Marsha Aulia mengira, ia tidak akan pernah bertemu kembali dengan sang mantan kekasih. Namun, takdir berkata lain. Pria yang mengkhianatinya itu, justru kini menjadi atasan di tempatnya bekerja. Gadis berusia 27 tahun itu ingin kembali lari, menjauh seperti yang ia lakukan lima tahun lalu. Namun apa daya, ia terikat dengan kontrak kerja yang tak boleh di langgarnya. Apa yang harus Marsha lakukan? Berpura-pura tidak mengenal pria itu? Atau justru kembali menjalin hubungan saat pria yang telah beristri itu mengatakan jika masih sangat mencintainya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Aku Hanya Orang Ketiga.
Rafael Haditama mengatakan ia hanya ingin meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi lima tahun lalu pada Marsha. Tentu saja ada sedikit dusta yang pria itu ucapkan.
Marsha adalah cinta pertamanya. Gadis pertama yang mampu mencuri hatinya. Segala kenakalan remaja ia lakukan bersama Marsha. Kencan, Ciuman bahkan hingga—ah, Rafael sungguh merindukan gadis itu.
Hingga saat ini, hati pria muda itu masih di bawa pergi oleh Marsha. Sandra adalah sahabatnya sejak berusia tujuh tahun, ia tidak akan pernah bisa mencintai gadis itu, seperti mencintai Marsha.
Rafael menyayangi Sandra, namun hanya sebatas sayang pada sahabat. Tinggal satu atap bersama selama lima tahun, nyatanya tidak menumbuhkan rasa cinta di hati Rafael untuk wanita itu.
Jika ada yang mengatakan, bukankah ada Safa di antara mereka? Kehadiran gadis kecil itu tidak dapat mengubah apapun. Hati Rafael tetaplah milik Marsha Aulia seorang.
Pria itu kini tengah berada di ruang kerja, di rumahnya. Setelah tadi sore berbicara dengan Aldo, ia pun memutuskan untuk pulang.
Suara ketukan pada pintu ruangan itu terdengar. Rafael mempersilahkan orang di luar sana untuk masuk. Ia yakin itu bibi Rita yang datang membawakan kopi pesanannya.
“Apa yang kamu lakukan, San?” Mata Rafael membulat sempurna. Bukan bibi Rita yang datang, melainkan Sandra dengan memangku nampan berisi kopi panas di atas pangkuannya.
Dengan cepat Rafael berdiri. Kemudian mengambil nampan di atas pangkuan sang istri.
“Bagaimana jika kopinya jatuh dan mengenai tubuh mu?” Kilat amarah terlihat pada mata pria berusia dua puluh tujuh tahun itu.
“Tidak, Raf. Bibi meletakannya dengan aman.” Bela Sandra.
Rafael membuang nafas kasar. Ia meletakan nampan di atas meja. Sandra pun memutar kursi rodanya menuju pria itu.
“Apa Safa sudah tidur?” Tanya Rafael yang melihat Sandra masuk ke ruangannya.
“Ya.” Jawab Sandra singkat.
Ibu satu anak itu menggigit bibir bagian bawahnya. Pandangan wanita itu tertuju pada tempat sampah di dekat meja kerja sang suami. Benda itu nampak telah kosong. Yang artinya, lilin ulang tahun itu sudah terbuang. Sudah satu bulan berlalu, pasti asisten rumah sudah membersihkan ruangan ini lagi.
Rafael menyadari arah tatapan sang istri. Pria itu menghela nafas pelan. Kemudian kembali duduk di atas kursi di balik meja kerjanya.
“Ada yang ingin kamu katakan, San?” Tanya Rafael kemudian.
Sandra menggeleng pelan. Dan Rafael tahu wanita itu berbohong.
“Kenapa tidak menanyakan langsung padaku? Jika kamu memang penasaran tentang sesuatu.” Rafael kembali berbicara. Sandra pun menatap ke arah pria itu.
Sandra mengerejapkan mata beberapa kali. Rafael seolah tahu isi hatinya.
“Kamu ingin menanyakan soal lilin ulang tahun di kolong laci meja kerjaku?” Tanya Rafael karena sang istri hanya diam.
Masih duduk di atas kursinya. Rafael memindai Sandra dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Aku tidak mempermasalahkan hal itu.” Jawab Sandra pelan. Jujur, meski penasaran ia tidak ingin membahasnya. Toh wanita itu juga sudah tahu jawabannya.
Rafael mencebikkan bibirnya. “Maafkan aku, San. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa melupakannya.”
