Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21
Tidak ada yang memberitahu tentang apa yang mereka bicarakan malam itu. Pembicaraan yang Shana ingat sekitar satu jam itu, begitu tertutup darinya. Mau indung ataupun Kaivan sama sekali tidak membeberkan masalah itu.
Satu hal yang masih menjadi pertanyaan di kepala Shana. Perempuan mana lagi yang Kaivan temui di club? Apakah dia perempuan yang sama? Ataukah … wanita yang berbeda?
Ingin sekali Shana menanyakan semuanya pada Kaivan. Tapi, mengingat kembalinya keharmonisan pernikahan mereka, tidak mungkin dia akan melakukannya. Dia hanya menunggu dan menunggu sampai Kaivan bisa menjelaskan semua hal yang terjadi.
Namun, hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan sampai seminggu kepulangan indung, Kaivan masih menutup mulutnya rapat.
Suatu malam saat Shana pura-pura tertidur, saat itu Kaivan baru saja pulang. Mungkin sekitar jam dua belas malam. Biasanya laki-laki itu akan makan dan mandi dulu sebelum menghampiri Shana. Atau mungkin duduk di ruang tengah sembari memikirkan semuanya.
Malam itu tidak. Dia langsung masuk ke kamar dan menghampiri Shana. Dia mendekat pada Shana. Berjongkok di sisi ranjang. Tangannya mengusap anakan rambut yang menutupi sebagian wajah Shana. Lama. Shana masih bergeming. Sampai terdengar suara lelahnya. Bercampur dengan serak yang penuh sesak. “Shana, maafkan aku. Aku belum gagal ‘kan jadi suamimu? Aku pastikan semua yang ada di kepalamu itu salah. Aku akan mencari kebenaran dan membuktikannya. Tolong … jangan pernah berpikir untuk pergi meninggalkan aku,”bisiknya.
Shana masih bergeming sampai sosok itu mulai berdiri dan melakukan aktifitas lain. Meninggalkan Shana yang perlahan membuka mata. Matanya mengerjab pelan dengan pandangan yang mulai kabur. Setetes embun begitu saja jatuh membasahi sisi wajahnya. Dia tersenyum meski sesak melanda. Setidaknya lelaki itu membela diri. Setidaknya lelaki itu tidak mengakui omong kosong Raisa. Setidaknya begitu. Entah palsu atau tidak, itu urusan belakangan.
Kaivan baru saja selesai sarapan, dia meneguk segelas air yang Shana angsurkan. Setelahnya dia bangkit untuk menjinjing tas kerjanya. Shana menghampiri dan merapikan kerah dan dasinya. Dia mencium kening Shana. Lalu, Kaivan segera keluar rumah dan mengendarai mobilnya. Begitulah sehari-harinya.
Sedangkan, Shana harus berkutat dengan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk. Menikmati setiap inci kegiatannya di rumah itu. Setidaknya sebelum ibunya datang. Dan memudarkan senyum yang dia pasang sedari tadi.
“Ibu ada usul. Daripada kamu di rumah aja, mending kamu kerja di tempat ayah tirimu. Ada sebuah outlet bunga yang diurus oleh orang suruhannya. Pasti dia senang kalau kamu yang akan meng-handle outlet itu,”jelasnya sembari menyesap teh. “Bagaimana?”
“Terima kasih atas tawaran ibu, ta—”
“Shana! Kamu harus punya pegangan sebelum rumah tangga kalian benar-benar hancur! Kamu harus pikirkan itu. Apalagi sekarang ada janin di perutmu. Bagaimana kalau Kaivan suatu hari meninggalkan kamu dan anakmu?”
Shana menghela nafasnya, “Bu, itu hanya pikiran negatif ibu. Lagian rumah tanggaku baik-baik aja kok.”
Ibunya, Tante Mona, berdecak kesal, “Shana … pikirkan semua baik-baik tawaran ibu. Ibu berkata seperti ini semuanya untuk kebaikan kamu. Tidak mungkin seorang ibu ingin hidup anaknya tidak bahagia. Jadi, pikirkan semuanya baik-baik.”
Shana tertegun. Merenung sendirian dengan kaki yang dia naikan ke sofa, dan memeluk kedua lututnya. Wajahnya tenggelam dalam lekukan lututnya. Bersemayam di sana. Lama. Merenungkan percakapannya tadi siang.
Memang benar, ibu mana yang ingin jalan hidup anaknya jelek? Semua ibu akan mengharapkan kehidupan yang terbaik untuk anaknya.
Namun, dari awal ibunya memang tidak suka dengan Kaivan. Tidak suka dengan pernikahannya. Dan, itu ditunjukkan terang-terangan. Bagaimana mungkin Shana akan menerima tawaran itu?
Menerima tawaran itu sama saja mengikuti alur hidup yang akan menghancurkan kedamaian yang selama ini dia nikmati.
Shana baru saja melepas nafas lelah. Dia mulai mengangkat wajah yang sedari tadi bersembunyi di dalam lutut. Embusan nafasnya terdengar lagi saat tahu waktu berdiam dirinya sudah sangat lama. Langit ternyata sudah berganti warna menjadi gelap.
Kakinya baru saja dia turunkan untuk memijaki keramik yang begitu dingin. Hendak menyiapkan makan malam. Mumpung masih jam delapan malam, Kaivan pasti masih di kantornya. Jadi, Shana memutuskan untuk segera memasak sebelum Kaivan pulang.
Namun, “Sayang~” Suara bernada itu bersamaan dengan derit pintu yang terbuka. Shana membalik tubuh, dan melihat Kaivan yang sudah melepaskan sepatunya, berjalan menghampirinya. Memeluknya erat dan mencium keningnya lama. “Kangen aku tuh.”
