NovelToon NovelToon
Mengapa, Harus Aku?

Mengapa, Harus Aku?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:206
Nilai: 5
Nama Author: Erni Handayani

Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.

Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.

Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

"Neng, sudah sampai!" ucap Kang Andi. Aku merapikan jilbab yang sedikit berantakan.

"Kang, minta tolong bawakan masuk barang-barangnya, ya!" perintahku yang langsung di sanggupi Kang Andi.

Aku membangunkan, Mba Sinta. Ketika turun dari mobil, hati ini berdesir. Tidak ada yang berubah dari Darul Arkom. Kakiku terus melaju. Kebetulan ini waktu zuhur, jadi semua santri sedang salat berjamaah. Memasuki area ruang staf, membuat aku semakin berdebar. Semoga bukan dia yang aku lihat pertama kali. Ucapku dalam hati.

"Mba, itu kamarku. Kalau mau istirahat duluan tidak apa! Aku mau ke dapur dulu ngambil minum." ucapku pada Mba Sinta, yang masih terlihat mengantuk.

Haus ini benar-benar aku rasa. Tadi lupa tidak membeli air di jalan. Sementara di ruangan staf masih terlihat sepi, karena semua masih shalat berjamaah. Dari speaker yang berasal dari masjid, Ayah sedang ceramah. Itulah kebiasaan Ayah setelah salat zuhur.

Tanganku meraih gelas untuk mengambil minum. Namun, tiba-tiba aroma maskulin yang tidak asing menguasai indra penciumanku. Tidak, ini pasti halusinasiku saja. Pasti masih di masjid, tidak mungkin dia sudah pulang. Suara Ayah masih terdengar ceramah.

"Alisha.."

Lembut suara itu menyebut namaku. Namun, mampu membuat hati ini bergetar, ya Allah aku belum siap. Gemuruh dalam dada kian menjadi. Aku memejamkan mata, berharap ini hanya mimpi saja. Mata mulai memanas, ternyata hati belum sepenuhnya sanggup. Aroma maskulin itu kian dekat, ingin rasanya aku lari sekencang mungkin. Kalau perlu pindah ke planet Mars detik ini juga. Sia-sia kaki ini bagai terkena lem, tidak bisa bergerak sedikitpun.

"Mimpimu pasti akan terwujud, Alisha! Kagum aku padamu, bisa memiliki kecerdasan imajinasi yang tidak di miliki orang banyak. Meski aku nggak bisa menulis, aku tetap dukung kamu."

Ucapan yang tidak pernah aku lupakan. Darinya semangat itu bangkit, aku semakin mengembangkan bakat menulisku. Dan bisa menerbitkan dua novel solo. Waktu aki kuliah dulu, dan kini satu tahun aku vacum. Menulis hanya untuk membuang waktu sepi juga patah hati.

Mengingat itu hatiku semakin perih. Ingin aku berhenti menulis, agar bisa lupa segalanya. Namun, aku salah dia seperti hobiku. Semakin menjauh semakin membuat aku tersiksa. Sudah saatnya aku berdamai dengan hatiku sendiri.

"Maaf.. Neng Alisha, ambil minumnya sudah?"

Aku terperanjat, salah aku salah. Dia sudah jauh untuk aku gapai, dan ada dinding pemisah yang terbangun dengan megah. Juga marwah seorang suami juga gus yang di jaga. Tenggorokanku tercekat, tak ada satu kata yang mampu aku keluarkan. Bulir bening menetes, cepat-cepat aku menghapusnya.

"Sudah Gus, silahkan ambil minumnya! Saya ke kamar dulu belum salat," jawabku tanpa menoleh ke belakang. Tidak akan sanggup aku melihat wajahnya. Siang malam aku berusaha menghapus semia jejaknya selama satu tahun ini. Namun, hasilnya nol. Aku tetap kalah pada hatiku, siang malam aku berdoa agar nama Akbar Al-Ghani pergi dari ruang hatiku juga pikiranku. Dia telah jadi adik iparku.

"Maaf jika harus formal, Neng! Jika ada waktu ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,"ucapnya kembali. Suaranya terdengar samar bagai bisikan karena aku telah menjauh.

Aku semakin cepat memacu langkah kaki. Azam Al Ghani, nama yang selalu aku sebut dalam doa, yang hanya mampu aku panggil dalam hati. Pria yang telah mencuri hatiku, singgah selama dua tahun. Satu hari mengubah segalanya, membuktikan sesempurna apa pun rencana manusia tetap kalah dengan takdir Allah.

