Sekuel(Emily:Ketika cinta harus memilih)
Maxime Alexander Lemos pria berusia 37 yang merupakan orang kepercayaan pimpinan mafia paling kejam di Jerman jatuh cinta pada seorang gadis namun cintanya harus kandas terhalang restu dari orangtua gadis yang ia cintai dan meninggalkan luka yang begitu mendalam hingga cinta itu berubah menjadi dendam. Ia pergi meninggalkan semuanya merelakan orang yang ia cintai menikah dengan pria pilihan orangtua.
Hingga berbulan lamanya dan keduanya kembali dipertemukan dengan keadaan yang berbeda.
Bagaimana kisah mereka, yuk simak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi Zoviza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14.Mundur
"Dan kau kira semudah itu keluar dari sini, Max?," ucap Kakek Armand menodongkan senjata api miliknya pada Maxime yang berjalan menjauhinya.
Maxime menghentikan langkahnya tanpa menoleh kebelakang. Ia tampak tersenyum miring karena ia tahu semua ini pasti akan terjadi."Kau tega menghabisi cucumu sendiri Kek? Jika ia, maka lakukanlah!," jawab Maxime membalikkan badannya lalu merentangkan kedua tangannya menatap Kakek Armand yang menodongkan senjata api miliknya.
Maxime tahu jika Kakek Armand tidak akan tega melukainya, Kakek Armand sudah berjanji pada Grandpa nya untuk menjaganya dan melindunginya sebelum Grandpanya menghembuskan nafas terakhirnya.
Maxime membalikkan badannya dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Tempat dimana selama ini ia mengabdikan dirinya pada kelompok ini. Meski sebenarnya dirinya lebih berhak mewarisi kepemimpinan ini karena kelompok ini dibentuk own mendiang Grandpanya sendiri. Karena saat ini ia masih sangat kecil maka Grandpanya menunjuk Kakek Armand yang saat itu menjadi orang kepercayaannya untuk mengambil alih kepemimpinan. Dan jadilah ia dilatih oleh Kakek Armand setelah ia ia beranjak dewasa. Akan tetapi ia akan tetap melaksanakan tugas terakhirnya besok malam untuk membantu kelompok ini menyerang musuhnya.
Maxime melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang cukup sepi karena Markas mereka yang terletak ditempat yang jauh dari pemukiman penduduk. Ia setelah ini berencana untuk pergi ke kediaman utama keluarganya karena ia sudah sangat merindukan Grandmanya dan juga masakannya.
Maxime melirik spion mobilnya dan ternyata mobilnya diikuti seseorang yang tidak lain adalah Revan. Ia sangat mengenali mobil milik dari mantan rekannya itu. Maxime tersenyum miring karena ia sudah menduga jika Revan pasti akan mengikutinya.
Maxime menambah kecepatan mobilnya dan mengurung niatnya untuk pulang ke kediaman utamanya keluarganya. Maxime membelokkan mobilnya menuju dermaga. Ia tidak ingin Daddy dan Grandmanya ikut menjadi korban dari orang-orang yang kini mengikutinya.
Maxime menghentikan mobilnya di jalanan yang cukup sepi lalu membuka dasbor mobilnya mengambil senjata api miliknya yang selalu ia bawa kemana-mana untuk berjaga-jaga. Maxime menyelipkan senjata api itu dibalik bajunya lalu turun dari mobilnya bersamaan dengan mobil Revan yang berhenti tepat didepan mobilnya.
Maxime duduk di atas kap mobilnya sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Pria itu menatap dingin pada Revan dan Alvira yang tampak turun dari mobil. Pria itu tersenyum miring melihat Revan berjalan dengan angkuhnya menghampirinya.
"Ternyata kau memiliki keberanian yang cukup besar Max keluar dari keanggotaan," ucap Revan menyulut rokoknya.
Maxime terkekeh pelan mendengar ucapan Revan."Lalu apa maumu, Revan?," tanya Maxime tersenyum miring menatap Revan dan Alvira bergantian dengan tatapan tenang. Ia tidak merasa takut sama sekali pada kedua orang yang kini berdiri dihadapannya. Ia memiliki kemampuan ilmu beladiri yang tinggi dari keduanya.
"Kau tahu bukan Max, setiap orang yang keluar dari keanggotaan itu berarti menjadi musuh kami?," ucap Revan menepuk pelan pundak Maxime.
"Hehehe... lalu kau ingin menghabisi ku disini, begitu?," tanya Maxime terkekeh geli mendengar ucapan Revan yang seakan-akan dia adalah pembunuh yang begitu handal.
