Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan untuk Nostalgia
Desi meraih ponselnya dengan penuh tekad. Dalam daftar kontak, ia menemukan nama Paman Adrian, Pengacara Keluarga. Ia menekan tombol panggil, menunggu nada sambung dengan sabar. Tak lama, suara berat tapi ramah menjawab di seberang.
“Halo, selamat pagi. Ini Adrian. Oh, tunggu, ini... Nona Desi? Lama sekali tak ada kabar dari Anda.”
“Halo juga, Paman. Ya, memang sudah cukup lama. Kali ini saya menelepon bukan untuk nostalgia, tapi ada hal penting yang perlu dibahas.” ucap Desi tersenyum miring.
“Tentu, tentu. Saya selalu siap membantu Anda, Nona Desi. Bagaimana kabarmu, Nona? Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Baik? Hmm... Mungkin lebih tepatnya, saya baru saja kembali dari pintu kematian. Bapak pasti kaget, kan, tiba-tiba saya menelepon setelah sekian lama?” ucap Desi sambil tertawa kecil.
“Dari pintu kematian? Maksud Anda?” ucap diseberang telfon kaget.
“Ceritanya panjang, Paman. Intinya, saya mengalami kecelakaan, koma selama tiga hari, dan baru sadar kemaren. Sekarang saya masih di rumah sakit.” ucap Desi sambil menghela nafas panjang
“Astaga, Nona Desi. Saya benar-benar tidak tahu. Saya turut prihatin. Tapi syukurlah Anda sudah membaik. Kalau begitu, apa yang bisa saya bantu?”
“Saya ingin bercerai.”
Adrian terdiam sesaat, lalu berkata dengan hati-hati, “Bercerai? Apakah Anda yakin, Nona Desi? Maksud saya, apakah keputusan Nona sudah bulat?.”
“Saya sangat yakin, Paman Adrian. Bahkan bisa dibilang, ini keputusan yang paling masuk akal yang pernah saya buat dalam hidup saya.”
“Baiklah. Kalau begitu, bisa Anda ceritakan lebih detail? Apa yang membuat Anda ingin bercerai? Apakah ada sesuatu yang terjadi selama ini?”
Desi tertawa dingin, “Pak Adrian, bahkan sebelum saya koma, suami saya sudah menjadi bencana. Ini juga bermula karena ada cinta pertama nya. Dan selama tiga hari saya koma, dia bahkan tidak repot-repot datang atau mengangkat telepon dari rumah sakit. Tidak ada yang perlu dipertahankan dari orang seperti itu. Detailnya nanti saya bicarakan jika bertemu.”
Adrian menarik napas panjang, “Saya mengerti. Kalau begitu, kapan kira-kira kita bisa bertemu?”
“Nanti setelah saya keluar dari Rumah Sakit akan menemui paman.”
“Baik, Nona Desi. Kalau begitu, saya akan mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, saya harus bertanya, apakah Anda ingin ini selesai secara damai atau melalui jalur pengadilan?”
“Damai? Tidak, Paman. Saya hanya ingin menjauh dari laki-laki itu.”
“Baiklah. Saya akan mempersiapkan dokumen untuk kasus ini. Apakah ada hal lain yang ingin Anda tambahkan atau prioritaskan dalam proses ini? Harta Gono gini mungkin?”
“Harta gono-gini? Dia tidak tahu jika saya itu kaya dan punya perusahaan dari mendiang kedua orang tua saya. Yang dia tahu, jika saya punya rumah dan kendaraan dari peninggalan orang tua saya dan dari sebelum kami menikah. Jadi tak akan ada pembagian harta Gono gini. Jadi tidak mungkin dia akan mendapat sepeser pun dari aset saya.”
“Oh begitu. Baiklah Nona, saya akan menghubungi Anda lagi dalam waktu dekat untuk memberikan perkembangan hingga menunggu Nona datang kesini.”
“Terima kasih, Paman. Saya tunggu kabar dari paman. Dan tolong, jangan beritahu siapa pun tentang rencana ini. Saya ingin ini tetap rahasia sampai waktunya tiba.”
“Tentu, Nona Desi. Anda bisa mempercayai saya. Jaga kesehatan Anda, ya.”
“Pasti, Paman. Dan terima kasih sudah selalu membantu.”
Setelah Desi mengakhiri panggilan dengan pengacara keluarga, ia merebahkan dirinya di ranjang.
Tak lama, pintu kamar VIP itu diketuk sebelum terbuka perlahan. Dokter Andini masuk bersama seorang perawat muda yang membawa tablet catatan pasien.
Dokter Andini tersenyum hangat, "Selamat siang, Ibu Desi. Bagaimana kondisi Anda hari ini? Semoga semakin baik setelah istirahat tadi malam."
Desi dengan nada santai, "Siang, Dok. Saya merasa jauh lebih baik. Cuma badan masih sedikit pegal, tapi lumayan lah kalau dibandingkan kemarin."
Dokter Andini.memasang stetoskopnya, "Syukurlah. Kami memang memantau perkembangan Anda dengan ketat. Sekarang, mari saya periksa dulu, ya. Kalau tidak keberatan, saya akan memulai dari tekanan darah."
Desi tersenyum kecil, "Oh, silakan, Dok. Saya siap diperiksa dari ujung rambut sampai ujung kaki."
Perawat tersenyum sambil menyiapkan alat, "Ibu Desi selalu semangat 45."