Air mata jatuh berkali-kali, rasanya tubuh ini sudah kehilangan kekuatan. Dengan sisa-sisa tenaga aku membuka pintu kamar. Menuju kamar mandi. Tubuhku luruh di lantai kamar mandi, ku putar kran air untuk menyamarkan suara tangisku. Aku belum sepenuhnya berdamai dengan keadaan. Aku kalah dengan kenyataan.

"Daun gugur pun demi kebaikan sang pohon. Mengurangi beban yang ditanggung di musim kemarau. Rela gugur demi keberlangsungan hidup sang pohon!"

Nasihat Kakek, saat aku menangis sejadi-jadinya. Tanpa bisa mengatakan apa yang terjadi.

"Apa pun masalahmu nak, itu ujian yang diberikan oleh Allah. Bisa jadi teguran karena telah membuat-Nya murka!"

Aku meluahkan segala rasa. Kukuras habis air mata ini, cukup kali ini aku menangisi hal yang sama.

"Alisha kangen kakek,"lirihku.

Lama aku menangis, memastikan tidak ada air mata yang jatuh lagi. Sandiwara itu tidak berdosa selama niat baik. Aku putuskan untuk pura-pura bahagia.

"Neng, kamu dimana?" suara Mba Sinta terdengar beberapa kali memanggil dan mengetuk pintu sedikit keras. Apa air kran ini tidak bisa menyamarkan suara tangisku?

"Neng... Neng Alisha!" suara Mba Sinta terdengar sedikit panik. Bagaimana aku menjawab sedangkan suaraku pasti terdengar serak.

"Aku nggak apa-apa, Mba!" jawabku setelah membuka pintu kamar mandi. Setelah memastikan air mata tidak ada yang terjatuh lagi. Aku keluar, bisa heboh jika Mba Sinta memanggil Ayah.

"Syukurlah... saya khawatir, di panggil tidak ada jawaban, Neng!" ucap Mba Sinta.

Aku berusaha tersenyum, meyakinkan Mba Sinta jika aku baik-baik saja.

"Salat dulu, Mba!"ajakku pada mba Sinta.

Aku butuh amunisi kekuatan untuk bersandiwara pura-pura bahagia.

"Kak Alisha... Kangen aku!" aku hampir saja tersedak saat minum. Aisha, kembaranku memeluk aku dengan erat. Aku membalikkan badan membalas pelukannya. Sejak kecil memang sering terpisah kami, aku yang sering di rumah kakek yang membuat kami jarang bertemu. Dan setelah dewasa memilih jalur masing-masing. Aisha, dia memilih tetap belajar di sini. Sedangkan aku mendapatkan kepercayaan dari Ayah. Aku diizinkan untuk melanjutkan pendidikan sesuai hobiku di bidang sastra. Dengan satu syarat tidak boleh pacaran.

Aku menghela napas berat jika mengingat hal itu. Aku telah mengkhianati kepercayaan Ayah. Saat kuliah-lah aku mengenal Azam, yang menjadi seniorku. Tidak pacaran, hanya sekedar dekat. Aku menggelengkan kepala jika ingat akan hal itu, hal dimana dia ingin menjadikan aku pelengkap imannya.

"Kakak juga kangen, Sha!" Habis dari mana kamu? Katanya di suruh pulang, eh ga ada yang menyambut sama sekali," tuturku sedikit aku buat kesal.

"Dari rumah Umma, Kak tadi Mas Azam yang kasih tahu jika kakak udah datang." Aku melirik ke arah kamar Aisha, tampak Azam berdiri di sana. Hanya sekilas aku memandang karena mataku kabur, gumpalan air panas siap terjun jika sekali saja aku mengedipkan mata.

"Udah peluknya, nanti ada yang cemburu!" tegurku Aisha terlalu lama memelukku.

"Siapa yang cemburu orang sama kakak sendiri," balas Aisha. Aku mencubit gemas pipinya. Meski umur kita sama-sama 29 tahun, sikap manja Aisha padaku tidak berubah.

1
Afu Afu
jangan bucin alisha,buka hati buat yg lain percm menghro Azam istri nya jg SDH hmil apa yg mau km hrapkan ,plis deh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!