meringis kesakitan.
"Jika kau ingin uang, maka bekerjalah, jangan hanya tau memeras atau meminta-minta layaknya pengemis. Selama ini aku diam karena masih berstatus istrimu, tetapi saat kau mengucapkan kata cerai, maka aku terbebas dari semua yang menghalangiku untuk berlaku tunduk dan patuh," ucapnya dengan tatapan tajam.
"Kau!" ucap Hardi hendak memukulnya, tetapi rasa ngilu pada selang-kangannya membuat ia mengurungkan niatnya.
Naii pergi meninggalkan pria tak berguna itu, tetapi perlahan ia mengjentikan kembali langkahnya, lalu menoleh sejenak. "Ahnaf dan Aliyah masih tanggungjawabmu, maka beri mereka nafkah. Jika tidak sanggup, aku tidak memaksa, tetapi kamu yang akan menanggung dosa hutang seumur hidupmu," ucap Naii lalu melangkah pergi.
"Dasar, Kau wanita sialaan!!" maki Hardi dengan setengah berteriak.
Naii tak memperdulikan segala makian pria itu. Sepertinya ia mulai kebal dengan segala caci maki yang selama ini ia dapatkan. Mungkin saatnya ia menempah mentalnya agar tak lagi mendapatkan penindasan.
Wanita itu berjalan menyusuri gang yang mana ia kembali melihat para wanita penggunjing sedang berkerumun didepan gang dan tampaknya mereka tidak puas setiap saat kerjanya hanya bergosip ria tanpa pekerjaan yang jelas.
Ia memberanikan dirinya untuk terus mepangkah, meskipun nantinya ia akan menerima sindiran yang menyakitkan.
Seperti dugaannya, ia melihat pandangan mata mereka melirik ke arahnya dengan tatapan yang sangat menjijikkan.
"Lihat, tuh, si janda. Jam segini baru pulang, mungkin lagi jual diri, hahahaha," celoteh Maya yang pastinya sangat menyakitkan telinga.
"Kira-kira ada yang mau pakai jasanya gak, ya? Orang kucel dan gak ada cantik-cantiknya gitu siapa yang mau," Susi menimpali,
"Hahahaha," tawa mereka serempak menggema dimalam yang begitu dingin.
Naii terus melangkah melewati para penggosip tersebut, ia sepertinya harus menutup telinganya dari segala cacian dan makian para wanita tersebut.
"Janda, janda, pasti lagi mengincar suami orang, tuh," Rani tak mau kalah untuk membuat suasana semakin memanas.
Ingin rasanya Naii menyumpal mulut mereka satu persatu dengan karung goni yang dibawanya, dan mungkin juga menjambak mereka dengan keras, tetapi ia masih berfikir jika ia salah bertindak maka bisa saja ia dilaporkan ke polisi dan akhirnya ia harus berpisah dengan kedua buah hatinya.
Ia berusaha meredam emosinya. Mungkin pepatah 'An-jing menggonggong, kafilah berlalu' lebih tepat untuk dirinya saat ini.
Ia tidak perlu menanggapi celoteh orang-orang yang merendehkan serta meremehkannya, tetapi ia harus membungkam mereka dengan kesuksesan yang ia raih suatu saat nantinya.
Naii mempercepat langkahnya, dan segera berbelok menuju ke arah tempat dimana ia akan beristirahat malam ini.
Tetapi tiba-tiba ia dicegah oleh seseorang dan tentu saja itu mengagetkannya.
"Naii, boleh berbicara sebentar," ucap seorang pria yang bertubuh tinggi dengan kumisnya yang melintang.
Pria berkulit coklat itu menatapnya dengan penuh menjelajah, seolah tak ingin melewatkan sedikitpun keindahan yang dimiliki oleh Naii dibalik daster lusuhnya.
Naii merasa risih dengan pandangan mata pria yang seolah ingin menerkamnya. "Kang Jojo, maaf, Kang. Saya takut orang salah faham, apalagi jika sampai Maya tahu, ini akan menimbulkan masalah nantinya," wanita itu berusaha menghindari pria tersebut dan melewatinya.
"Tunggu," Jojo menarik pergelangan tangan Naii.
"Lepasin, jangan coba menyentuhku," tolak Naii dengan suara sedikit tinggi, sehingga membuat orang-orang yang sedang berada diwarung mbak Gina menoleh ke arah kejadian perkara.
Melihat orang-orang menatap ke arah mereka, Jojo melepaskan tangan wanita tersebut. "Eh, Naii, jangan tarik-tarik saya, dong. Kalau kamu jadi janda jangan rayu-rayu saya," Jojo memutar balikkan fakta.
Naii tercengang mendengarnya, begitu juga dengan para ibu-ibu yang ada diwarung mbak Gina.
"Kau," Naii merasakan jika ucapannya tercekat ditenggorokannya.
"Eh, Naii, kalau sudah jadi janda jangan gatel, dong. Hari ini Jojo yang coba kamu rayu, besok-besok bisa saja suami kami yang kamu jadikan target," ucap Santi yang termakan dengan hasutan Jojo.
Naai merapatkan giginya. Ingin rasanya ia meninju pria dibelakangnya, tetapi ia masih mencoba bersabar.
"Awas, Kau!!" ancam Naii, lalu bergegas pergi.
Naii pulang dengan hati yang kesal. Ia merasa jika hidupnya sangat nelangsa. Apa salah dirinya?
Setibanya didepan gudang, ia mengetuk pintu, dan terdengar langkah kaki mungil seseorang, tentunya itu adalah langkah Ahnaf.
"Naii," panggil seseorang.
"Haah, mbak Fhitry ngagetin saja," ucap Naii sembari mengurut dadanya karena terkejut.
Mbak Fhitry tersenyum tipis. "Kamu baru balik?" tanyanya.
Naii mengangguk lemah. Tampak raut wajah lelah tergambar jelas diwajahnya.
"Ini ada ikan sambal, buat makan malammu," ucap wanita baik hati itu, "Dan ini, ambillah." sembari menyerahkan kantong kresek.
"Makasih banyak, Mbak. Ini apa, Mbak?" tanya Naii sembari memeriksa isi kantong kresek tersebut.
"Itu ada dua stel pakain untuk kamu. Bekas punya mbak, tetapi masih layak pakai. Didalam juga ada lipstik, mulailah untuk merias dirimu, agar mereka tak lagi meledekmu kucel," ucap Mbak Fhitri dengan raut wajah sedih sembari mengusap punggung Naii. "Ingat, Naii. Sesulit apapun hidup, perempuan jangan lupa untuk berias. Jika bukan kita yang mengurus diri sendiri, lalu siapa lagi," pesan Mbak Fhitri diakhir kalimatnya.
Naii menarik nafasnya. Mungkin benar yang dikatakan oleh Mbak Fhitri, ia harus kembali merias dirinya yang sudah lama sekali tidak menyentuh lipstik karena sibuk mencari nafkah.