Shana mengulum senyum, melepaskan pelukan dan menatap pada wajah lelah itu. “Tumben pulang cepat? Aku belum sempat masak lho, Mas.”
Kaivan segera duduk dan meneguk segelas air di meja makan. Shana mengikuti geraknya, ikut duduk di sampingnya. Sepertinya perempuan itu sedang menunggu jawabannya. Jadi, “Nggak usah, kita beli aja. Yuk!”
Percakapan itu akhirnya berhenti. Dan di sinilah mereka. Di sebuah kedai sate. Wangi khas asap yang harum dan ramainya orang membuat keduanya memilih kursi paling ujung. Duduk berhadapan dan sesekali mengobrol.
“Udah lama kita nggak dinner di luar. Harus sering-sering, sih,”ujar Kaivan sembari menggenggam tangan Shana. “Kita harus membangkitkan gairah dalam hubungan ini.”
Shana mengulum senyum, “Kayak orang pacaran aja.”
“Ya iya dong. Nanti kalau dedek udah lahir, bukan pacaran lagi.”
“Kok gitu?”
“Ya, karena ada ‘orang ketiga’ yang bakal marah kalau aku peluk kamu atau kamu peluk aku.” Kaivan melepaskan kekeh saat membayangkan ucapannya sendiri. Sedangkan, Shana hanya geleng-geleng kepala.
Sesaat obrolan mereka terhenti oleh kedatangan pelayan yang membawa pesanan mereka. Lalu, mereka pun mulai menikmati hidangan mereka. Sesekali Kaivan akan menyuapi Shana, begitu pun sebaliknya.
Di malam ini, entah perasaan apa yang harus diungkapkan. Keduanya sama-sama menikmati makanan mereka. Apalagi pemilik kedai baru saja mengaktifkan speaker dan memutar lagu romantis. Sehingganya momen ini terlihat sangat indah.
Setelah makan malam dilalui, keduanya saling menggenggam tangan. Berjalan di trotoar menuju ke arah taman terdekat yang tidak terlalu ramai pengunjung. Berbagai candaan dan gelak tawa terdengar. Jemari mereka saling bertautan dengan senyum manis yang saling dipertunjukkan.
Keduanya sampai di sebuah kursi panjang yang berada di tengah taman. Duduk bersisian sambil memandangi kolam kecil yang ditengahnya ada pancuran air. Sesaat keduanya hening, menikmati angin malam yang sepoi-sepoi. Juga, menikmati alunan romantis dari air yang berjatuhan deras dari pancuran air yang berbentuk naga putih.
Wajah Kaivan menoleh, menatap pada Shana yang masih tersenyum dengan gerak tangan yang mengusap punggung tangan Kaivan. Embusan nafas Kaivan terdengar pelan, namun membuat Shana menoleh. “Ada hal yang mau aku omongin sama kamu.”
Shana mengangguk, masih dengan senyumannya, “Katakan saja.”
“Besok pagi aku harus ke Bogor. Ada proyek yang harus melibatkan aku di sana,”ujarnya. Seketika senyum Shana memudar. “Ini proyek besar. Tenggat waktunya pun belum diketahui. Mungkin memakan waktu berbulan-bulan atau mungkin … tahunan.”
Jemari Shana terlepas dari tangan Kaivan. Wajahnya tampak gusar. “Jadi, kamu bawa aku ke sini. Bahagiakan aku, hanya untuk sebuah perpisahan?”
Kaivan menggeleng, dia raih lagi jemari Shana, mengusapnya dengan lembut. Kali ini duduknya agak menyerong hingga dia bisa menghadap Shana. “Bogor dekat, aku akan berusaha untuk pulang mengunjungi kamu. Atau kamu mau ikut aku kesana?”
Shana menghela nafasnya. Dia menoleh lagi, “Mas, aku senang atas proyek ini. Proyek ini menjanjikan untuk karirmu, kan? Tapi, Mas, apa nggak bisa sampa setidaknya aku melahirkan?”
“Nggak bisa, Shan. Dan kalau pun menunggu suatu keajaiban lagi untuk jenjang karirku, mungkin akan membutuhkan waktu yang lama.”
Shana memalingkan wajah. Mulutnya tidak bisa lagi berkata-kata. Dia tiba-tiba kehilangan suara. Otaknya mendadak buntu. Matanya sudah berkaca-kaca saat Kaivan mengusap rambutnya.
“Aku janji, Shana. Aku akan berusaha pulang untuk mengunjungi kamu,”lanjut Kaivan. Dia mengatakannya dengan lembut agar Shana bisa menerima.
Shana menoleh, “Bolak-balik Jakarta-Bogor? Emangnya kamu nggak capek?”balas Shana yang sudah berderai air mata.
Kaivan menyusut air mata Shana dengan jemarinya. “Nggak. Aku nggak akan capek kalau untuk ketemu kamu. Asal kamu percaya.”
Shana menatap mata Kaivan. Lama. Dia mencari sebuah alasan agar Kaivan mau membatalkan rencananya. Namun, gagal. Wajah lelah itu memohon dengan sendu. Dengan sesak yang melanda, dan dengan pemikiran negatifnya. Shana masih bergeming. Ada satu hal yang mengganjal otaknya. “Lalu, perempuan itu?”
“Siapa?” Kening Kaivan mengernyit, “Raisa?” Dan Shana mengangguk lemah tanpa menatapnya. “Dia memang ikut, namun waktunya tersisa dua minggu. Setelahnya dia tidak akan berada di sana lagi.”
“Benarkah?”
Kaivan mengangguk. Tangannya meraih kepala Shana, lalu dia kecup pelipisnya. “Aku nggak akan aneh-aneh. Kamu percaya, kan? Setidaknya aku akan membuktikannya. Tapi, tolong, beri aku waktu.”