Pertemuan yang tidak sengaja dengan orang yang sangat menyebalkan menjadi awal sebuah takdir yang baru untuk dr. Fakhira Shakira.
Bruukk
"Astaghfirullah." Desis Erfan, ia sudah menabrak seorang dokter yang berjalan di depannya tanpa sengaja karena terburu-buru. "Maaf dok, saya buru-buru," ucapnya dengan tulus. Kali ini Erfan bersikap lebih sopan karena memang ia yang salah, jalan tidak pakai mata. Ya iyalah jalan gak pakai mata, tapi pakai kaki, gimana sih.
"It's Okay. Lain kali hati-hati Pak. Jalannya pakai mata ya!" Erfan membulatkan bola matanya kesal, 'kan sudah dibilang kalau jalan menggunakan kaki bukan mata. Ia sudah minta maaf dengan sopan, menurunkan harga diri malah mendapatkan jawaban yang sangat tidak menyenangkan.
"Oke, sekali lagi maaf Bu Dokter jutek." Tekannya kesal, kemudian melenggang pergi. Puas rasanya sudah membuat dokter itu menghentakkan kaki karena kesal padanya. Erfan tersenyum tipis pada diri sendiri setelahnya.
Karena keegoisan seorang Erfan Bumi Wijaya yang menyebalkan, membuat Hira mengalami pelecehan. Sejak kejadian itu ia tak bisa jauh dari sang pria menyebalkan.
Rasa nyaman hadir tanpa diundang. Namun sayang sang pria sudah menjadi calon suami orang. Sampai pada kenyataan ia sudah dibeli seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Ilmi masuk ruangan sambil memijat pelipis, ia duduk di sofa depan Erfan. Bingung harus apa, baru pertama kali ada yang berani melakukan pelecehan di wilayah perusahaan.
"Sudah tau siapa pelakunya?" Tanya Erfan datar, Ilmi mengangguk, "siapa?"
"Keponakan gue." Erfan ingin mengumpat, tapi diurungkannya saat merasakan tubuh Hira bergetar hebat.
"Tenang Ra, lo aman." Erfan mengeratkan pelukannya, "tenang ya tenang." Erfan berdiri menggendong Hira ala kanguru, gadis itu ketakutan melihat Ilmi. Kaki Hira melingkar di pinggang Erfan, tangannya melingkar di leher dengan kepala terbenam di dada bidang Erfan.
Erfan berjalan ke kursi Ilmi duduk di sana memutar kursi agar Hira tidak melihat siapapun. "Hira, coba buka matanya." Erfan mengangkat dagu Hira, Hira menurut matanya yang sembab terbuka perlahan.
"Jangan takut, tidak ada yang menyakiti lo di sini selama ada gue." Erfan tersenyum manis, Hira tenang berada dalam dekapan Erfan. Ketakutannya menguap saat Erfan membujuknya dengan suara lembut.
"Duduk di sini bentar, mau ya?" Hira menggeleng manja, astaga Erfan tak sanggup meninggalkannya kalau begini. "Oke, kita tetap di sini sampai lo bisa tenang." Erfan mendekap kembali tubuh Hira, mengelus punggungnya pelan.
"Guntur!!" Teriak Tomi, suara itu membuat Guntur langsung menundukkan wajah, hidupnya dalam bahaya sekarang malaikat maut sudah ada di depannya. Tomi yang paling sensitif dengan kasus pelecehan seperti ini.
Hira bergetar hebat, keringat dingin mengucur di keningnya. Dia ketakutan, Erfan memutar kursi, menempelkan telunjuk di bibir mengisyaratkan untuk diam. Entah Erfan diuntungkan atau dirugikan dalam masalah ini, Hira tidak mau lepas darinya.
Ghani, Tomi dan Zaky yang baru datang terpaksa duduk menunggu situasi membaik.
"Dimana pelakunya?" Tanya Tomi pelan, agar Hira tidak terganggu.
