Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bawa aku pergi
Ingin nya berbicara santai dan dari hati ke hati selama di dalam mobil mumpung berduaan, Shaka justru diomeli Shazia sepanjang jalan gara-gara perkara rental mobil.
Dan selama diomeli, pria itu hanya manggut-manggut, garuk-garuk, dan iya-iya saja demi menghargai Shazia. Lagi pula ia sendiri yang mengaku mobil rental jadi ya wajar saja jika Shazia mengomelinya berdasarkan pemikiran nya.
Tak mungkin kan Shaka mengaku jika mobil yang sedang ditumpangi mereka ini miliknya. Yang ada nanti, Shazia bukan nya percaya tapi malah menertawakan nya. Ya kali percaya sama omongan anak kecil berusia dua puluh tahun. Bayar kos dan sekolah saja masih ditanggung orang tua, lalu punya uang dari mana bisa beli mobil harga milyaran? hasil ngepet kah? atau nuyul?
Atau, Shazia bisa saja mengatainya halu tingkat tinggi. Saking pengennya punya mobil sampai ngaku-ngaku kepemilikan mobil orang lain. Sudah terbayang di otak Shaka bagaimana tanggapan remeh Shazia jika ia mengaku mobil ini miliknya.
Meski Shaka sekalipun mengaku punya usaha berpenghasilan gede, ia yakin Shazia tak juga akan percaya. Usaha apa yang bisa dilakukan anak usia dua puluh tahun, sampai berpenghasilan gede dan bisa kebeli mobil?
Shazia itu tipe cewek yang memiliki jalan pikiran realistis. Menurutnya, tak masuk akal jika anak berusia dua puluh tahun memiliki usaha sendiri. Karena anak usia segitu egonya lagi gede-gedenya dan belum bisa mikir dewasa. Jangan kan mikir membangun sebuah usaha mandiri, bekerja dengan orang saja kadang masih malas-malasan. Dan kebanyakan usia segitu biasanya hidupnya masih ditopang orang tuanya.
Ck, mba Shazia enggak tau saja. Meski tampangnya urakan begini, ia itu memiliki otak seorang pebisnis dan sudah menjadi seorang pekerja keras sejak dari usia belasan tahun.
"Berhenti, Shaka !"
Shazia tiba-tiba meminta Shaka berhenti pada saat Shaka hendak berbelok ke arah jalan menuju rumah Shazia.
Shaka pun menuruti keinginan Shazia, memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Kenapa, mba? sepertinya aku enggak salah jalan deh. Ini beneran kan jalan ke arah rumah mba?" Tanya Shaka yang keheranan.
"Iya, benar. Tapi aku belum mau pulang sekarang, ka," kata Shazia. Gadis itu mengusap wajahnya gelisah.
Tadi setelah mengomeli Shaka, Shazia sempat terhanyut ke dalam lamunan, hingga ia tak sadar jika Shaka membawa nya telah sampai di jalanan menuju ke arah rumah nya. Beruntung, ia langsung sadar kala matanya menyorot ke arah sebuah plang bertuliskan nama jalan.
"Lho, kenapa, mba?"
"Ya, belum mau pulang aja."
Shaka manggut-manggut dan memilih tak lagi mendesak Shazia untuk menjelaskan alasan nya. Tapi jika dilihat dari raut wajahnya, sepertinya mba Shazia ini sedang bad mood atau sedang lagi ada masalah.
"Ehem. Terus sekarang mba mau kemana?" Tanya Shaka memelankan suaranya.
Shazia menyender pada jok, otaknya berpikir. Dia harus pergi ke mana? Tapi setelah sekian detik berpikir, ia sama sekali tak kunjung menemukan tempat yang pas untuk di datangi.
Dan Shaka masih dengan sabar menunggu jawaban Shazia.
"Aku......bingung. Enggak tau mau kemana," jawab Shazia pada akhirnya.
Shaka menghela nafas, lalu ikut menyender ke jok seperti Shazia. Sejujurnya, ia tengah diburu waktu. Ada urusan yang bisa dikatakan cukup penting. Tapi melihat wanita yang dicintai ini sepertinya sedang ada masalah, ia mana mungkin tega meninggalkan nya. Kini, menemani wanita ini sepertinya hal yang jauh lebih penting dari pada sekedar urusan penting lainnya.
