“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Delapan Belas
Siang itu Elena sudah bersiap dengan rapi. Rambutnya ia ikat setengah, blazer hitam membingkai tubuhnya, memberi kesan profesional. Axel tersenyum melihatnya saat ia keluar dari kamar mandi.
“Perfect,” kata Axel sambil merapikan dasinya. “Kamu siap bikin aku kelihatan makin hebat di depan mereka?”
Elena mendengus kecil. “Kamu udah hebat sendiri. Aku cuma bagian kecil dari tim ini.”
Axel mendekat, jaraknya hanya sejangkau tangan. “Kamu bagian penting, Lena. Hari ini kita harus menangin tender ini. Aku butuh kamu di sebelahku.”
Ada getaran aneh di dada Elena mendengarnya. Ia hanya mengangguk, lalu meraih tas kerjanya.
Mereka turun bersama ke lobi hotel, lalu naik mobil menuju kantor klien. Sepanjang perjalanan Axel menjelaskan poin-poin penting presentasi. Elena mendengarkan sambil sesekali mencatat di tablet.
Ruang rapat siang itu cukup besar, dengan meja panjang dan kursi berderet rapi. Beberapa perwakilan perusahaan sudah duduk menunggu. Elena sempat merasa gugup, tapi tatapan Axel membuatnya sedikit tenang.
Presentasi berjalan lancar. Axel berbicara dengan penuh percaya diri, suaranya tegas namun ramah. Sesekali ia memberi isyarat pada Elena, dan Elena dengan sigap menampilkan slide berikutnya atau menjawab pertanyaan teknis dari peserta rapat.
Ada satu momen ketika salah satu direktur klien mempertanyakan proposal biaya mereka. Axel melirik Elena, seolah memberi kode. Elena menarik napas dalam-dalam, lalu menjelaskan dengan rinci bagaimana strategi yang mereka tawarkan justru lebih efisien jangka panjang.
“Jadi meski biaya awal terlihat lebih besar, hasil akhirnya justru menghemat sampai 20% dibandingkan metode lain,” jelas Elena sambil menunjukkan data di layar.
Direktur itu akhirnya mengangguk puas. Axel tersenyum bangga, bahkan menepuk pelan tangan Elena di bawah meja. Sentuhan kecil itu membuat Elena merasa hangat.
Dua jam kemudian, rapat selesai. Hasilnya sesuai harapan, mereka memenangkan tender. Perwakilan klien menyalami Axel dengan ramah.
“Selamat, Pak Axel. Kami senang bisa bekerja sama dengan perusahaan Anda,” kata salah satu manajer.
Axel tersenyum lebar. “Terima kasih. Keputusan ini tidak akan kalian sesali.”
Saat keluar dari ruang rapat, Axel menoleh ke Elena. “Kamu luar biasa tadi.”
Elena tersipu. “Ah, aku cuma jawab pertanyaan. Kamu yang luar biasa."
“Kamu bukan cuma menjawab. Kamu bikin mereka percaya sama kita,” balas Axel sambil tersenyum puas.
Mereka naik mobil kembali, namun Axel tidak langsung membawa Elena ke hotel.
“Kita mampir sebentar ke satu tempat," ucap Axel singkat.
Mobil berhenti di sebuah toko perhiasan mewah. Elena langsung memandang Axel dengan tatapan curiga.
“Kita ngapain ke sini?” tanya Elena. Selama menikah dengan Aldi, belum pernah dia dibawa ke toko perhiasan begini.
Axel hanya tersenyum dan menggandeng tangannya masuk. Suasana toko itu elegan, lampu kristal menggantung di langit-langit, dan etalase berisi perhiasan berkilau.
Elena berdiri kikuk sementara Axel berbicara dengan pramuniaga. Tak lama, seorang staf membawa keluar kotak kecil beludru biru.
“Coba ini,” kata Axel sambil membuka kotak itu. Isinya sebuah kalung sederhana tapi elegan, dengan liontin kecil berbentuk tetes air.
“Axel, ini terlalu ...."
“Sstt,” Axel meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. “Ini hadiah. Buat kamu.”
Elena menggeleng. “Aku enggak bisa terima ....”
“Kamu bisa. Kamu berhak. Ini ucapan terima kasih karena udah nolongin aku tadi. Please, jangan nolak.”
Elena terdiam. Axel lalu mengambil kalung itu dan berdiri di belakang wanita itu. Ia memakaikannya perlahan di leher Elena.
“Lihat,” kata Axel sambil memutar tubuh Elena menghadap cermin.
Elena menatap bayangannya. Kalung itu jatuh dengan cantik di atas tulang selangka. Entah kenapa, ada rasa haru yang menyelinap di dadanya.
“Cantik,” ucap Axel pelan, dan kali ini Elena yakin ia tidak hanya bicara soal kalungnya.
Malamnya mereka makan di restoran hotel. Pencahayaan temaram, musik jazz pelan mengalun di background. Axel memesan wine, sementara Elena memilih jus jeruk.
“Jadi, kamu betah kerja sama aku?” tanya Axel di sela makan.
Elena menghela napas kecil. “Capek sih. Tapi ... aku seneng. Ada sesuatu yang bikin aku pengen bangun pagi dan kerja.”
Axel menatapnya lama. “Aku seneng dengernya.”
Mereka berbicara santai sepanjang makan malam. Elena merasa jarak di antara mereka semakin mengecil, bukan hanya secara fisik tapi juga secara emosional.
Selesai makan, mereka kembali ke kamar. Elena berpikir mereka akan langsung tidur karena hari itu cukup melelahkan. Tapi Axel tampak masih penuh energi.
Begitu pintu kamar tertutup, Axel menarik Elena mendekat.
“Axel, kita baru aja ....”
“Tadi kita kerja,” potong Axel dengan senyum nakal. “Sekarang waktunya kita ... rileks.”
Elena belum sempat protes lagi ketika Axel sudah menciumnya. Awalnya lembut, tapi kemudian semakin dalam. Elena merasa tubuhnya lemas, jantungnya berdetak kencang. Dia tak menolaknya karena memang dia juga menginginkan itu.
Mereka akhirnya kembali terjatuh di ranjang. Semua logika yang sempat Elena bangun runtuh lagi. Malam itu mereka kembali menyatu, kali ini lebih intens, lebih emosional. Seperti mereka berdua menyalurkan segala perasaan yang terpendam selama ini.
Setelah selesai, Elena terbaring di samping Axel, dadanya masih naik-turun. Axel memeluknya dari belakang, mencium pelipisnya.
“Lena,” bisiknya pelan. “Kamu bahagia?”
Elena terdiam beberapa detik, lalu menjawab jujur, “Iya. Aku bahagia.”
Axel tersenyum kecil, lalu memeluknya lebih erat. “Bagus. Karena niat aku memang bikin kamu bahagia terus.”
Elena tersenyum, meski matanya terasa berat. Ia memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam rasa aman itu.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Elena tertidur dengan perasaan ringan. Tidak ada lagi mimpi buruk. Tidak ada lagi perasaan ditinggalkan.
"Maaf, Mas Aldi. Aku telah mengkhianati kamu, dan kali ini aku memang yang menginginkan semua ini."
Malam itu, Elena merasa seperti dirinya akhirnya dipilih. Dia merasa Axel begitu menghargai dan menginginkannya.
**
Selamat Siang. Cerita ini sengaja tak melibatkan agama apa pun. Ini hanya fiktif belaka. Maaf jika ada yang kurang berkenan. 🙏🙏🙏
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2