"Masih ada di ruangan, terserah mau kalian apakan." Ilmi mendesah berat, posisinya sekarang sulit. Ia harus bicara apa nanti dengan kakaknya.
"Guntur, urus sekarang!" Titah Tomi, Guntur mengangguk mengikuti Ilmi yang menunjukkan ruangannya.
Erfan berpindah ke sofa masih dengan posisi yang sama menggendong Hira.
"Takut...!" Cicit Hira, Erfan mengangkat wajah Hira untuk menatapnya, lalu tersenyum. "Tidak ada yang perlu ditakuti, ada gue di sini. Lo tenang ya. Biar bisa cepat pulang." Tidak ada jawaban, Hira membenamkan kepalanya kembali di dada Erfan.
"Gue gak tau harus gimana sekarang?" Erfan mendesah frustasi.
"Allah selalu adil Fan," Zaky tersenyum mengejek.
"Ya, gue salah. Sekarang lihat, dia gak mau ditinggal." Lirih Erfan, tangannya menutupi kedua telinga Hira.
"Nikahi!" Ucap Ghani santai, tapi kenyataan tidak sesantai itu. Erfan hampir gila sekarang. "Itu ide gila Gha, sebentar lagi gue nikah."
"Apa yang akan terjadi kalau calon istri lo lihat adegan ini." Zaky tersenyum miring.
"Please, gue terdesak. Dia takut sama Guntur. Jangan bikin gue tambah frustasi. Sekarang bantu gue biar dia cepat sembuh traumanya."
"Mama... Mama jangan tinggalin Rara..."
"Mama Rara takut Ma... "
"Maaaa tolongin Rara..." Hira terus bergumam dengan mata yang terpejam.
"Rara, tenang Ra!" Erfan menepuk pipi Hira lembut.
"Dia punya trauma sebelum ini, kacau lo Fan." Zaky berdecak, Hira terus bergumam. Keringat dingin kembali mengucur deras.
"Hira bangun, Ra!" Bisik Erfan lagi, Hira terus bergumam tak kunjung bangun. Baru sebentar dia memenjamkan mata.
"Gue ragu dia bisa jauh dari lo Fan." Kalimat Tomi membuat Erfan tersentak. Mana bisa begitu, ia bukan siapa-siapa Hira.
"Hira bangun!" Erfan menempelkan pipinya, cukup. Erfan sudah menyerah, ia frustasi menghadapi Hira. "Hira bangun, please. Jangan seperti ini." Mohon Erfan, akhirnya air mata menetes juga karena terlalu lelah.
"Eergh," Hira melenguh, sebelum membuka matanya. Kedua tangan Erfan menempel di pipi Hira. "Kita ke rumah sakit ya Ra." Bujuk Erfan lembut, Hira mengangguk.
"Gadis pintar, jalan sendiri atau di gendong?" Tawar Erfan dengan tersenyum manis.
"Gendong." Cicit Hira, Erfan mengangguk. "Temani gue ke rumah sakit, gue gak bawa mobil." Pinta Erfan, Zaky mengangguk. Ia mengantarkan Erfan ke rumah sakit, sedang Tomi dan Ghani masih tinggal di ruangan Ilmi.
Saat menuju basemen semua mata tertuju pada Erfan. Erfan sengaja membenamkan wajah Hira di dadanya agar tidak dikenali. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, ia belum bisa berpikir.
Setelah dari rumah sakit, Erfan mengantar Hira pulang bersama Zaky. Sekarang gadis itu sudah lebih tenang, Erfan terus menggenggam tangan Hira sepanjang jalan.
"Berani di apartemen sendirian?" tanya Zaky, ia duduk di sofa berhadapan dengan Hira. Hira menggeleng lemah, Zaky dan Erfan saling pandang.
"Gue gak mungkin nemenin lo di sini, biar Ressa yang nemenin ya." Wajah Hira berubah sendu, tapi tetap mengangguk.
