Berlapang Dada

"Bu Jen, ngga rewang di rumah Ranu?" tanya salah seorang tetangga. Alisnya naik turun ke arah tetangga lainnya.

Bu Jaenah yang paham jika ia sedang di ledek hanya tersenyum tipis.

"Ngga di suruh ya ngga rewang toh Bu! Kalo Bu Suwarti nya nyuruh saya juga mau-mau aja kok!" sahut Bu Jaenah sambil tersenyum sinis.

Amit-amit! Di bayar yo aku emoh di suruh rewang ke sana! Batin Bu Jaenah.

"Kasihan ya Ajeng, cuma jagain jodoh orang. Mana dari SMP lagi pacarannya. Udah ngapain aja ya mereka heheheh!"

Bukan hanya yang bicara yang tertawa, tapi tetangga lainnya.

"Hati-hati kalau ngomong ya Bu!" Bu Jaenah bangkit dari duduknya sambil menuding di depan wajah tetangga julid itu.

"Eh, fakta kali Bu! Mungkin saja si Ranu udah bosen sama Ajeng. Makanya Ranu nyari yang sepadan, sama-sama pegawai. Sama-sama orang berduit. Pak Amri memang banyak duitnya, tapi dia kan cuma tani. Beda sama orang tua dan mertuanya Ranu."

Hidung Bu Jaenah kembang kempis. Selama ini ia bersabar setiap kali ada yang menyinggung soal putrinya.

Tapi kali ini rasanya ia sudah tak sabar. Tetangganya itu sudah keterlaluan!

"Halah! Pegawai aja masih gadai sama saya kok buat gelar hajatan. Biar pun kami cuma petani, Alhamdulillah kami bisa kasih kerjaan sama orang lain. Dan ingat ya Bu, ibu punya anak gadis! Hati-hati, ucapan ibu berbalik sama anak ibu sendiri!"

Bu Jaenah memilih pergi dari kerumunan itu. Memang, perempuan paru baya itu paling malas kalau di suruh berkumpul di acara arisan dan sebagainya.

Lebih enak arisan dengan sesama pedagang pasar yang setiap harinya menjumpai banyak orang. Bukan dengan ibu-ibu yang hobi nya cuma ghibah di komplek sekitar.

Ibu-ibu itu hanya saling tuding dan main salah-salahan. Mereka lupa kalau Bu Jaenah bisa menjawab seperti itu karena memang dia punya kemampuan. Iya, kemapuan untuk melawan dengan apa yang ia miliki.

Penampilan sederhana, rumah pun sederhana! Tapi tiap ada yang menjual atau gadai sawah, uang mereka selalu saja ada!

Perempuan itu langsung pulang dan duduk dibangku belakang rumah.

Suaminya yang baru saja pulang dari kampung lain melihat sang istri yang sedang melamun di belakang.

"Siapa yang dapat arisan Bu?" tanya pak Amri. Yang ia tahu, istrinya pergi arisan tadi habis Ashar.

"Bu Katem!" jawab Bu Jaenah. Pak Amri duduk di sebelah istrinya.

"Kenapa? Ibu dengerin omongan ngga enak lagi dari mereka?" tanya pak Amri. Bu Jaenah pun menoleh. Suaminya seakan paham dengan apa yang sedang ia rasakan.

"Bu...ngga usah di tanggepin lah omongan ngga enak kaya gitu. Biarkan saja, nanti mereka juga capek sendiri!" pak Amri mengelus pundak Bu Jaenah.

"Hah!! Siapa yang ngga sedih pak anake di ejek udah ngapa-ngapain sama Ranu. Ibu sadar, kita bukan dari keluarga berpendidikan seperti Bu Suwarti dan besannya. Tapi apa iya harus di bandingkan juga?"

Pak Amri mengelus bahu sang istri dengan lembut.

"Lihat saja ya pak, kalo Ajeng lagi dekat sama laki-laki langsung ibu tanya keseriusannya. Mau duda mau perjaka selama statusnya bukan suami orang, ibu akan setuju. Dan yang penting sayang juga serius sama Ajeng!" ujar Bu Jaenah bersungguh-sungguh.

Pak Amri menggaruk kepalanya yang gatal.

"Ibu bakal bikin pesta pernikahan yang besar dan lebih mewah dari si Ranu."

"Bu...istighfar!"

"Biarin pak! Ibu mau nunjukin ke mereka bahwa orang miskin dan ngga berpendidikan ini bisa membuat pesta pernikahan anaknya dengan mewah dan tanpa hutang. Dan ingat ya pak, kita tidak boleh memberatkan pihak calon laki-lakinya!" kata Bu Jaenah menggebu-gebu.