Shaka kemudian merogoh ponsel dan mengirim pesan pada asisten nya, Coky.
"Cok, tolong kamu handle pertemuan ku sama pak Bastian sekarang. Aku ada urusan dadakan."
Tak lama balasan dari Coky masuk.
"Lah, mana bisa begitu bos ku !! Lu kok bisa ngatur seenak jidat lu, Shaka El Rumi Abidzar. Pak Bastian kan pengen nya meeting sama lu bukan sama gue."
"Who's bos, Coky Sitanggang ????"
"I know. Tapi apa yang harus gue omongin ke pak Bastian nanti, bos ku??"
"Di situ tugas nya seorang asisten. Lu mikir sendiri, Cok. Punya otak kan? Dah lah. Lu lakuin aja apa yang gue suruh."
Shaka segera mematikan ponselnya sebelum Coky kembali protes.
"Kamu enggak kuliah, ka ?"
Shaka langsung menoleh pada Shazia sembari memasukkan ponsel nya ke saku celana. Pria itu berpikir sejenak.
"Aku hari ini free, mba. Kenapa?"
"Oh. Enggak. Aku cuma takut aja ganggu kuliah kamu."
"Sama sekali enggak, mba."
Shaka tersenyum penuh arti.
"Mba memang enggak menggangu kuliah ku, tapi mba sudah menghalangi cuan ratusan juta ke rekening ku. Demi kamu mba, aku rela kehilangan cuan. Kapan lagi coba bisa sedekat ini dengan pujaan hati ku."
Tapi pria itu masih berharap, cuan itu tetap masuk ke rekeningnya melalui Coky. Semoga teman sekaligus asisten nya itu syukur-syukur berhasil. Kalau pun tidak, ya dah lah ikhlaskan saja. Anggap saja belum rezeki.
Shazia tak lagi bersuara. Gadis itu mengalihkan tatapan nya ke arah samping kiri. Di luar mobil tampak Bu Parmi, salah satu tetangganya yang suka julid berjalan sambil menenteng kantong kresek. Sepertinya wanita itu baru pulang dari warung. Jika ia keluar dari mobil bagus ini pasti wanita itu langsung heboh.
"Apa mba sudah punya keputusan mau ke_"
"Terserah kamu saja, ka. Bawa aku kemana pun kamu mau," sela Shazia dengan arah tatap yang masih sama. Gadis itu melihat Bu Parmi berjalan semakin mendekati mobil. Ia jadi was-was, khawatir wanita itu melihat keberadaan nya.
Shaka terdiam dengan mulut terbuka.
"M-mba serius mau ikut dengan ku?" Tanya Shaka yang belum percaya jika Shazia meminta membawanya pergi tanpa dipaksa.
Shazia mengangguk dengan arah tatap yang masih sama. Jantung nya berdebar melihat Bu Parmi yang kian mendekat.
Perlahan bibir Shaka mengembang.
"Aku mau nya bawa kamu ke penghulu, mba, dan langsung tak nikahi."
"Ayok, ka. Cepat kita pergi sekarang."
"I-iya, mba, Iya."
Shaka langsung menyalakan mobil nya, lalu melaju.
"Kita mau kemana, ka?" Tanya Shazia terheran ketika mereka sudah sampai di seperempat jalan yang kiri kanan nya berupa pemandangan perbukitan.
"Suka-suka ku. Yang jelas kemana ku mau membawa kamu pergi, mba," jawab Shaka sembari senyam senyum.
Shazia langsung menatap pada Shaka dengan tatapan agak kaget." Kok kamu enggak ngomong dulu kalau mau bawa aku kemari?"
"Lah, kan mba sendiri yang meminta aku membawa mba kemana pun aku mau. Jadi ya udah, aku bawa mba kemana pun yang mau aku tuju."
"Apa Iya aku ngomong kayak gitu ke anak ini?"
Shazia menggigit bibir kala teringat sesuatu. Gara-gara Bu Parmi, kini si Shaka seenaknya mau membawanya entah kemana.