"Anak pintar." Erfan menepuk puncak kepala Hira, menarik kedua sudut bibir. "Mandi gih, habis itu istirahat." Hira mengangguk lagi, lalu meninggalkan Erfan dan Zaky.
"Gimana rasanya, bisa puas memeluk Hira?" Zaky tersenyum mengejek, ia tau hati temannya itu condong kemana.
"Nyaman, puaskan lo?" Erfan berdecak kesal, sekarang baru jam sebelas pagi. "Lo terusin sendiri program ini, gue angkat tangan."
"Gak masalah, gue cuma memenuhi keinginan lo. Sekarang sudahkan, lo pasti juga sudah puas melihat Hira kena mental." Ucapan Zaky menghujam tepat di jantung Erfan, ia memang ingin menyiksa Hira tapi tidak sampai jadi begini juga.
"Ya gue puas, sangat puas dengan kebodohan gue sendiri."
"Inilah konsekuensinya, harus lo terima. Sekarang saatnya belajar dari kesalahan. Jangan terlalu membenci, itu bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Kalau sudah begini bukan cuma dia yang trauma, lo juga. Sampai kapan pun lo pasti akan dihantui kejadian ini."
Erfan memejamkan mata, kepalanya terasa berat. Masalah ini akan berdampak besar untuknya. Masalah yang terjadi karena kebodohannya.
Tiga puluh menit kemudian Ressa datang. Hira masih berada di kamar. Entah apa yang gadis itu kerjakan.
"Saya bebas tugas nih bos?" Ressa menghempaskan bokongnya di sofa.
"Bebas selamanya tanpa gaji." Erfan mencebikkan bibirnya.
"Yeee, jangan dong saya masih belum dapat gebetan pengusaha, masih butuh duit."
"Lo udah tau apa yang terjadi dengan Hira?"
"Tau, sudah heboh." Ressa menunjukkan sebuah artikel yang sedang viral dari ponselnya. Erfan meraup wajah frustasi.
"Zak, tolong tutup semua berita. Gue bakal dibunuh Mami kalau begini."
"Terlambat bos, tadi Mami bos sudah ke kantor nyariin bos. Saya bilang masih ada urusan di luar."
"Woowww, masalah gue beranak pinak sekarang."
"Dah tenang aja, ikuti alur kemana membawanya. Kalau gak jodoh dengan calon istri lo, berarti jodoh dengan Hira." Zaky berucap dengan setengah tertawa.
"Gue hampir gila, lo bisa-bisanya mentertawakan penderitaan gue Zak."
"Tenang bos, saya akan selalu mendukung bos. Mau nikah sama Bilqis atau sahabat saya terserah aja. Saya juga kaget sampai Hira bersikap begitu sama bos karena saking takutnya mungkin. Padahal gak ada cowok yang bisa menyentuhnya sembarangan."
"Gue juga udah bikin dia ternoda dong Sa."
"Angkmgap aja khilaf yang menyenangkan bos, tidak akan bisa terulang lagi." Ressa tersenyum, lalu beranjak menuju kamar Hira. "Hirraaaa!! Lagi ngapain? Boleh masuk gak? Gue nginap di sini ya?"
Hira membuka pintu kamar, ia sudah menggunakan piyama dan jilbab kaos. "Udah sampai Sa?"
"Iya dong, kalau belum. Gue ini apaan? Malaikat? Setan? Iblis?" Hira meneliti penampilan Ressa, berpikir keras. "Lebih cocokan bentukan iblis deh." Hira terkikik geli.
"Gue kira lo beneran hampir gila Ra, tapi ternyata memang gila. Bukan hampir lagi." Ressa dan Hira tertawa gelak, Erfan tersenyum melihat Hira bisa tertawa lagi. Tidak salah ia meminta Ressa yang menjaga Hira.
udah untung suami mendukung pekerjaan nya,malah mau di bikinin tempat praktek sendiri, kurang apa coba si erfan