Pak Amri mengelus dadanya sambil menghela nafas panjang. Ia berharap jika ini hanya emosi sesaat istrinya saja.

Anggap saja ini sebuah ungkapan kekecewaan seorang ibu yang putri kesayangannya di sakiti.

"Ya udah sana bapak mandi, ibu mau telpon Ajeng dulu!"

"Iya...iya!" Pak Amri pun meninggalkan sang istri dan menuju ke kamar mandi.

💐💐💐💐💐

"Bhumi, ini pacar kamu sok-sokan jadi pahlawan kesiangan. Pakai acara marahin Dafi lagi! Paling itu cuma akting aja biar dapat perhatian dari kamu" adu Resti.

Ajeng menghela nafas berat. Khalis masih memeluk erat leher Ajeng.

"Mba ini bicara apa? Jeng, beri tahu mas apa yang terjadi!" kata Bhumi yang berada di samping Ajeng.

Ajeng pun menceritakan yang sebenarnya dari awal ia tiba di rumah ini hingga Khalis berada dalam gendongannya.

Bhumi semakin meradang melihat ibunya yang tampak tak menampik keterangan Ajeng. Seolah-olah apa yang ibunya lakukan adalah hal yang biasa!

"Kalau ibu memang sudah tidak mau merawat Khalis! Dan ibu hanya menganggap hanya Dafi cucu ibu satu-satunya, malam ini juga Bhumi keluar dari rumah ini!"

Ajeng sampai tersentak mendengar ucapan Bhumi barusan.

Ya Allah, ampuni aku! Kedatangan ku membuat masalah sebesar ini di keluarga mas Bhumi! Batin Ajeng.

Bu Tini dan Resti juga tak kalah terkejut dengen keputusan Bhumi yang tiba-tiba. Sebenarnya tidak tiba-tiba, hanya saja mereka tak menyangka Bhumi memutuskan saat ini juga.

"Jeng, boleh mas minta tolong lagi?" tanya Bhumi. Ajeng yang merasa tak enak hati hanya menganggukkan kepalanya.

"Tolong bawa Khalis ke kost mu dulu. Nanti mas nyusul setelah membereskan barang-barang mas dan Khalis. Bisa?" tanya Bhumi.

Ajeng pun reflek mengangguk saat melihat tatapan mata Bhumi yang memohon. Wajahnya terlihat sangat lelah ,namun ia pun emosi dengan keadaan yang ada.

"Apa-apaan kamu, Bhumi! Kamu mau kumpul kebo sama cewek udik ini? Nyebut Bhumi, nyebut!" pekik Bu Tini.

Ajeng menghela nafas panjang.

Tanpa mendengarkan ucapan ibunya, Bhumi meminta Ajeng pergi secepatnya dari rumah itu. Sedangkan Bhumi beranjak ke kamarnya untuk membereskan barangnya dan Khalis juga.

Ajeng yang sudah tiba di gerbang sambil menggendong Khalis tiba-tiba saja tertarik ke belakang karena bahunya di tarik Resti.

Mau tak mau Ajeng pun membalikkan badannya.

"Puas kamu sudah buat keributan di rumah ini? Iya? Dasar cewek udik, gatelan! Segitu ngga lakunya ya sampai-sampai harus menggoda duda kaya Bhumi?"

Mulut Ajeng ternganga di tuduh seperti itu. Ia memang menyesal sudah ikut campur urusan keluarga ini, tapi...ah...bukan salahnya juga! Toh dia hanya menolong Khalis.

"Mba! Saya masih menghormati mba karena lebih tua dari saya ya. Tapi maaf, tolong jaga ucapan mba!" kata Ajeng yang masiiiih...bersikap sedikit sopan pada Resti.

"Halah! Belum jadi istri Bhumi saja kamu sudah berani sama aku. Gimana kalau kalian benar-benar sudah menikah?Belagu sekali!" ujar Resti.

Ajeng merasa malu di jadikan tontonan di komplek rumah itu. Ia memilih pergi untuk menjaga kewarasan otaknya juga mental Khalis.

Tetangga Bu Tini terdengar kasak kusuk. Kebanyakan dari mereka justru membela Ajeng. Setidaknya ada perempuan yang menyayangi Khalis sepenuh hati.

"Begitu tuh! Kalo orang merasa salah pasti kabur!" teriak Resti.

Resti melihat tetangga yang sedang menontonnya saling berbisik.

"Lo pikir gue tontonan? Sana minggat Lo semua!" pekik Resti. Setalah itu ia pun masuk ke rumat tak memperdulikan lagi ocehan tetangganya.

💐💐💐💐💐

terimakasih 🙏