Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
...🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️...
...happy reading...
...⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️...
Amirul berdiri tegak, matanya merah karena menahan air mata yang ingin mengalir deras. Dia telah menahan semua rasa sakit dan kekecewaan selama ini, dan akhirnya dia meledak.
"Enak apaan?" dia berteriak, suaranya bergetar karena emosi. "Aku yang masak, tapi aku bahkan tidak makan, jika mau makan pun itu sisa kalian semua, dan bahkan aku makan dari sisa piring kalian satu persatu agar aku tetap bertahan hidup!"
Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi tidak bisa. "Pagi aku bangun mencuci baju, memasak, mengepel dan semua pekerjaan aku lakukan, bahkan aku menjadi pengasuh aris dan sering di pukul di bully dan di marahi, tapi kalian membiarkan begitu saja seolah-olah aku pantas mendapatkannya!"
Air mata Amirul mulai mengalir, tapi dia tidak peduli. Dia terus berbicara, mengeluarkan semua rasa sakit yang telah dia simpan selama ini. "Aku hidup hari ini karena suara keajaiban. Jika tidak aku sudah lama mati!"
Dinata, ayah angkatnya, berdiri dengan wajah merah karena emosi. "Apa yang kamu bilang! Dasar anak durhaka!" dia berteriak, ingin memukul Amirul.
Tapi Kepala Sekolah dengan cepat menengahi, "Berhenti Pak, saya harap setelah tanda tangan surat pemutus hubungan keluarga ini, maka kalian tidak ada dendam satu sama lain."
Amirul mengambil pena yang ada di meja dan menulis namanya dengan tulisan besar di bawah tanda tangan surat pemutus hubungan keluarga itu dengan tangan yang bergetar. "Aku sudah tanda tangan surat ini, jika kita bertemu di jalan, maka anggap saja kita orang asing!" dia berkata dengan suara yang dingin, lalu menghempaskan pena itu di meja.
Dengan itu, Amirul meninggalkan ruangan itu, meninggalkan semua rasa sakit dan kekecewaan yang telah dia simpan selama ini. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi dia yakin bahwa dia akan bisa menghadapi apa pun yang datang dan hidup dengan baik.
Dinata masih berdiri di tempat, matanya masih membara dengan emosi. "Cih! Dasar anak tidak tahu diri! Ku sumpahin hidupmu melarat!" dia maki, suaranya masih bergetar karena kemarahan.
Kepala Sekolah dengan sabar menatap Dinata, "Cukup, Pak! Karena suratnya telah di tanda tangani, lebih baik Anda pergi. Saya tidak ingin ada pertengkaran di sekolah ini. Harus ini masalah keluhannya di selesaikan di luar sekolah, tapi Saya berbaik hati membiarkan Anda menyelesaikan di jam pelajaran, jadi Saya harap Anda jangan menganggu lagi!"
Dinata masih tidak puas, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. "Huh! Aku datang hari ini, untuk memindahkan anakku ke sekolah elit, sudah cukup dia bersekolah di tempat biasa seperti ini," dia berkata, suaranya masih terisi dengan emosi.
Kepala Sekolah mengangguk, "Baik, Pak. Saya akan memproses pemindahan anak Anda. Tapi, saya harap Anda bisa meninggalkan sekolah ini sekarang."
Dinata menghembuskan napas, lalu berbalik dan meninggalkan sekolah itu, meninggalkan Amirul yang telah menjauh itu. Kepala Sekolah menatap ke arah punggung Amirul yang menjauh itu, ia masih berdiri di luar, lalu mengangguk dengan kepala. "Kamu akan baik-baik saja, Amirul," dia berkata dalam hati.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