\~\~\~
Ucapan Rafael terngiang di benak Sandra. Untuk kesekian kalinya, pria itu meminta maaf karena tidak akan bisa melupakan sang mantan kekasih.
Haruskah Sandra bersedih?
Ia tahu tidak ada cinta dalam rumah tangga mereka. Tetapi, selama lima tahun ini, Sandra sudah mencoba membuka hatinya. Namun Rafael tak ingin masuk ke dalamnya. Pria itu bertahan di masalalu. Dan masih berharap bisa bertemu dengan Marsha suatu hari nanti.
“Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Pensil di tangan Sandra seketika jatuh saat mendengar suara ibu mertuanya. Ia mencoba menggapai alat gambar itu, namun apa daya tangannya tak sampai.
“Apa yang menganggu pikiran mu?” Tanya ibu dari Rafael yang bernama Miranda itu. Ia pun memungut pensil yang jatuh, kemudian menyerahkan pada sang menantu.
“Terimakasih, Bu.” Sandra kemudian meletakkan buku gambar dan pensilnya di atas meja.
“Kapan ibu datang? Kenapa tidak memberi kabar?” Tanya Sandra kemudian menatap ibu mertuanya.
“Ibu datang sejak kamu tiba-tiba melamun. Kebetulan, ibu ada urusan di Jakarta akhir pekan ini.” Jawab wanita berusia lima puluh tahun itu.
Ibu Miranda menetap di Yogyakarta. Sementara, Rafael pindah ke Jakarta lima tahun lalu.
Sandra mengangguk. “Aku akan meminta bibi membuatkan ibu teh hangat.” Ia hendak memutar kursi rodanya. Namun, ibu Miranda mencegahnya.
“Nanti saja.” Wanita paruh baya itu menghela nafas pelan. Ia kemudian duduk di atas sofa.
“Katakan pada ibu, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ibu Miranda kembali bertanya. Ia menatap sang menantu penuh kasih.
“Tidak ada, Bu.” Sandra tersenyum kaku.
“Jangan membohongi, ibu. Kamu lupa, ibu mengenalmu jauh sembelum kamu menjadi menantu ibu.”
Sandra menundukkan kepalanya. Tangannya bertaut di atas pangkuan.
“Kamu bertengkar dengan Rafael?” Terka wanita paruh baya itu. Dan Sandra dengan cepat menggelengkan kepalanya.
“Kamu tidak pandai berbohong, San.” Ibu Miranda mengusap lengan sang menantu. Seketika Sandra meneteskan air matanya.
“Kalau ada masalah, ceritakan pada ibu. Bukankah kita berteman? Jangan menyimpannya sendirian.” Ibu Miranda meraih pundak sang menantu. Kemudian mendekapnya.
“Aku menyerah, Bu.” Ucap Sandra lirih. Dan ibu Miranda tahu maksud kalimat yang menantunya ucapkan itu.
Sudah sangat sering Sandra mengatakan hal itu. Namun ibu Miranda tidak membiarkan mereka berpisah.
“Kalian bertengkar?” Tanya ibu Miranda lagi.
“Tidak, Bu. Tetapi aku tidak bisa terus seperti ini. Sampai kapanpun Rafa tidak akan bisa melupakan Marsha. Percuma kami bersama, jika saling menyiksa satu sama lain.”
Ibu Miranda mengusap punggung sang menantu yang mulai terisak. Ia sangat menyayangi Sandra. Dan sudah menganggap wanita muda itu seperti putrinya sendiri.
“Ibu yakin, suatu saat Rafa pasti akan membuka hatinya untuk kamu. Gadis itu—
“Tidak, Bu.” Kepala Sandra menggeleng. “Rafa sendiri yang mengatakan padaku. Sampai kapanpun dia tidak akan bisa melupakan Marsha.”
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu melepaskan diri dari pelukan ibu mertuanya. Ia pun mengusap air mata yang membasahi pipi.
Ia melirik petunjuk waktu yang berdiri di sudut ruangan. Pukul tiga sore. Itu artinya Rafael akan pulang dua jam lagi. Sandra menghela nafas lega. Takut jika tiba-tiba sang suami datang dan melihatnya menangis.
“Jangan memikirkan orang yang tidak jelas keberadaannya, San. Ibu yakin, dia tidak akan kembali.” Ibu Miranda meyakinkan.
Sandra kembali menggelengkan kepalanya. “Bu, aku hanya orang ketiga dalam hubungan mereka. Aku bersalah. Lima tahun lalu, aku tidak hanya kehilangan cintaku, tetapi juga kehilangan sahabatku.”