"Menurutmu?," jawab Revan kembali bertanya dan langsung menodongkan senjata apinya tepat dikepala Maxime.
"Hahaha... memegang senjata saja mau belum benar Revan lalu berlagak ingin membunuhku. Kau tidak pernah bisa menggunakan senjata ini dengan benar, itulah kenapa kau seringkali terluka saat kita melakukan penyerangan," ucap Maxime tergelak keras.
"Kau-- Revan menarik pelatuk senjata apinya karena tersulut emosi karena ucapan Maxime.
"Kenapa, aku benar bukan?. Jika kau tidak ada apa-apanya tanpa aku Revan," gelak Maxime menertawakan Revan yang siap melepas peluru yang ada di senjata apinya.
"Jangan banyak bicara kau Max," teriak Revan.
Dor
Maxime berhasil mendorong tangan Revan sehingga tembakan itu hampir saja mengenai Alvira jika saja gadis itu tidak segara menghindar. Maxime tersenyum puas berhasil menyulutkan emosi Revan.
"Revan, kau mau membunuhku?," teriak Alvira dengan tatapan tajamnya pada Revan.
"Maafkan aku Vira, dia--
"Jangan menyalahkan orang lain atas ketidakmampuanmu Revan," ucap Maxime.
Revan menyerang Maxime dengan tangan kosong setelah melempar senjata apinya. Senjata api itu hanya memiliki satu peluru saja dan ia tidak memiliki senjata apapun lagi. Dan dengan sangat terpaksa ia harus melawan Maxime dengan kosong.
Dan seperti biasanya, Revan tidak akan nampak melawan Maxime yang memiliki ilmu bela diri yang kuat dan tidak hanya mempelajari satu ilmu bela diri saja tapi ia menguasai beberapa ilmu bela diri. Dan dapat dibayangkan kondisi Revan saat ini yang sudah terkapar diatas aspal sedangkan Maxime terlihat santai saja.
Sedangkan Alvira tampak diam saja tanpa berniat untuk menolong Revan. Ia sangat tahu kemampuan ilmu beladiri yang di miliki Maxime dan tentu saja ia tidak akan mampu mengimbanginya. Dan ia juga tidak ingin babak belur ditangan Maxime, ia harus menyimpan tenaganya untuk besok malam.
"Sudah aku katakan Revan, kau tidak akan bisa mengimbangiku," ucap Maxime tersenyum melihat Revan yang sudah meringis kesakitan.
Maxime kembali memasuki mobilnya dan sebelum itu ia meminta Alvira untuk membawa Revan pergi. Pria yang memiliki paras tampan dan juga tatapan yang begitu dingin itu melakukan kembali mobil meninggalkan Alvira yang sedang membantu Revan untuk masuk kedalam mobil mereka.
***
"Bi... boleh aku ikut kalian untuk berbelanja?," tanya Amora saat turun dari lantai atas kamarnya pada dua orang maid yang tenang bersiap-siap untuk berbelanja membeli kebutuhan makanan. Mereka akan berangan mengunakan helikopter untuk bisa sampai di kota.
"Maaf Nona, anda tidak bisa ikut kami karena jika sampai Tuan tahu kami disini pasti akan berada di dalam masalah," jawab salah satu maid.
Amora tampak lesu mendengar jawaban maid itu. Ia sungguh sangat bosan disini dan tidak bisa kemana-mana karena maid juga melarang keluar dari Mansion ini.
Amora kembali naik kelantai atas, sungguh ia merasa sangat bosan disini tanpa melakukan aktivitas apapun. Maid juga melarangnya melakukan pekerjaan disini. Ia hanya tinggal makan dan tidur saja dan semuanya sudah di kerjakan oleh para maid yang bekerja disini.
Bahkan Amora tidak memikirkan ponsel untuk menghubungi seseorang. Entah kemana perginya ponsel miliknya sekarang. Amora berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke Lautan lepas. Ia berdiri sembari memangku kedua tangannya menikmati angin yang menerpa wajah polosnya tanpa polesan make up.
Sampai detik ini ia belum kunjung tahu siapa yang membawanya kesini. Para maid kompak menyembunyikan siapa yang sudah menolongnya.
Sejauh mamandang, hanya lautan lepas yang terlihat dan ia yakin jika Mansion ini berada di tengah-tengah lautan luas. Untuk bepergian membeli bahan makanan saja para maid harus menggunakan helikopter.
Amora menghela nafas beratnya, entah sampai kapan ia berada disini. Ia yakin Kakek Armand pasti kelimpungan mencari keberadaanya sekarang.
...****************...
semoga para penjaga tidak ada yg berkhianat
bagaimana busuk nya kake Arman