Desi tertawa kecil, "Hidup saya sudah terlalu banyak drama, Mbak. Kalau saya tambah mengeluh, rasanya malah makin rumit. Jadi lebih baik santai saja."
Dokter Andini ikut tersenyum, "Bagus kalau begitu. Tapi, tetap jangan memaksakan diri, ya. Kita harus memastikan pemulihan Anda berjalan optimal."
Dokter Andini mulai memeriksa tekanan darah Desi, memantau alat monitor, dan mengamati denyut nadi melalui pergelangan tangan. Sementara itu, Desi memperhatikan dengan tenang.
Dokter Andini dengan nada profesional, "Tekanan darah Anda normal, Ibu Desi. Denyut nadinya juga stabil. Bagaimana dengan rasa sakit di tubuh Anda? Masih terasa intens di area tertentu?"
Desi menghela napas pelan, "Kalau sakit sih, masih ada di punggung bagian bawah, Dok. Tapi nggak separah kemarin. Mungkin efek dari obat yang diberikan, ya?"
Dokter Andini mengangguk, "Betul sekali. Obat antiinflamasi yang kami berikan memang dirancang untuk meredakan nyeri. Namun, kami tetap harus berhati-hati agar tidak ada efek samping jangka panjang."
Perawat menambahkan, "Oh iya, mungkin Anda salah posisi tidur. Apakah Ibu Desi merasa kurang nyaman waktu tidur?"
Desi tersenyum, "Saya tidur seperti mayat, Mbak. Diam, nggak bergerak. Jadi mungkin memang posisi tidur saya yang salah. Tapi nggak apa-apa, masih bisa saya toleransi."
Dokter Andini tertawa kecil, "Bagus kalau Anda bisa tetap positif. Sekarang saya akan memeriksa kondisi luka-luka luar Anda, ya."
Dokter Andini membuka perban di lengan dan memeriksa luka yang sebelumnya dirawat. Ia berhati-hati agar tidak menyakiti Desi, sementara perawat mencatat setiap pengamatan.
Dokter Andini mengangguk puas, "Lukanya membaik dengan sangat baik. Tidak ada tanda-tanda infeksi, dan jaringan kulit baru mulai terbentuk. Ini kabar bagus, Ibu Desi."
Desi tersenyum, "Syukurlah, Dok. Jadi kapan saya bisa mulai jogging lagi?"
Perawat tertawa kecil, "Ibu Desi bercanda, kan?"
Desi tertawa, "Iya dong, Mbak. Jogging sih masih jauh. Tapi ya, siapa tahu besok sudah bisa pulang, ya kan?"
Dokter Andini tersenyum, "Kalau semua berjalan lancar dan tidak ada komplikasi lain, Anda bisa pulang besok sore. Tapi, tentu saja, dengan syarat Anda harus mengikuti panduan pemulihan yang kami berikan."
Desi mengangguk serius, "Siap, Dok. Saya pasti akan mengikuti semua instruksinya. Tapi, Dok, ngomong-ngomong soal pemulangan, bagaimana dengan urusan administrasinya? Saya perlu mengurus sesuatu sebelumnya?"
"Oh, jangan khawatir soal itu, Bu. Semua administrasi akan kami siapkan, dan Anda hanya tinggal menandatangani beberapa dokumen nanti." ucap perawat itu.
Desi tersenyum kecil, "Terima kasih, Mbak perawat. Jadi, besok sore saya bebas, ya?"
"Betul. Tapi ingat, Anda harus istirahat total setidaknya selama dua minggu setelah pulang. Jangan terlalu banyak aktivitas berat dulu." ucap Dokter Andini.
"Oke, Dok. Dua minggu, saya catat." ucap Desi meyakinkan.
Dokter Andini tersenyum, "Kalau begitu, kami akan pamit dulu. Anda istirahat saja, dan kami akan datang lagi nanti untuk pemeriksaan akhir sebelum jadwal pemulangan."
Desi menatap mereka dengan senyum, "Terima kasih, Dok. Mbak juga. Jangan lupa, kalau ada sisa obat atau vitamin, kasih tahu saya ya. Siapa tahu bisa jadi oleh-oleh."
Perawat tertawa kecil, "Ibu Desi benar-benar punya selera humor yang bagus."
"Humor itu penting, Mbak. Kalau nggak ketawa, nanti malah stres lagi." ucap Desi sambil terkekeh.
Dokter Andini tersenyum sambil mengangguk, "Kami setuju. Sampai jumpa nanti, Bu Desi. Selamat beristirahat."
Dokter Andini dan perawat meninggalkan kamar, sementara Desi menatap keluar jendela besar di ruang VIP itu. Ia mengamati taman rumah sakit yang hijau, lalu menarik napas dalam.
Desi dalam hati bertekad, "Besok sore, semuanya dimulai. Aku akan membenahi hidup ini satu per satu. Dari bayimu, Desi, sampai si brengsek yang berani mempermainkanmu. Tunggu saja, semuanya akan kubalikkan ke arahku." ucapnya menyeringai kecil.
temen-temen si Bima diundang gak itu???
biar pada tau bagaimana komandan Damkar mereka.. apalagi wanita yg di nikahi nya itu adalah wanita yg lebih dia tolong daripada istri yg sedang hamil anaknya dan membutuhkan pertolongan nya... hingga sang anak tak terselamatkan 🤨🤨🤨
semangat,,,, 💪