Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Dengan satu tarikan panjang, nafasnya tercekat mendapati kami, *mhh* tidak, mendapati aku yang cukup erat di rangkul oleh Sandi dengan botol minuman berikut camilan yang diam seribu bahasa.
Bantal jatuh terlebih dahulu, diikuti dengan selimut yang merambat turun dari lengan ibunya. Kami saling menatap kosong mata satu sama lain, menyadari apa yang sedang kami lihat sekarang.
Waktu berlalu lambat di sekitar kami, seakan membeku atas dinginnya suasana yang kami buat dengan hanya terdiam.
Jentik suara jarum jam yang menggelitik keadaan kami, seolah meledek dengan vulgar mengenai posisi kami berdua di hadapan ibunya.
Seketika tersadar, aku dengan tegas harus meluruskan kejadian ini. "Tante! Ini bukan kayak yang tante liat!" Aku mengulurkan kedua tangan ke atas, mirip seperti penjahat yang tertangkap basah.
Ibunya membuka-tutup mulut, mengucapkan kata yang tidak sampai keluar dari mulutnya. Tangannya yang gemetar, memegang kembali knop pintu, untuk selanjutnya ia tutup perlahan.
Matanya terpaku, tidak siap menjawab pikiran liar yang mungkin saat ini telah memenuhi kepalanya.
Dengan suara decitan pintu, ia kembali dengan gumam yang sedikitnya kudengar. ". . . (Berbisik lirih) Aku datang di waktu yang kurang tepat." Ucapnya menyalahi diri sendiri.
Hancur sudah . . Citraku sebagai wanita di hadapan ibu dari sahabatku, pupus di hari pertama kami bertemu. Kurasakan diri bagai wanita jalang yang mencoba merayu anaknya untuk mabuk, hingga ia terjatuh dalam perangkapku.
Mengingat kembali percakapan kami bertiga sebelumnya di meja makan, disaat aku sibuk menjaga nama baik, juga harkat serta martabatku sebagai wanita, dengan mengatakan "kita cuma temen kerja aja kok tante." Namun nyatanya, aku malah berakhir seperti ini, terlihat seperti menggerayangi anaknya yang sudah tidak berdaya.
Aku hilang arah, dan terjatuh, terlentang di atas karpet, membiarkan Sandi menimpa tubuhku yang kini sudah ikut terkulai lemas.
Memukul pelan tubuh Sandi dan mengatakan. "Ah elah, lu mah San, bikin runyem aja!" Lanjut menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
Aku menghela nafas panjang, menghembuskan nya dengan kuat sebagai bentuk kekecewaanku terhadap malam ini, menghalangi cahaya lampu yang menembus kelopak mata berat ini.
Aku benci saat-saat seperti ini, rasa bersalah yang mengungkit kembali banyak masalah di masa lalu. Seakan sumbu peledak yang terpicu akibat satu percikan kecil, kini setelah meledak, ia menguak masalah lama yang telah aku kubur rapat-rapat.
Melayang kembali pikiran ku, kepada harga diri yang sempat tercoreng dahulu. Sepertinya aku tidak seharusnya mempermasalahkan malam ini. Ya tentu saja, harga diri apa lagi yang ingin ku perjuangkan? Padahal saat itu aku sempat bersimpuh di kaki seorang pria yang jelas-jelas memilih wanita lain.
"Tuh kan! Ah ilah!" Gusar, aku usap air mata yang luntur tanpa aba-aba, akibat dari pemikiran berlebih yang muncul di kepalaku saat ini.
Bila memang benar demikian, mengapa pula baru sekarang aku mempermasalahkan mengenai itu, sedangkan selama ini harapanku membunuh kehormatan yang kumiliki.
Tak kurasa, tangisan yang sekuat tenaga ku tahan ini, membuat tanganku memeluk erat Sandi hingga dia terbangun.
". . . S-sesak Rin." Keluhnya kepadaku.
Aku yang tidak terima dengan ucapannya padahal sudah membuatku menjadi seperti ini, ikut melontarkan keluhan balik. "Elu telat! Kalo aja lu bangun dari tadi San!"
Sambil memukul-mukul tubuhnya, berontak agar dia segera bangun dari tubuhku sambil terus menyalahinya.
