Story of Mizyan Abdillah. Sekuel dari EMPAT SEKAWAN LOVE STORY.
Keputusannya menjadi seorang mualaf tidak serta merta hidupnya dalam ketenangan. Godaan dari teman masa lalu, cinta yang mulai tumbuh di hati, namun ternyata tidak mudah untuk menaklukan wanita yang selalu hadir menguasai pikiran. Makin bertambah masalah yang menimpanya kala menyadari jika aset vitalnya tak lagi berfungsi.
Mampukah ia istiqomah menjadi muslim yang taat dengan segala masalah yang menghampirinya?
Bisakah ia mendapatkan hati dari wanita yang didambakannya?
Rahma. Dia belum siap menikah lagi. Namun bujukan sang ibu berpuluh kali membuat keteguhannya mulai goyah.
"Mizyan lelaki yang baik. Seorang mualaf yang bersungguh-sungguh belajar agama. Dia bisa menjadi imam untukmu dan Dika."
Benarkah sudah waktunya ia menerima cinta yang lain, disaat cinta dan kenangan bersama almarhum suaminya masih ia rawat dan pupuk di hatinya.
MELUKIS SENJA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Hujan Malam Minggu
Mizyan berpelukan dengan Noval, mempelai pria yang merupakan temannya di Jakarta. Keduanya tampak semringah sebab beberapa bulan tak bersua raga, hanya berkomunikasi lewat chat. Ia pun tulus mengucapkan selamat dan do'a untuk sepasang pengantin itu.
"Thanks, bro. Gue seneng lo bisa hadir. Tapi kok nggak bawa gandengan." Noval meninju bahu Mizyan yang hanya tertawa sumbang mendapat ledekannya. "Kita foto dulu, bro. Biar nular, cepet dapat pendamping."
Dengan pasrah, Mizyan mengikuti kemauan Noval dimana dia berfoto diapit oleh sepasang pengantin yang tampak penuh kebahagiaan dengan dua kali take gaya cool dan gaya gokil.
Turun dari pelaminan, ia bertemu teman-teman klub otomotif yang juga datang dari Jakarta. Sehingga pesta malam ini menjadi ajang reuni yang menyenangkan penuh canda tawa. Puas berbincang dan becanda dengan teman-teman, ia pamit menuju stan minuman untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Mizyan mengedarkan pandangannya mencari letak stan minuman. Sehingga tanpa sengaja matanya menangkap sosok wanita cantik yang dikenalnya tengah duduk di barisan kursi pojok yang cukup lengang. Tidak sendiri, tapi bersama seorang pria keren.
Rahma dengan siapa?
Mizyan memilih mengamati dari jauh. Mengingat Rahma yang selalu ketus padanya, bukan waktunya ia datang mendekat. Bisa-bisa mendapat malu sebab Rahma tampak akrab dan ceria bersama pria itu. Meski tak dipungkiri, hawa dingin AC yang menerpa disekitarnya tak menyejukkan tubuhnya yang mendadak gerah.
Kesempatan akan selalu ada. Buah kesabaran menunggu, tak lama Rahma beranjak pergi seorang diri. Menjadi asa untuknya bisa bertemu dengan wanita yang berhasil mengusik pikiran.
.
.
.
Joke yang dibuat Koko membuat Rahma tak bisa menahan tawa. Sepertinya pria sipit yang selalu santai menjalani hidup itu tak pernah kekurangan stok candaan sehingga membuat Rahma tak kuat menahan tawa. Obrolan ringan yang mengalir, sampai tak terasa 1 cup es krim licin tak tersisa.
"Mau makan apa lagi? Aku ambilin." Koko menawarkan diri melihat Rahma yang menaruh cup kosong di pinggir kursi.
Rahma menggeleng. "Udah kenyang, Ko."
Ia lalu menoleh ke arah panggung musik begitu intro sebuah lagu mulai dimainkan. Tampak selama intro, penyanyi pria itu menyapa tamu undangan yang baru datang.
Kupejamkan mata ini
Mencoba 'tuk melupakan
Segala kenangan indah
Tentang dirimu, tentang mimpiku
Entah kenapa, ada yang nyeri dan perih mengenai ulu hati begitu bait lagu mulai dinyanyikan. Wajahnya kini memucat dengan bibir bergetar.
Semakin aku mencoba
Bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan, tolonglah diriku
Rahma tak kuasa lagi menahan gejolak di dada yang membuat sesak dan badannya memanas. Ia pun pamit kepada Koko yang tengah menerima telpon masuk, untuk ke toilet.
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana kau rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Setengah berlari dengan tetes air mata yang mulai jatuh, ia bergegas menuju arah toilet sesuai petunjuk. Lagu itu sungguh membuat dadanya sangat sesak. Rasa rindunya kepada almarhum. Seolah ungkapan perasaannya tengah disuarakan di depan khalayak umum.
"Rahma!"
"Rahma!"
Suara panggilan seorang pria membuat Rahma berhenti melangkah memasuki koridor toilet. Ia menyempatkan menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa dicegah sebelum membalikkan badan.
"Dokter Gunawan?!" Ia memaksakan mengulas senyum begitu tetangganya itu sudah berdiri berhadapan.
"Kamu kenapa, sakit?" Dokter Gunawan memperhatikan dengan seksama gestur Rahma yang tegang dan gemetaran.
"Ah, tidak Dok. Aku hanya kebelet mau ke belakang." Rahma mengelak sambil membuang muka ke sembarang arah sebab tetangganya itu menatapnya tajam.
"Saya seorang dokter, Rahma. Nggak bisa dibohongi."
"Sebaiknya aku antar kamu pulang sekarang. Jangan sampai kamu kenapa-kenapa di sini."
Tak bisa aku ingkari
Engkaulah satu-satunya
Yang bisa membuat jiwaku
Yang pernah mati menjadi berarti
Rahma spontan menutup telinga sebab nyanyian dari panggung musik masih saja mengalun dan terdengar jelas.
"Astagfirullah Hal'adziim." Tangannya spontan mengurut dada mencoba menahan desakan yang makin menghimpit.
"Rahma, ayo aku antar pulang." Dokter Gunawan mulai cemas melihat Rahma yang tampak kacau. Ia memegang lengan Rahma untuk menuntunnya keluar.
"Uma, tau nggak. Di komplek kita sekarang ada duren sawit."
"Pengusaha duren dan sawit, maksud Ceu Imas?"
"Ihh Uma mah nggak gaul. Duren sawit itu duda keren sarang duit."
"Itu lho dokter Gunawan....sekarang resmi jadi duda. Kemarin sidang ketok palunya."
"Menurut kabar burung sih, istrinya terciduk selingkuh di sebuah hotel."
"Hus ah. Jangan suka gibah."
"Eh ini mah fakta, Uma."
Tetiba ucapan Ceu Imas saat kemarin di dapur, terngiang kembali. Membuat Rahma menarik tangannya dari pegangan dokter Gunawan.
Aku nggak mau kena gosip kalau pulang dengannya.
"Maaf, dok. Ayah sudah menjemput di depan."
"Permisi."
Rahma menguatkan diri berjalan cepat menuju arah pintu keluar tanpa menoleh lagi ke belakang dimana sang dokter memanggil namanya. Ia harus berjalan tersendat melewati lalu lalang tamu yang menghangi jalan. Membuatnya harus kembali mendengar nyanyian yang seakan tak ada akhir.
Namun kini kau menghilang
Bagaikan ditelan bumi
Tak pernahkah kau sadari
Arti cintamu untukku?
Entah di mana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah di sana s'lalu rindukan aku?
Seperti diriku yang s'lalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Lagu HAMPA itu seakan menghantui langkahnya sampai ke luar lobby. Lututnya serasa lunglai dan membuat jalannya terseok saat berada di parkiran.
Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit yang hitam pekat. Hujan deras pun turun dengan tanpa aba-aba mulai membasahi pakaian Rahma yang belum siap untuk berteduh.
Hiks hiks hiks.
Rahma menyeka bulir-bulir air mata yang berjatuhan bersama air hujan yang menerpa wajah. Alam seolah turut berduka melihat dirinya yang sembilu. Hingga sebuah mobil sport merah berhenti menjegal langkahnya yang terseok dan hampir jatuh. Namun sepasang tangan kokoh berhasil menahan tubuhnya yang hampir menyentuh aspal.
"Rahma, ayo masuk ke mobil. Kamu bisa sakit."
Ia sempat menatap wajah pria yang memapahnya memasuki mobil. Entah karena tubuhnya yang sudah tak berdaya, entah karena hujan yang memaksanya mengalah, sehingga ia patuh akan perintah pria yang tak lain adalah Mizyan.
****
Mobil melaju meninggalkan hotel dengan kecepatan sedang. Hening melingkupi suasana dalam mobil. Tampak di luar hujan semakin deras mengguyur jalanan beraspal. Mizyan memperlambat laju mobil sebab jalan di depannya tampak berkabut.
"Jangan ditahan." Mizyan menoleh sesaat kepada Rahma yang tengah menyusut sudut mata."
"Kalau dengan menangis, perasaanmu menjadi lebih tenang. Menangislah, Rahma."
"Saya tidak nangis kok." Sahut Rahma dengan ketus tanpa menoleh ke arah Mizyan yang kini senyum-senyum sebab komentar yang tak sesuai kenyataan.
"Rahma bukan Bunda. Hanya Dika yang boleh memanggil begitu. Aku sudah memanggil namamu dengan benar kan?" Mizyan menoleh sesaat dengan senyum dikulum. "So, jangan galak-galak lagi dong. Masa sama orang lain ramah, sama aku galak terus."
Hening, tak ada jawaban.