"Udah awas, sana pergi! Gw mau pulang." Jawabku yang membuatnya malah berbalik memeluk erat, tidak menghiraukan kemarahanku sekarang.
"Husssshh, udah Rin udah, gw ada di sini, aku ada buat kamu."
Meski percuma memarahi orang yang tengah mabuk, jawaban terakhir darinya, menenangkan tetapi membuat tangisan ku semakin pecah.
Aku menyembunyikan wajahku di dadanya, berharap tangisan ini tidak sampai keluar ruangan dan terdengar oleh ibunya.
*Kamu tidak bisa seperti ini Airin.*
Terdengar suara yang bersumber dari kepalaku, suaranya begitu jelas hingga membuat tangisan ku berhenti sejenak karena kaget.
Suaranya parau, mirip dengan suaraku namun bernada seperti orang yang sedang menyudutkan ku. Seiring dengan suara yang terdengar, akupun dapat melihat, samar tulisan yang sama dengan kalimat dari suara tersebut, bila aku menutup mata.
*Sandi adalah sahabatmu.*
Suaranya, tulisannya, membuat hatiku semakin tidak nyaman. Aku mencoba terus mengacuhkan mereka.
*Bangkit, dan segera pulang sekarang."
°°°°°
Malam ini aku bermimpi sedang berjalan di atas lautan, tidak ada riak, awan, maupun gelombang, kecuali bila aku menggerakkan kakiku untuk melangkah. Sejauh mata memandang hanya ada aku, birunya langit dan birunya lautan.
Walaupun aku sedang merasa takjub dengan apa yang aku lihat saat ini, tentang pemandangan indah yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya, perasaan khawatir muncul, ketika tersirat di hati kecil mengenai, bagaimana caranya aku pulang sekarang.
Samar dirajut oleh angin, mega (awan) dengan lembut berkumpul di hadapanku, cukup dekat hingga aku hanya perlu berjalan beberapa langkah untuk dapat menyentuhnya.
Kumpulan awan tadi, bersatu, membentuk kalimat tanya yang berbunyi, *Jangan khawatir, aku di sini.* Awan tersebut pecah ketika aku baru saja selesai membacanya.
Lalu kembali berkumpul, dan pecah berulangkali. *Apa benar, ada di sini?*
*Apa aku-, dia-, sanggup untuk ada di sini?*
*Aku harus sendiri, aku akan sendiri, hingga aku kembali kesini."
°°°°°
Bangun dengan tiba-tiba, aku menarik nafas panjang dengan keringat di sekujur tubuhku. Mimpi yang indah namun membuat perasaanku kurang nyaman barusan, segera kulupakan, segera ketika aku menatap sekeliling guna menjawab soal, mengapa ini bukan langit-langit kamarku dan dimana aku saat ini.
Oh iya, tentu saja, saat ini aku berada di kamar Sandi, hanya saja sekarang posisiku sudah berpindah ke atas ranjang, berselimut tebal dengan Sandi yang sudah tidak berada di sekitarku.
Aku bangun perlahan-lahan, mencoba untuk memulihkan kesadaranku, sembari memegang kepala yang seolah-olah di pukul bertubi-tubi. Masih mencoba melihat sekeliling, melipat dua helai selimut dan menata kasur sebaik mungkin.
Setidaknya meski semalam aku membuat kekacauan, aku tidak ingin pergi meninggalkan tempat ini tanpa kesan yang baik.
Walaupun aku sangat ingin bertemu Sandi untuk menanyakan apa yang terjadi di ujung malam, aku masih tidak bernyali untuk keluar dari kamar, takut-takut berpapasan dengan ibunya dan menghadapi situasi canggung, hasil dari perbuatanku.
Dari pada harus menunggu Sandi masuk ke kamar, aku berinisiatif untuk mengiriminya pesan agar segera menemui ku di dalam.
*Ting!*
"Sebentar, gw lagi masak. Lu mandi aja dulu." Pesan dari Sandi.
"Lu nggak tau situasinya San, beres masak lu kesini aja dulu. Terus anterin gw pulang."
Selang beberapa saat aku menunggu, Sandi masuk ke kamar tanpa rasa bersalah karena mungkin tidak mengetahui apa yang telah terjadi.