Dengan sudut mata, Mizyan melihat Rahma yang menunduk dengan nafas turun naik. Begitu melihat SPBU besar di depannya, ia membelokkan mobil memasuki SPBU yang kebetulan ada tempat parkir yang teduh dalam naungan atap baja ringan.
"Kenapa berhenti di sini?" Dengan suara yang serak, Rahma tampak kaget mengetahui mobil yang ditumpanginya berhenti di SPBU.
"Apa kamu yakin akan pulang dalam keadaan begini?" Tatap Mizyan dengan lembut. "Tenangkan diri dulu, baru kita pulang."
"Aku nggak apa-apa kok." Rahma kembali menunduk dengan suara yang serak dan tak tak lagi ketus.
"Maaf jika tebakanku salah."
"Lagu tadi----"
"Kamu teringat almarhum kan?"
"Tidak." Rahma menggeleng tanpa mengangkat wajah.
"Kamu merindukannya kan?"
"Tidak."
"Menangislah, Rahma." Mizyan merendahkan suaranya demi melihat bahu Rahma yang berguncang.
"Jangan malu."
"Tumpahkan perasaan yang membuat dadamu sakit agar plong."
Hiks.
Hiks hiks.
"Aku kangen abang, hiks----"
Bendungan air mata pun kini jebol tak bisa lagi ditahan. Rahma menangis tersedu menyebut nama almarhum suaminya dengan wajah menunduk.
Ada bahu untukmu bersandar.
Ada dada untukmu berlindung.
Tapi pasti kamu tak akan mau.
Mizyan memilih menyandarkan punggung ke sandaran jok dengan kepala yang menoleh ke arah Rahma yang masih tersedu. Ia menunggu, tak ingin mengganggu.
15 menit berlalu. Ia mengulurkan sapu tangan begitu melihat Rahma mulai tenang menyisakan isakan kecil.
"Masih baru kok. Belum dipake." Ia meyakinkan Rahma yang tampak ragu menerima sapu tangan darinya.
"Bukan itu." Rahma menggeleng. "Saya malu udah merepotkanmu." Jawabnya sambil menerima sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah.
Mizyan tersenyum. "Aku malah senang kok. Gimana sekarang udah lebih baik?"
Rahma mengangguk. "Saya mau ke toilet."
"Aku antar."
"Nggak usah." Rahma menggeleng lemah.
"Aku hanya menunggu di luar."
Rahma tak bisa lagi menolak keputusan Mizyan. Ia turun untuk mencuci muka, merapihkan penampilan, dan touch up agar tak terlalu kentara muka yang sembab bekas menangis.
Mizyan menatap kedatangan Rahma yang baru keluar dari toilet. Ia mengulurkan sebotol air yang dibelinya di mini market SPBU.
"Sekarang mau ke mana? Aku siap antar." Ia masih menatap lurus Rahma yang duduk sambil menghabiskan setengah botol.air mineral. Kini tampak lebih baik dan lebih segar daripada sebelumnya ia lihat di luar lobby hotel.
"Saya mau pulang."
"Oke." Mizyan melepas blazernya demi melihat Rahma yang menggigil dengan tangan bersidekap di dada.
"Baju kamu sedikit basah, kehujanan tadi. Pakai ini biar hangat." Ia harus menjelaskan begitu mendapat sorot penolakan saat memberikan blazernya ke hadapan Rahma.
Hujan tak lagi deras. Menyisakan rintik-rintik kecil menghiasi malam minggu yang lembab dan dingin. Sepanjang jalan menuju komplek, keduanya saling diam dengan pikiran masing-masing.
"Maaf udah merepotkanmu." Rahma menolehkan wajah menatap Mizyan, begitu mobil berhenti di depan gerbang rumah. "Makasih banyak udah mengantar pulang." Pungkasnya yang lanjut menunduk saat mata saling beradu.
"Istirahat ya." Mizyan mengulas senyum. Mungkin di masa lalu, ia akan memeluk dan mengecup bibir wanitanya saat berpisah. "Have a nice dream." Hanya itu yang meluncur dari bibirnya dengan tangan melekat erat di stir kemudi. Sebab suasana malam sangat mendukung untuknya berbuat khilaf.
Kuda besi tunggangannya meraung-raung keras begitu keluar dari komplek perumahan. Sebab ia mulai menjalankan mobil sportnya dengan kecepatan tinggi. Memacu adrenalinnya untuk melibas cepat jalanan yang lengang dan basah oleh hujan, pulang menuju pesantren tempat tinggalnya.
****
Assalamualaikum
Semangat Senin untuk semua reader tercinta.
Semangat shaum sunnah bagi yang menjalankan.
Semangat memulai hari kerja bagi yang bekerja.
Semangat berbagi VOTE bagi yang ridho memberi 😉
Semoga hari ini berkah, dimudahkan dan dilancarkan segala urusan. Aamiin yra....
Sehat dan bahagia selalu untuk kita semua.
Salam
Me Nia